Fiction
Rahasia Diri [6]

29 Dec 2011

<< cerita sebelumnya

Seandainya Henny yang terbunuh, pasti Aron juga akan mendekam di penjara. Saat itu, posisi Henny terpojok. Hanya ada dua pilihan. Ia dan bayinya terbunuh atau Aron yang harus mati. Ia sendiri tidak pernah tahu bahwa ia memiliki keberanian untuk menusukkan gunting ke tubuh Aron, bahkan sampai berulang kali.

“Jadi, berita itu benar, Ma?” Vivi menerka sikap diam ibunya.

“Seandainya benar…,” suara Henny mengambang. Baru kali ini ia berani membuka suara.

“Tidak! Mama kejam! Kejam! Mengapa Mama menghancurkan karier yang dengan susah payah saya rintis? Mengapa Mama tidak bercerita sejak awal? Mengapa Vivi harus mendengarnya dari orang lain? Mengapa, Ma?” tanya Vivi.

Baru kali ini ia bersuara keras pada ibunya. Sebagai anak, ia selalu sopan. Karena, ibunya adalah satu-satunya orang yang ia kasihi, tempat ia berlindung dan berbagi rasa. Tapi, sekarang sosok ibu yang selama ini dipandangnya dengan penuh rasa hormat, berubah total. Ia begitu membencinya, meskipun Henny menyesali perbuatan masa silamnya.

“Maafkan Mama, Nak! Semua itu Mama perbuat untuk membela diri,” tutur Henny, penuh sesal.

“Bukan pembunuhan itu yang saya sesali. Karena, saya pun tidak akan terlahir ke dunia ini kalau Mama tidak menye­la­matkan diri dengan membunuh bajingan itu. Tapi, mengapa selama ini Mama selalu menutup-nutupi tentang Papa? Mama selalu berkelit setiap kali saya tanya. Dan, yang sangat saya sesali, saya justru mendapat informasi ini dari media, bukan dari Mama. Mau ditaruh di mana muka ini, Ma? Di kemanakan?!”

Henny hanya diam. Putri yang dikandungnya selama 9 bulan di penjara itu mampu membentak, bahkan memojokkan dirinya. Air mata yang sejak tadi tertahan di pelupuk mata, mengalir deras. Dadanya sesak menahan kekecewaan dan penyesalan diri.

Sudah dua minggu ini hubungan antara Vivi dan ibunya terjalin tidak harmonis. Rumah yang senantiasa dipenuhi gelak-canda ibu dan anak ini terasa sepi. Henny, yang senantiasa diliputi perasaan bersalah, berusaha untuk mengajak bicara atau mengalihkan pembicaraan ke hal lain, agar suasana rumah tidak terasa tegang. Namun, sepertinya, Vivi menyim­pan kekecewaan yang dalam sehingga ia sulit memaafkan ibunya. Vivi selalu mengelak diajak bicara. Bahkan, sudah 2 hari ini, ia tidak pulang ke rumah.

Henny pun mengambil keputusan terpahit. Ia meninggalkan rumah, saat seluruh penghuni rumah tertidur lelap.

Vivi, anakku sayang…
Mama memang tidak pantas menjadi mamamu. Perbuatan Mama di masa lalu sungguh memalukan, meskipun hal itu Mama lakukan untuk mempertahankan janin yang Mama kandung saat itu, yaitu dirimu. Agar kamu bahagia dan Mama tidak menjadi benalu dalam hidupmu, Mama pergi. Harapan Mama, setelah kepergian Mama, rasa benci dan amarahmu terhapuskan. Maafkan Mama, ya, Nak.

Keputusan Henny untuk pergi jauh sudah bulat. Entah ke mana. Ia belum punya tujuan. Angin malam yang menusuk hingga ke tulang tak dihiraukannya. Berbekalkan sedikit uang yang dimilikinya, Henny meninggalkan rumah mewah yang pernah ditempatinya bersama putri tercintanya. Semua tinggal kenangan. Walau berat langkahnya, ini merupakan keputusan terbaik. Sikap Vivi yang tak acuh dan selalu menghindar sudah cukup menjadi petunjuk bahwa ia harus cepat pergi dari rumah itu.

