Fiction
Perempuan Bernama Riska [8]

6 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Bowo sedang bersantai, ketika ponselnya berbunyi. Saat tahu dari Riska, perasaan Bowo campur aduk, antara marah, benci, dan kangen.

“Mas, aku minta maaf, telah menyakiti hatimu. Aku memang tidak pantas menjadi istrimu. Mas cari saja istri yang lebih baik,” kata Riska, menangis keras.

Bowo yang semula ingin memaki Riska, berbalik menjadi lunak.

“Di mana kamu?” tanya Bowo dengan nada suara rendah, tanpa menanggapi permintaan maaf Riska.

“Aku sudah di Jakarta, di rumah Mbak Ratna.”

“Kenapa tidak pulang ke rumah? Aku kan masih suamimu.”

“Aku takut, Mas.”

“Tidak perlu takut. Kita selesaikan masalah kita dengan baik-baik. Perlu aku jemput?”

Mendengar suara Bowo yang lembut tanpa ada nada marah, hilang juga rasa takut Riska.

“Tidak usah, Mas. Sekarang sudah malam, besok saja aku pulang.”

Keesokan harinya, pukul sebelas, dengan menggunakan taksi, Riska tiba di rumah Bowo. Bowo benar-benar memperlihatkan diri sebagai orang tua yang bijaksana, layaknya seorang ayah menghadapi anaknya yang bermasalah. Sama sekali tidak tampak tarikan wajah marah. Justru dengan senyum dan kesabaran dia menerima kedatangan Riska.

Bowo mengeluarkan koper Riska dari taksi, dan membawanya masuk rumah. Bowo sendiri merasa heran, dari mana dia memperoleh kekuatan, sehingga dapat menekan perasaan marah.

Saat masuk kamar, Riska langsung menjatuhkan kepalanya di pangkuan Bowo. Dengan terisak Riska menyampaikan permohon­an maaf. Selama ini dia terpaksa berbohong, karena tidak sampai hati menyakiti hati Bowo.

Dengan suara pelan dan hati-hati Bowo bertanya, “Pria itu, ya, yang bernama Anton?”

Riska mengangguk.

“Dia disuruh Ibu menjemput aku,” kata Riska.

“Kalau begitu, ibumu belum tahu bahwa kita sudah menikah.”

“Sekali lagi, maafkan aku, Mas, sudah membohongi kamu.”

“Kok, sampai hati kamu membohongi aku?”

Bowo tidak dapat menemukan kata-kata untuk mengungkap perasaan dan kata hatinya. Ia merasa menjadi orang tua yang bodoh dan lemah, karena berkali-kali dapat dibohongi dengan mudah.

“Kapan kamu kenal dengan Anton?”

“Dua bulan setelah kita menikah.”

“Jadi karena itulah kamu sulit dihubungi jika sedang berada di Semarang. Kalau sudah bersama Anton, kamu jadi lupa pada suamimu, ya? Lalu, bagaimana dengan pernikahan kita? Aku ini masih suamimu. Kalau seorang pria, sih, bisa berpoligami, bisa punya istri dua malah tiga, tetapi kalau wanita kan tidak mungkin punya dua suami?”

Bowo teringat pembicaraannya dengan Riska beberapa waktu lalu, tentang pria tua yang merelakan istrinya berpacaran dengan pria lain, asal istrinya tetap memperlakukan dia sebagai suami. Bowo pikir, hanya suami bodoh yang mau diperlakukan istrinya seperti itu. Ia sendiri tidak akan pernah mau. Tapi, hati kecil Bowo membantah. Bukankah dirinya juga sama bodohnya dengan pria yang diceritakan Riska. Karena, dia tidak bisa bersikap tegas, bahkan terkesan lemah tak berdaya terhadap istri yang telah berselingkuh dan membohongi dirinya.

Sampai larut malam, Bowo dan Riska belum dapat menuntaskan persoalan mereka. Bowo tidak tegas, sedangkan Riska tetap tidak mau berterus terang. Ia bahkan juga terkesan masih membutuhkan Bowo. Akhirnya, yang muncul justru suasana saling sayang.

