Fiction
Sunyi [10]

12 May 2012


“Kau belum menjawabku soal Ayah.

“Ayah tewas ditikam orang saat mabuk dan berkelahi. Pamanmu mengatakan, jenazahnya pun tak diambil oleh ibumu dari rumah sakit. Jadi, kita tak tahu ia dimakamkan di mana.”

Aku termangu mendengar semua cerita ini. Lebih dari tiga puluh tahun, aku selalu bertanya-tanya, anak siapakah aku ini? Mengapa namaku lebih sering menjadi anak berengsek, dan bukan Nina? Aku mengerti. Mengerti sebagai sesama perempuan. Mengerti, betapa impian yang dirajut Ibu telah hancur saat detik dimulainya kehidupanku. Aku mengerti, mengapa ia membenciku. Tak ada lagi rasa benci dan dendam dalam sukmaku. Rasanya sudah lunas terbayar segala pertanyaan di kepalaku. Kupandangi garis wajah Dokter Wisnu. Aku mengerti, mengapa rasa teduh selalu menyertai senyumnya di mataku.

“Apa kau mirip Ayah?”

Dokter Wisnu menatapku dengan senyum khasnya dan mengangguk. Dikeluarkannya dompet hitam dari saku celana dan menyodorkan selembar foto kumal kecokelatan ke hadapanku. Ayahkah ini? Kulihat seorang pria muda, berwajah seperti Dokter Wisnu, sedang menggendong bocah laki-laki dengan seorang wanita di sisi kirinya sedang tertawa. Keluarga ini hancur karena perjalanan hidup yang berbuntut panjang.

Hidup memang aneh. Aku datang dengan jiwa hampa dan tangan kosong. Dan, kini, tiba-tiba aku mempunyai kakak!

“Kalau begitu, semuanya bukan kebetulan? Saat aku mencoba bunuh diri, kontrak rumahmu di sebelah rumahku, penempatan di rumah sakit?”

Ia mengangguk mantap. Jelas sudah, mengapa ia selalu ada dalam hidup kami. Bodohnya aku, tak pernah mencurigai semua kebetulan ini!

“Tata hidupmu kembali, Nina. Perjalanan masih panjang. Kau harus berdamai dengan dirimu sendiri, dengan masa lalumu….”

Kupandangi gerimis yang mereda. Awan kelabu menyingkir satu per satu. Tetesan air yang bergoyang-goyang pada daun dan bunga, jatuh tertiup angin, luruh bersama waktu. 

“Bila hatimu resah, kau selalu mempunyai aku, Nina. Perasaan hangat yang kumiliki, ketika mengusap jemarimu saat bayi dulu, tetap kumiliki hingga saat ini. Kau tetap adikku, apa pun yang memisahkan kita, membedakan kita. Darah kita tetap sama.”

Ia memelukku lembut. Aku terharu. Hatiku penuh, meluap dialiri kehangatan dan harapan. Harapan? Segera kulepaskan pelukannya. Aku tahu, apa yang harus kulakukan selanjutnya.

“Maaf, ada hal penting yang harus kulakukan saat ini dan tak dapat kuceritakan. Terlalu panjang. Aku harus mengejar sesuatu! Akan kuceritakan nanti. Tapi, aku ingin kau tahu, aku bahagia sekali! Doakan aku!”

Kutinggalkan ia dan melesat keluar. Setengah berlari, kuambil telepon genggam di tas. Kuputar sebuah nomor. Tuhan, beri aku kesempatan satu kali lagi. Aku ingin bahagia, aku ingin pergi meninggalkan semua yang buruk dari masa laluku dan mengejar cahaya di hadapanku.

“Halo, Yo?”

“Nina, aku berharap ada keajaiban. Kau akan menelepon sebelum aku pergi. Ternyata, benar.”

“Tidak, Yo, kau tidak boleh pergi! Jangan pergi lagi dari hidupku, Yo! Aku mau, Yo, aku mau menerima tawaranmu! Aku tak peduli apa kata orang. Aku mau menjalani hidupku bersamamu! Dan, bila kau tak merasa nyaman di Jakarta sini, aku akan pergi bersamamu, ke mana pun kau ingin pergi.”

