Fiction
Perempuan Bernama Riska [7]

6 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Hari kedua, bulan Januari 2006, Bowo dan Riska masih berada di Bandung. Hari ini rencananya mereka akan mengunjungi beberapa factory outlet yang bertebaran di sepanjang Jalan Riau. Ketika berada di salah satu outlet, Riska yang sedang memilih-milih pakaian yang akan dia beli, menerima telepon dari Anton.

Antara takut ketahuan Bowo dan keinginan untuk bicara dengan Anton, membuat Rika jadi kelihatan sibuk. Sambil berbicara di telepon, sudut mata Rika terus melihat ke arah Bowo yang berdiri agak jauh. Tangan kanannya memegang pakaian yang akan dia beli, tangan kirinya memegang ponsel, merapat di telinga kirinya.

Bowo sambil melihat-lihat pakaian pria, matanya berkali-kali menengok ke arah Riska, agar bisa mengawasi keberadaan Riska, sehingga tidak sulit mencarinya. Tiba-tiba mata Bowo tertarik memerhatikan tingkah Riska yang sedang berbicara lewat ponsel. Karena sedang asyik ngobrol, Riska tidak sadar bahwa Bowo dari jauh memerhatikan dirinya.

Bowo berjalan mendekati Riska. Melihat Bowo datang, Riska cepat-cepat menyudahi pembicaraan dan menutup ponselnya.

“Asyik banget kamu ngobrol. Telepon dari siapa?” tanya Bowo.

“Dari teman-teman, mengucapkan selamat tahun baru,” jawab Riska, berbohong.

“Bukan dari Anton?”

“Mas, kamu, kok, jadi cemburu begitu?” kata Riska, sambil meletakkan bahan pakaian yang sejak tadi dia pegang, dan melangkah menuju ke tempat penjualan sepatu.

“Betul kan dari Anton?” Bowo mengulang pertanyaannya.

Riska tidak mau menjawab pertanyaan Bowo.

Merasa pertanyaannya diabaikan, Bowo dengan marah bergegas keluar ruangan menuju tempat parkir kendaraan. Riska segera mengikuti Bowo dari belakang. Keduanya kemudian masuk ke dalam kendaraan dan kembali ke hotel. Siang itu juga mereka kembali ke Jakarta.

Dalam perjalanan Bandung-Jakarta, Bowo dan Riska masih kelihatan bersitegang, meskipun lebih banyak diamnya.

“Kalau kamu masih mengangap aku sebagai suami, aku minta kamu tidak lagi berhubungan dengan Anton.”

“Aku dan Anton itu tidak ada hubungan apa-apa, Mas.”

“Buktinya, kamu masih menjawab teleponnya.”

“Masa aku tidak boleh menjawab telepon teman? Nanti dikira tidak sopan.”

Hati Bowo tidak bisa dibohongi, Bowo merasa ada sesuatu antara Riska dan Anton.

“Tapi, betul kan tadi dari Anton? Aku minta, mulai saat ini kamu tidak berhubungan lagi dengan Anton.”

Namun, sebagaimana biasa, kemarahan Bowo tidak bertahan lama. Bowo lebih mengutamakan bersikap sabar daripada mengumbar marah. Karena itu, ketika menikah untuk kedua kalinya, jika marah, Bowo tidak pernah berlama-lama. Dalam hitungan jam, kemarahannya akan mengendur, dan perlahan-lahan hilang, apalagi Riska pandai mengambil hati Bowo.

AKHIR APRIL 2006
Setelah lebih dari tiga minggu belum ada berita dari Riska, Bowo berniat menghubungi istrinya. Namun, niat itu dia batalkan. Sebagai gantinya, Bowo menulis surat pada Bu Puji. Dalam suratnya Bowo menceritakan secara rinci tentang hubungan dan pernikah-annya dengan Riska. Namun, ketika surat sampai ke tangan Bu Puji, Riska justru sudah meninggalkan Semarang, kembali ke Jakarta.

Bu Puji terkejut menerima surat dari Bowo. Dia merasa tidak mengenal penulis surat yang mengaku suami Riska. Dalam keadaan kaget dan bingung, Bu Puji langsung menghubungi anak sulungnya, Ratna, dan menceritakan isi surat yang baru dia terima.

“Rat, kamu tahu tidak bahwa adikmu menikah dengan orang yang bernama Bowo? Kalau betul, keterlaluan sekali adikmu itu. Ibu malu kalau sampai kejadian ini terdengar oleh keluarga Anton. Ibu minta kamu urus adikmu, Rat,” kata Bu Puji.

Ratna merasa mengenal betul sifat dan perilaku Riska. Setelah menikah dengan Bowo, Riska pindah dari rumah kakaknya, dengan alasan mencari tempat kos yang dekat dengan kampus.

“Ris, kamu ini keterlaluan. Kamu bilang tinggal di tempat kos, ternyata kamu menikah dengan Pak Bowo.”

Riska terheran-heran, dari mana kakaknya tahu tentang hal itu.

“Pak Bowo menulis surat kepada Ibu, mengadukan kamu. Kamu keterlaluan sekali.”

“Maaf, Mbak. Aku mengaku salah. Tadinya aku hanya ingin berteman saja dengan Pak Bowo. Tetapi, ketika diajak nikah, aku tidak bisa menolak.”

“Jadi, ketika kamu kenalkan aku pada Pak Bowo, sebenarnya kamu sudah menikah?”

Riska diam.

“Aku tak habis mengerti, sampai hati kamu mempermainkan orang tua seperti dia. Kasihan. Malu, dong, pada anak-anak Pak Bowo.”

Riska hanya ter diam, mukanya menunduk lesu.

“Kalau kamu sudah jadi istri Pak Bowo, mengapa kamu mau menerima lamaran Anton? Kamu sadar tidak, kalau sampai keluarga Anton tahu dan membatalkan lamarannya, seluruh keluarga kita akan menanggung malu.”

Mendengar kata-kata kakaknya, Riska terisak.

“Sekarang juga kamu hubungi Pak Bowo. Selesaikan baik-baik persoalan kamu,” kata Ratna, tegas.

Merasa bersalah dan takut, malam itu juga Riska memberanikan diri menelepon Bowo.


Penulis: Adam Saleh


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?