Fiction
Senandung Musim Gugur [7]

1 Jun 2012


<<<< cerita sebelumnya

Lia merasakan keharuan yang dalam saat Ipung hendak pergi. Ia merasa kehilangan juga, tapi bagaimana dengan John?

Lia menyiapkan diri untuk menerima kenyataan terburuk. Namun tetap saja hatinya tergoncang melihat pemukiman itu telah porak-poranda. Lia diperbolehkan masuk setelah berdebat cukup lama dengan petugas keamanan yang membarikade tempat itu. Diterangi cahaya sisa-sisa bangunan yang terbakar, Lia menemukan Romo Hadi dan kawan-kawan tengah memandang sedih bangunan sekolah mereka yang ikut terbakar. Ipung ada di sana, terluka di bagian tangan dan kepalanya. Semua orang tampak sedih dan kumuh. Lia melihat kesedihan terpancar dari mata setiap orang. Kepala mereka tertunduk.

Romo Hadi menarik Lia ke sudut yang agak sepi. Batin Lia langsung bereaksi: apakah sesuatu yang lebih buruk telah terjadi?

"Lia, kuatkan hatimu. Percayakan dirimu bahwa segala sesuatu berjalan sesuai kehendak-Nya," Romo Hadi berkata dengan suara lembut.

"Ada apa, Romo?"

"Ini tentang Murni, Lia."

"Ada apa dengan Murni?" Lia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.

Romo Hadi tidak menjawab. Ia membawa Lia ke salah satu bangunan yang masih utuh. Lia mendengar suara tangis Mak Isah, ibu Murni, terdengar dari dalam bangunan itu. Lia tak berani membayangkan sesuatu yang lebih buruk telah terjadi. Romo Hadi menyibak kerumunan orang. Mereka langsung memberi tempat buat Romo Hadi dan Lia. Begitu melihat Lia, Mak Isah langsung bergerak mendekat,

"Murni, Mbak Lia, Murni…." Mak Isah tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Tangisnya terdengar begitu mengibakan hati.

Seperti bermimpi Lia melihat Murni terbaring di dipan kecil. Masih tetap manis, meskipun baju dan kulitnya tampak kotor. Lia menyentuh tangan Murni. Dingin. Murni tidak akan mati, sayang. Tidak akan. Kamu terlalu berharga, terlalu cantik untuk mati. Lia ingin mengucapkan kata-kata itu. Namun suaranya tersumbat kesedihan yang menguasai dirinya.

"Tabahkan hatimu, Lia. Tuhan telah membebaskannya dari hidup yang berat. Baru saja, ketika Murni tadi terjebak asap di salah satu bangunan yang terbakar," suara Romo Hadi terdengar begitu dalam. Lia tenggelam dalam genangan kesedihan dan air matanya sendiri.

Matahari tampak lebih redup daripada biasanya. Pemakaman Murni hanya dihadiri beberapa orang. Kesedihan mengambang di udara, bercampur debu tanah merah yang diterbangkan angin di sekitar pemakaman itu. Lia kembali menangis ketika gundukan tanah merah mulai menutupi makam Murni yang kecil, di tempat pemakaman orang-orang terlantar atau orang-orang tak dikenal. Mak Isah menangis sesenggukan, tidak meraung-raung lagi seperti semalam. Pak Item terdiam, tapi orang tahu kesedihan di wajahnya tak akan hilang bertahun-tahun kemudian. Melekat, seperti kemiskinan yang telah menempanya dan membuat punggungnya bungkuk mengangkat beban hidup yang berat.

Ketika mereka kembali ke tempat bekas sekolah darurat setelah penguburan Murni, Ipung mendekati Lia yang masih tenggelam dalam kesedihannya.

"Apa rencanamu setelah ini, Lia?" Tanya Ipung hati-hati.

Lia tidak menjawab, sebaliknya mengalihkan perhatian pada luka-luka Ipung yang telah tertutup perban. "Bagaimana lukamu?"

"Tidak apa-apa. Tidak usah khawatirkan. Apa rencanamu setelah ini?" Ipung mengulangi pertanyaannya. Lia masih terdiam tidak menjawab.

"Kamu cantik kalau sedang sedih," Ipung mencoba melucu.

"Pung, aku sedang tak ingin becanda."

"Sorry, tapi kau belum menjawab pertanyaanku."

"Aku sedang berpikir, Pung. Tidak mudah memang menentukan sikap setelah apa yang kita alami di tempat ini. Tapi kurasa aku akan memanfaatkan kesempatan beasiswa ke Australia itu."

Ipung mengubah sikapnya menjadi lebih serius. "Itu bagus, tapi bagaimana dengan kita?"

"Kita? Maksudmu?"

"Kau tahu, kita, kau dan aku. Aku menginginkan lebih daripada sekadar bersahabat."

Lia menghela napas. "Biarlah berjalan secara alami dan apa adanya. Bukannya aku tak pernah berpikir ke arah itu. Namun aku butuh waktu untuk mengatasi kesedihan yang kuperoleh di tempat ini. Lagi pula, tempat ini butuh lebih dari sekadar perhatian biasa darimu, Romo Hadi, dan teman-teman yang lain. Aku rasa kau bisa memahaminya."

Ah, kenangan itu, kesedihan itu. Lia masih mengingat semuanya dengan baik. Malam ini disela jarak ribuan kilometer dari kota kelahirannya, kenangan itu muncul kembali, mengikutinya ke mana pun dia pergi. Kesedihan itu, perasaan kosong itu, menjelma sebagai awan tipis kehitaman yang berarak dan mengikutinya ke mana-mana. Sesekali menyelusup ke dalam mimpi-mimpinya. Hanya waktu yang kemudian berangsur-angsur menipiskan duka itu, kenangan itu.

