Fiction
Senandung Musim Gugur [8]

1 Jun 2012


<<<< cerita sebelumnya

Dua hari itu dihabiskan Lia mengajak Ipung berkeliling menikmati tempat-tempat wisata di kota Busan. Ipung terpesona dengan keindahan dan keluasan kuil Pomosa, kuil Budha yang sudah berusia ratusan tahun. Entah berapa rol film dihabiskannya di tempat itu. Ketika berkunjung ke pantai Haeundae yang menjadi kebanggaan warga kota Busan, ia manggut-manggut, setuju dengan Lia yang menilai pantai itu sebenarnya tak lebih indah dari Kuta di Bali. "Kita mungkin punya lebih banyak pantai yang indah. Tapi kelebihannya, orang Korea itu mau menjaga ketertiban dan kebersihan bersama seperti kau lihat sendiri kan Pung?"

Malamnya Lia mengajak Ipung jalan-jalan menikmati Somyon, pusat kota Busan. Di sana mereka bertemu dengan Hyun-jin dan beberapa mahasiswa Lia lainnya untuk minum-minum dan bertukar cerita di salah satu hof, tempat minum yang ada di Somyon. Tampak benar Ipung menikmati hari pertamanya itu.

Keesokan harinya, di sinilah mereka berada sekarang, di Yongdusan Park. Mereka berdua cukup letih setelah mengunjungi beberapa tempat lain. Lia senang melihat Ipung terkesan menikmati liburannya. Beberapa jam lagi mereka sudah harus sampai di Busan Yok dan berpisah di sana. Ipung akan naik kereta kembali ke Seoul malam ini juga, untuk mengejar penerbangan kembali ke Jakarta esok hari.

Angin mengalir ke arah Yongdusan Park dari arah laut. Dan Ipung masih terpesona melihat ratusan merpati terbang berkeliaran di Yongdusan Park, setengah jinak, mengharapkan serpihan makanan yang disebarkan pengunjung taman itu. Mereka duduk-duduk di salah satu satu sudut dekat Busan Tower. Lia baru saja mengajak Ipung ke tempat itu, setelah tadi sempat menikmati lanskap kota Busan dari ketinggian 120 meter. Ipung terkesan melihat sebuah kota tumbuh dan berkembang di antara perbukitan.

"Mahasiswaku tidak terlalu suka pergi ke tempat ini, Pung," kata Lia sambil mengarahkan pandangannya ke arah laut. Laut adalah bagian yang selalu memukau hatinya. Senja itu ia masih dapat melihat birunya laut dan kapal-kapal ikan bersandar di dermaga pasar ikan Chagalch’i.

"Mengapa, bukankah ini taman yang bagus?" Ipung mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, dan berhenti pada sosok patung Laksamana Yi Sun-shin yang membelakangi Busan Tower.

"Mereka tidak suka tempat ini karena menjadi tempat berkumpul orang-orang tua. Kau tadi lihat kan orang-orang tua yang berkumpul, menari, nyanyi-nyanyi, mabuk. Hampir setiap hari mereka berkumpul di sini untuk bersenang-senang seperti itu."

Ya, Ipung juga melihatnya tadi. Ia terheran-heran melihat banyak orang tua berkumpul, menari, bermain padhuk dan changgi, catur khas Korea itu, dan mendengarkan kkaengwari, musik tradisional, sambil menari. Sebagian asyik dengan botol soju atau makkoli, anggur beras, dan menggeletak begitu saja di sudut-sudut taman, mabuk minuman keras.

"Kasihan ya, Pung, orang-orang tua kesepian itu. Di taman ini juga ada orang-orang menganggur, korban PHK, yang duduk-duduk merintang waktu, mencoba melupakan tekanan hidup sehari-hari yang berat." Ipung mengangguk-angguk.

"Tapi bagaimanapun, kesan sekilas, kehidupan mereka sehari-hari tetap lebih baik dari kehidupan banyak orang di negeri kita sendiri," kata Ipung.

"Sudahlah Pung, tinggal beberapa jam lagi liburanmu, masih juga mengingat kemalangan bangsa sendiri," Lia tersenyum. Juga Ipung.

"Lho, kan kau sendiri yang memulai cerita sedih orang-orang tua itu."

Mereka sejenak terdiam kembali, lampu-lampu taman mulai dinyalakan karena hari berangsur-angsur menjadi gelap. Lia merasa ada sesuatu yang sebenarnya ingin Ipung ungkapkan sebelum mereka berpisah malam ini. Ia menunggu.

Tidak lama, karena kemudian Ipung menggeser duduknya dan mengubah sikapnya menjadi lebih serius. "Begini Lia, ada hal yang ingin kutanyakan kepadamu sebelum kita berpisah malam ini." Lia menenangkan diri. Ia menatap Ipung, dan kembali menunggu.