Kudengar suara Yo memekik, berteriak kegirangan, seperti anak kecil diberi permen. Aku tertawa bahagia mendengarnya. Terengah-engah kuputar kunci mobil. Tak akan kubiarkan cinta hidupku pergi lagi, untuk selamanya! “Kau di mana, Yo?”

“Aku hendak ke bandara, Nina. Aku tak percaya, akhirnya Tuhan mengabulkan doaku! Aku janji Nin, kita akan bahagia bersama! Aku akan membuatmu bahagia, selalu! Temui aku sekarang, Nina! Kau ada di mana? Aku akan menjemputmu sekarang.”

Dadaku serasa hendak meledak karena bahagia. Bahagia. Rasanya kata yang begitu sulit kujangkau.

“Tak usah, Yo. Kita bertemu di rumah tuaku dulu saja.”

Yo tertawa lepas. “Aku tak peduli kita akan bertemu di mana, Nina, selama aku dapat menemuimu.”
Rumah tua itu adalah tempat paling bersejarah dalam hidupku.Kupacu gas, menyongsong hari depan dengan tak sabar.

Langit mendung sejak pagi tanpa hujan setetes pun. Angin bertiup kencang. Menerbangkan daun-daun kering ke segala arah. Alam terasa gelisah. Murung. Semurung jiwaku saat ini. Kusangka, aku tak akan mampu menangis lagi. Air mata yang kupikir telah habis terkuras, ternyata tak berkurang persediaannya. Sekumpulan manusia yang tadi berkerumun di sekitar gundukan sudah pergi.

Tak ada lagi orang di sekitar kita, Yo. Hanya kita.

Angin berdesah risau. Suara burung-burung hitam yang melayang berputar-putar memekik, memilukan hatiku yang berdarah. Kuusap gundukan tanah merah yang masih segar itu dengan kedua tanganku. Lembap, basah.

Kau meninggalkanku, Yo. Kau meninggalkanku lagi! Kau bohong, kau bilang, kau ingin selalu bersamaku, membahagiakanku! Di mana kau sekarang, Yo? Di mana? Jawab aku! Tidakkah kau mendengar sukmaku yang menjerit-jerit nyeri? Di mana kau, Yo?

Aku tak mengerti mengapa kau harus mengemudikan mobilmu sekencang itu? Aku tak mengerti…. Bukankah masih banyak waktu yang tersedia untuk kita? Aku tak mengerti, kebahagiaan macam apa yang kau tawarkan dengan kepergianmu, Yo? Mengapa kau tak menepati janjimu? Aku sudah menyediakan jiwaku untuk menyambut masa depan bersamamu. Aku hanya ingin bersamamu, Yo…. Mengapa? Mengapa? Tidakkah kau, aku menunggumu? 

Aku akan selalu menunggumu. Jadi mengapa tak kau biarkan saja ketika ada truk yang mau lewat? Mengapa kau harus mendahului kendaraan itu? Bahkan, bila ada seribu kendaraan lagi pun, kau tetap akan kutunggu! Mengapa? Aku menunggumu dengan sabar. Detik demi detik kutunggu hingga malam tiba dan aku berdiri kebingungan di depan rumah, yang kini bukan milikku lagi. Kau malah seenaknya pergi! Kau mengingkari janjimu! Aku benci padamu, Yo! Selalu hanya harapan yang dapat kau berikan….

Kurebahkan kepalaku di gundukan yang masih segar itu. Kuambil sepotong silet dari dalam tas selempangku. Melirik nadi hijau muda yang masih berdenyut di pergelanganku. Kupejamkan mata dan menarik napas sekali lagi, sebelum semuanya akan menjadi sunyi. 

Aku tak tahu, mataku basah atau kering. Aku tak peduli, rambutku kotor oleh tanah atau tidak. Aku tak peduli apa pun lagi. Aku hanya ingin memeluk orang yang paling kucintai selama hidupku… dan ia ada di dalam gundukan sunyi ini. Kuusap lembut nisan itu. Nisan milik kekasihku, Yohana. Tamat

Penulis: Inawati


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?