Dan Ipung? Seperti apakah dia sekarang ini? Juga Romo Hadi, dan kawan-kawan yang lain? Kepala Lia serasa dipenuhi berbagai pertanyaan. Ketika kantuk yang pertama menyerangnya, lewat tengah malam sudah. Embun yang pertama mulai terbentuk di dedaunan dan pepohonan. Ia pun jatuh tertidur dengan pertanyaan-pertanyaan masih menggantung di benaknya.

Lia dan Ipung menatap langit sore musim gugur yang kelabu dan berawan. Yongdusan Park di kawasan Nampo-dong masih ramai dikunjungi orang. Di situ terdapat Busan Tower, menara setinggi 120 meter yang menjadi semacam lansekap kota terbesar kedua di Korea Selatan itu. Kebersamaan di antara mereka selama hampir dua hari membuat Lia berpikir, rasanya ada yang berubah dari diri Ipung sekarang, entah apa. Yang pasti Lia merasakan Ipung semakin matang, meskipun gaya bicaranya masih tetap bersemangat seperti dulu. Mungkin juga karena penampilannya sudah jauh berubah. Rambutnya tak lagi gondrong. Ia juga terlihat lebih segar dan lebih gemuk.

"Aku sekarang sudah bisa menghentikan kebiasaan merokok, Lia," akunya dengan bangga. Lia mengacungkan jempol, karena tahu susahnya dulu meminta Ipung mengurangi kebiasaan merokoknya. Ya, dulu memang Ipung perokok berat.

Namun gaya santai dan bersahajanya masih tetap sama. Meskipun Lia meledek sekarang Ipung sudah jadi tokoh LSM berskala nasional yang kadang-kadang dikutip komentarnya oleh media massa. Toh ia hanya menyiapkan satu setel jas dan dasi untuk acara di Seoul.

"Berarti selama empat hari pertemuan dan seminar HAM Asia Pasifik di Seoul kemarin itu, kau tak pernah berganti jas ya, Pung?" ledek Lia sambil tergelak. Ipung ikut tertawa.

Seluruh barangnya memang cukup dibawa dalam satu ransel. Ketika Lia bertanya kenapa bawaannya ringkas sekali, sambil tersenyum Ipung menjawab, ia toh hanya pergi seminggu. Kebutuhannya tidak banyak, dan semuanya sudah termuat dalam ransel merahnya itu. "Malah aku dapat tambahan sabun, odol, dan sikat gigi dari hotel tempatku menginap di Seoul, plus dua kondom gratis," tambahnya lagi yang membuat Lia kembali tertawa.

"Pung, Pung, untung saja kau juga tidak tergoda menilep handuk hotel," kata Lia.

"Siapa bilang tidak tergoda? Hanya saja aku masih cukup waras untuk tidak menambah coreng di wajah bangsa sendiri," sahut Ipung.

Namun Lia menangkap satu hal asasi yang tak berubah dalam diri Ipung. Lelaki itu tetap seorang muda yang gelisah melihat perkembangan keadaan di negerinya. Semangatnya untuk melakoni apa yang diyakininya benar masih tetap sama. Mungkin ia kecewa dan marah dengan masih buruknya keadaan di tanah air mereka. Lia bisa menangkap kegelisahan itu. Namun ia juga yakin Ipung terlalu liat untuk menjadi putus asa dan kehilangan akal sehat dalam jalan yang diyakininya.

Setelah puas mereguk berbagai cerita mengenai perkembangan di tanah air, teman-teman dan kenalan mereka, Lia juga akhirnya yang mengerem Ipung bercerita lebih banyak. "Sudah Pung, lupakan dulu urusan di negara kita. Kau toh hanya punya waktu dua hari untuk menikmati liburan di sini. Kenapa sih kau tak bisa bersikap seperti turis biasa?"

Ipung tertawa dan memencet hidung Lia. Ah, kebiasaan lamanya itu tak juga hilang. Lia menarik tangan Ipung. "Kau lupa aku di sini dipanggil kyosu, artinya profesor. Kau kok enak-enak saja memencet hidung orang," katanya sambil bersungut-sungut.

Ipung masih mencoba menyerang Lia dengan kata-kata. "Aku tahu kenapa kau memintaku berhenti bercerita mengenai keadaan di negara kita? Itu kompleks khas orang yang tinggal di luar negeri. Kau sudah terbiasa tertib dan nyaman berada di negeri orang, sehingga tidak tahan dengan cerita semrawutnya tanah air sendiri."

"Boleh jadi juga benar. Namun aku cuma kasihan sama kamu. Sekali-kali bersikap seperti orang lain kenapa sih? Sudah, nikmati saja liburanmu yang cuma dua hari. Aku akan menjadi guide yang baik buatmu."

"Oke, Nona, apa sih yang bisa dinikmati dari kota ini. Eh, ada hiburan malam buatku, nggak?"

"Hus, ngawur. Daerah lampu merah di sini aku tahu. Yang namanya Texas Road itu, persis di seberang Busan Yok, banyak cewek Rusia cantik-cantik lho. Tapi aku nggak sudi ngajak kamu ke sana."

"Hehehehe, cemburu?"

"Ge er!"


Penulis: Rahmat H. Cahyono


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?