"Kau tahu kan perasaanku selama ini padamu. Kurasa aku tak bisa menunggu lebih lama lagi dan minta ketegasan darimu."

"Kau sudah mulai bosan ya Pung berpacaran dengan banyak wanita?" Lia bertanya dengan nada biasa. Ia harus kuat sekarang. Ia sendiri harus menentukan langkah hidupnya.

"Mungkin juga, aku sekarang ingin serius membina hubungan dengan satu wanita."

Lia terdiam. Ia tahu Ipung tidak main-main, sekali ini. Jarang ia melihat Ipung bisa bersikap serius seperti kali ini.

Setelah berpikir sejenak dan menguatkan dirinya, akhirnya terlontar juga kata-kata itu dari mulut Lia. "Pung, mengenalmu selama ini, adalah salah satu bagian terbaik dalam hidupku. Tapi maaf Pung, kurasa aku tak bisa." Lia menunduk dan memalingkan wajahnya ke arah laut. Sesekali cahaya lampu kapal terlihat berkerlap-kerlip dari arah kegelapan laut. Di benaknya, tanpa dapat ditahannya, muncul sosok John Taylor.

Dan ia tak heran melihat Ipung bisa menerima kata-kata itu dengan sikap tenang. Mungkin Ipung telah siap menerima kata-kata apapun yang keluar dari mulutnya.

Ipung membuang pandangannya sejenak, dan kemudian menatap lurus ke arah mata Lia. "Terima kasih Lia, betapapun hasilnya tidak seperti yang kuharapkan, tapi mendengar sebagian kata-katamu tadi, sudah cukup melegakan hatiku. Maaf, apakah ada laki-laki lain?"

"Mungkin," jawab Lia pendek.

"Mungkin?"

"Ya, karena memang belum ada komitmen apapun dengan laki-laki itu."

"Dosen asing di tempatmu mengajar?"

Lia mengangguk. Ipung memegang kedua bahu Lia. Senyumnya melegakan hati Lia. "Siapapun dia, mudah-mudahan dia lelaki yang tepat untukmu. Sayang aku harus pergi malam ini juga. Kalau tidak, aku akan senang berkenalan dengannya."

"Dan kau? Bagaimana dengan kau sendiri Pung?"

"Entahlah, setelah kau menolak, mungkin Fitri…" Ipung tersenyum misterius.

Lia tersenyum. "Fitri? Si manis yunior kita itu? Yang lincah dan cukup militan?"

Ipung mengangguk. Ganti Lia memukul bahu Ipung. "Aku tahu dia anak baik. Awas, jangan main-main lagi dengan wanita, Pung. Anak itu pantas menjadi pacar seriusmu." Ipung tertawa sambil meringis menahan sakit pada bahunya yang ditinju Lia. Plong hati Lia. Ia merasa mereka berdua telah menyelesaikan masalah itu secara baik dan dewasa.

Di Busan Yok, Ipung memeluk Lia untuk terakhir kalinya. Ia harus segera masuk ke dalam peron, karena kereta ekspres Seomaul yang akan membawanya kembali ke Seoul akan segera berangkat. Besok pagi pukul 11.00 siang, pesawat yang ditumpanginya menuju Jakarta akan berangkat dari pelabuhan udara Incheon. Lia merasakan keterharuan yang dalam. Bohong jika ia merasa tidak kehilangan. Bagaimanapun, perjalanan hidupnya bersama Ipung akan selalu menjadi bagian dari lembaran-lembaran terbaik kehidupannya.

"Selamat jalan Pung, salam buat semua teman-teman di tanah air, salam juga buat Fitri," bisik Lia. Ipung mengangguk. Rahangnya mengeras, mencoba menghalau keterharuan yang membuat tenggorokannya menjadi tersekat. Ia mengelap air mata yang membasahi pipi Lia dengan tangannya, dan kemudian melambaikan tangannya. Perlahan tubuh Ipung pun lenyap di antara deretan penumpang yang berbaris tertib memasuki peron.

Meskipun tetap merasa kehilangan, Lia merasa apa yang telah diputuskannya bersama Ipung adalah langkah yang terbaik untuk mereka berdua. Lagi pula Lia tak yakin dengan perasaannya sendiri. Ia masih akan lama di Busan. Sosok John Taylor masih akan lama bersamanya, dan ketertarikan di antara mereka berdua berkembang menjadi sesuatu yang tak tertahankan. Ia tahu sampai di mana batas kekuatannya. Di antara dirinya dan Ipung terentang jarak ribuan kilometer. Menjaga komitmen hubungan mereka akan menjadi sesuatu yang absurd dan sia-sia belaka. Karena ia tak yakin akan mampu memenuhinya.