Malam berikutnya, sambil berbaring di tempat tidur, mereka kembali berbincang-bincang.

“Ibu menjodohkan aku dengan Anton, karena Ibu ingin aku punya anak.”

“Aku mengerti. Tapi, aku juga berusaha memenuhi keinginanmu.”

“Betul, Mas. Tapi, aku kan berpacu dengan waktu, berpacu de-ngan usia. Mas sendiri bilang, orang seperti Mas yang pernah menjalani operasi prostat, harus bersabar jika ingin punya anak.”

“Kalau kamu sudah tahu, kenapa mau menikah denganku?”

“Itulah kesalahanku. Aku menyesal, Mas.”

“Kamu tidak merasakan bagaimana hancurnya perasaanku. Ka-mu bohongi aku, khianati aku. Aku ditinggal sendiri di rumah, sementara kamu berpacaran dengan Anton.” Mata Bowo tampak berkaca-kaca.

“Jangan menangis, Mas.”

“Air mataku keluar sendiri, tidak dapat aku tahan. Kamu, sih, enak, pisah dari aku, masih ada Anton. Bagaimana dengan aku? Pernah tidak kamu memikirkannya?” Sambil menghapus air matanya, Bowo melanjutkan, “Lalu, kapan kamu akan menikahi Anton?”

Riska diam, tidak mau menyakiti hati Bowo.

“Meskipun kita kawin siri, secara agama pernikahan kita sah. Selama aku belum menceraikan kamu, perkawinan kalian tidak sah.”

Riska meragukan pernyataan Bowo. Ia berpikir, KUA di Semarang tidak pernah tahu bahwa ia sudah menikah.

Meski telah beberapa kali Bowo dibohongi Riska, pada bulan berikutnya ketika Riska minta izin pulang ke Semarang, Bowo tetap mengizinkan. Bahkan, ia mengantar Riska ke bandara.

”Mungkin, di dunia ini, tidak ada suami yang mengantar istrinya pergi untuk berpacaran,” gumam Bowo.

“Mas memang suami yang baik.”

“Bukan baik, tapi suami yang bodoh.”

Bowo tahu, sebagai pria seharusnya dia bersikap tegas untuk segera menceraikan Riska. Namun, dia seperti tidak berdaya. Apakah jika orang seusia Bowo jatuh cinta, jadi seperti kerbau dicocok hidung? Bowo tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri.

Saat Riska berada di Semarang, dalam keadaan hati yang risau, Bowo membuka lemari dan membongkar isi lemari Riska. Dalam sebuah tas tangan, Bowo menemukan sehelai foto Riska berdua dengan Anton, yang dibuat saat selesai acara lamaran. Di bawah sinar lampu duduk, Bowo memerhatikan wajah Riska yang tampak bahagia. Sepertinya, ia tidak ingat bahwa dia menyandang status sebagai istri Bowo.

Timbul keinginan Bowo mengirim surat untuk KUA Semarang. Lewat telepon, Bowo menghubungi KUA Semarang. Ia menanyakan alamat KUA Kacamatan Pedurungan, tempat Riska dan Anton mungkin akan mendaftarkan pernikahan mereka. Bowo menulis surat, mengatakan bahwa Riska berencana untuk menikah dengan pria bernama Anton. Ia bercerita tentang status Riska sebagai istri sahnya. Ia pun mengharapkan bantuan dari pihak KUA agar tak mengabulkan permohonan menikah atas nama Riska dan Anton.

Ketika Riska pulang dari Semarang, Bowo tidak memberi tahu Riska bahwa dia mengirim surat ke KUA Pedurungan. Bowo justru memperlihatkan foto Riska berdua dengan Anton. Riska tak mengerti dari mana Bowo menemukan foto tersebut. Namun, dengan tertawa Riska menjawab, “Oh, ini potret rame-rame ketika adikku mengkhitankan anaknya.”

“Kamu anggap aku ini bodoh? Anak kecil pun tahu bahwa foto ini dibuat di studio. Kenapa kamu masih terus berbohong? Apakah tidak bisa sekali saja kamu bicara jujur?”


Penulis: Adam Saleh


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?