Suara gaduh terdengar di rumah Vivi. Bi Iyah dan Mbak Sum berteriak-teriak, membangunkan Vivi yang baru pulang pukul 3 dini hari, seusai syuting.

“Ada apa, sih, Bi Iyah?” tanya Vivi, sambil membuka pintu kamarnya.

“Maaf, Non. Itu... Ibu…!” suara Bi Iyah terdengar gagap.

“Ibu? Ibu kenapa?” suara Vivi tak acuh.

“Ibu tidak ada di kamarnya!”

“Sudah dicari belum? Mungkin di dapur atau kamar mandi.”

“Semua sudut sudah dicari, Non. Ibu tidak ada!” ujar Bi Iyah, gundah.

“Non Vivi, ini ada surat untuk Non. Sepertinya, dari Ibu!” seru Mbak Sum, dengan napas tersengal, sambil memberikan secarik surat yang ditulis Henny dengan gemetar.

Selesai membaca surat itu, Vivi tercenung. Akar kebencian masih tertancap tajam di hatinya dan sulit untuk dicabut. Berulang kali ia menyesali diri, mengapa ia harus terlahir ke dunia ini, kalau harus menanggung malu.

Pemberitaan di media terus menyudutkan ia dan ibunya. Media tidak pernah mengupas sisi lain, mengapa ibunya berbuat nekat.

Media benar-benar tak mempertimbangkan perasaannya. Karier Vivi benar-benar hancur. Produser tidak mau memakainya lagi, karena cerita buruk yang bertubi-tubi tentang dirinya. Kalaupun ia masih syuting, itu hanya tinggal menghabiskan sisa kontrak saja. Ada juga produser yang tanpa basa basi memutuskan kontrak sepihak dan menggantikan perannya.

Vivi tidak bisa protes. Ia teringat perbincangannya dengan Tiyo Bram, seorang produser.

“Vi, aku bisa mencetakmu menjadi artis papan atas, kalau kamu mau menuruti permintaanku!” kata Tiyo.

“Maksudnya?” tanya Vivi, tidak mengerti.

“Menjadi istri simpananku!” ujar Tiyo, enteng.

“Gila! Bapak pikir saya ini wanita murahan?”

“Tenang, Vi. Kamu tidak perlu emosi begitu. Aku kan hanya memberikan jalan. Itu pun kalau kamu mau kariermu melesat. Tapi, kalau hanya mau jadi figuran saja, itu terserah kamu. Bagaimana? Semua itu ada timbal baliknya. Kalau kamu bersedia jadi istriku, aku akan memberikan peran utama untukmu. Ini alamat apartemenku. Dengan senang hati aku menunggu kunjunganmu,” ujar Tiyo, sambil memberikan kartu namanya dan berlalu meninggalkan Vivi.

Apakah untuk menjadi seorang bintang papan atas ia harus menjual harga dirinya? Sudah 4 tahun, Vivi menjadi figuran, yang nyaris tidak pernah dilirik penonton. Padahal, ia mempunyai kemampuan akting yang bagus. Wajah cantik dan bentuk tubuh proporsional ternyata bukan faktor utama untuk bisa memuluskan langkahnya. Pesaingnya begitu banyak. Semua cantik-cantik, langsing dengan penampilan memukau. Yang lebih mengherankan, karier mereka begitu cepat meroket. Padahal, belum setahun mereka menapakkan kaki di dunia hiburan.

Mengapa nama mereka cepat melambung? Apakah karena mereka mau dijadikan simpanan produser? Ah, tapi, itu urusan mereka. Yang penting, aku tidak demikian.

Namun, harapan Vivi untuk bisa berjalan mulus, tanpa harus mengorbankan harga diri, tidak membuahkan hasil. Sulit sekali baginya untuk mendapatkan peran. Jangankan peran utama, menjadi peran pembantu saja rasanya jauh dari kenyataan.


Penulis : Dennise



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?