Ya, bagaimanapun juga Lia merasa kehilangan. Di dalam taksi yang mengantarnya kembali ke tempat tinggalnya, benak Lia dipenuhi oleh berbagai kenangan yang telah dilaluinya bersama Ipung. Jika diibaratkan laut, Ipung adalah laut dengan gelombang-gelombang besar. Ipung dengan segala kegelisahan dan sepak terjangnya. Ah, hidup terkadang memang menyodorkan paradoks dan pilihan-pilihannya sendiri. Mungkin Lia tak akan tahan di tengah laut yang seperti itu, meskipun ia menginginkannya.

Lagi pula, bagaimana dengan lelaki yang satu itu? Bayangan wajah Ipung ganti berganti muncul bersama bayangan wajah John Taylor. Jika Ipung adalah laut dengan gelombang-gelombang besar, bagaimana dengan lelaki Amerika itu? Ah, mungkin lebih tepat jika John Taylor adalah laut dengan ombak kecil yang selalu mengalun dengan teratur.

Ketukan di pintu apartenya menyadarkan Lia. Ia mengangkat mukanya. Matanya masih terlihat sembab. Bagaimanapun, ia tetap wanita yang sesekali tidak bisa menahan keluarnya air mata. Lia melirik jam dinding, baru pukul sepuluh malam. Terhitung masih siang buat lingkungan di Korea yang biasa tetap hidup dan berdenyut sampai melewati tengah malam.

Lia mendekat dan bertanya, "Siapa?"

Suara yang sangat dikenalnya itu yang menjawab. Lia tertegun. Mau apa dia malam-malam ke sini? Lagi pula, aduh, bukankah sembab pada matanya itu hanya akan menghadirkan pertanyaan-pertanyaan konyol. Ketertegunannya berubah menjadi kegugupan.

John Taylor berdiri di ambang pintu. Senyumnya terkesan ragu-ragu. "Maaf aku tidak menelepon terlebih dulu. Dari jendela aparte tadi aku melihatmu kembali, sendirian. Dan, hei, mengapa wajahmu terlihat sedih?" Ia tak berani masuk ke dalam karena Lia belum menyuruhnya masuk.

Lia berpura-pura menunjukkan muka gusar. Dan ia baru sadar bahwa wajahnya saat itu pasti tampak berantakan. "Huh, kau ini, lagi-lagi bertingkah seperti kau ini ayahku saja. Kau memata-mataiku ya? Eh, masuklah John."

Mereka duduk berhadapan. Lia mengumpat dalam hati, mengapa ia menjadi gugup sendiri. John tersenyum malu-malu. Tampak ia berusaha menguasai perasaannya sendiri. Lia mengangkat wajahnya, dan kembali menunduk, tak tahan dengan mata yang begitu biru itu, yang melihat ke arahnya dengan pandangan yang sukar ditebak maknanya.

Lia mengalihkan pandangannya ke arah foto dirinya dan Ipung bersama teman-teman lainnya, di atas meja kerjanya. John mengekor dengan pandangan matanya. "Kau tahu siapa yang bersamaku selama dua hari ini, John?"

John mengangguk. Lia memperoleh kembali keberanian dan kepercayaan dirinya. "Dan cerita macam apa yang ingin kau dengar dariku, John?"

Lia melihat pemuda pemalu itu berubah menjadi gugup. "Ah, eh, tentu saja itu urusanmu, bukan urusanku."

Muncul keisengan Lia untuk menggodanya. "Bagaimana kalau kukatakan ia sengaja datang untuk memintaku menikah dengannya?"

John tampak terperanjat. Kalau saja tidak kasihan dengan sikap pemuda itu yang begitu serius, Lia tentu sudah meledak dalam tawa. John berdiri, dan melangkah mendekati jendela, kehilangan kata-kata. Kapan ia bisa bersikap seperti laki-laki lain, pikir Lia. Kalau saja ia tak begitu pemalu seperti itu? Ah, Lia tak tega untuk meneruskan permainannya. Ia menghampiri John, dan berdiri di sampingnya. Malam bulat sempurna di luar aparte.

"Antara aku dan dia sudah selesai, John. Sudah selesai," kata Lia, hampir seperti berbisik.

John kaget merasakan wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu kanannya. Bau segar yang menyenangkan meruap dari kepala mungil berhiaskan rambut hitam tebal itu. Bibir John bergerak, namun tak satu pun kata sempat keluar, karena Lia keburu menyentuhkan telunjuk kanannya ke bibir John. Lia ingin menikmati keheningan itu. Tak semua pertanyaan harus dijawab hari ini bukan?

John memberanikan diri mengangkat tangannya dan mengelus rambut yang lebat dan legam itu. Mulutnya urung bertanya. Sesosok malam musim gugur yang berawan mengambang di luar jendela. Langit tanpa bintang. Terasa dingin dan gelap di luar, namun tidak di dalam hati mereka berdua.(TAMAT)

Penulis: Rahmat H. Cahyono


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?