Fiction
Nyanyi Sunyi Celah Tebing [8]

17 Feb 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Gunung Kawi, awal Oktober 1994
Suara gong kebyar terdengar mengeras dan Naka mendekat. Pakaian kebesaran telah dipakai Naka. Ambed keemasan dan kain gemerlapan. Kepalanya memakai mahkota kecil dengan bunga yang bersusun-susun, seperti penari Legong Keraton. Raja Kerajaan Bali telah memanggilnya dan memintanya menghadap. Raja ingin bertemu dan bercakap-cakap. Dialah Raja Anak Wungsu yang gagah dan berwibawa. Kumis tipis menghiasi bibirnya yang tipis. Ampok-ampok, gelungan, dan seluruh pakaian kebesarannya digunakan.

Ia begitu gagah. Di kanannya, duduk dengan tenang permaisuri dengan parasnya yang elok. Permaisuri menyambut Naka dengan senyuman saat kakinya melangkah satu-satu di undakan puri. Gong yang tadinya ditabuh rancak, sejenak beralih ke tabuh lelambatan, yang biasanya digunakan untuk mengiringi upacara di pura-pura.

Beberapa jengkal dari kaki Raja, Naka duduk bersimpuh. Menghaturkan sembah dengan kedua tangan dirapatkan di depan hidung. Raja Anak Wungsu memintanya menurunkan sembah.

“Aku melihatmu selalu saja murung, Naka. Padahal, kamu selalu sangat cerah. Ada apa, Anakku?”

“Ya, Ratu, bukankah Ratu telah mengetahui kepedihan tiang. Raka, kakak tiang, hilang. Sudah berbulan-bulan tiang menunggu, namun belum ada kabarnya. Kiranya Ratu dapat membantu?”

“Raka... Raka.... Ya, aku akan mencoba mencarinya. Sepertinya ada salah satu prajurit dan abdi puri yang pernah melihatnya. Kakakmu adalah anak laki-laki yang gemar meniup seruling itu. Kabar itu pernah terdengar luas di seluruh negeri.”

“Benarkah Ratu? Kiranya tiang dapat bertemu dengannya?”

“Tunggu sebentar, Naka. Aku harus tanyakan dulu ke beberapa pengawalku. Sebentar lagi aku kembali.”

Raja Anak Wungsu beranjak dari singgasananya dan menghampiri satu pasukan prajurit yang berdiri di halaman puri. Sang Raja tampak bercakap-cakap dengan para prajurit itu. Tak lama, Raja sudah kembali menaiki undak dan duduk di singgasananya.

Naka kembali menghaturkan sembahnya, sambil menunggu Raja menyampaikan informasi yang didapatnya.

“Benar Naka, anak itu bernama Raka. Ia tinggal di suatu pedesaan di pesisir wilayah kerajaanku. Suara serulingnya yang terdengar sedih dan menyayat, mengundang warga desa berkunjung dan memberikan sedekah. Dengan cara itulah Raka menghidupi diri. Pada semua orang yang ia temui, ia mengatakan sedang mendendangkan nyanyian itu untuk adiknya terkasih. Engkau Naka. Ia berharap engkau bisa mendengar sayup-sayup suara seruling yang ia mainkankan tiap malam untuk membuatmu tertidur.”

Naka bahagia. Sebentar lagi ia akan bertemu Raka.

“Izinkan, Ratu, izinkan tiang bertemu dengannya!”

“Tidak bisa, Naka, duniamu dan kerajaanku berbeda. Kamu tidak bisa bertemu kakakmu. Aku hanya mengabarkan ia baik-baik saja dan terus memikirkanmu. Raka hanya ingin melihatmu berhenti menangis dan kembali cerah seperti dulu. Raka mengatakan telah menerima surat-suratmu, namun tidak sempat membalasnya. Ia hanya memintamu mencari suara seruling di malam hari dan tertidur lelap setiap malam. Itu saja. Sekarang kembalilah.”

“Tidak Ratu, tiang tidak akan pulang. Tiang ingin bertemu Bli Raka, tiang sudah sangat kangen padanya. Tunjukkanlah kemurahan hati Ratu. Antarkan tiang ke pedesaan pesisir tempat Raka tinggal. Tiang ingin turut tinggal di sana.”

“Jangan bandel, Naka, kembalilah ke rumahmu!”

“Tiang akan duduk memohon dan menghaturkan sembah sampai Ratu mengabulkan permohonan tiang!”

Raja menghela napas panjang. “Aku tidak bisa membantumu, Naka. Aku tidak bisa melawan takdir hidup!”

Naka tetap bergeming dengan kata-kata Raja. Ia menegakkan kakinya dan membentuk simpuh tinggi. Setelah itu Naka hanya diam, dengan air mata yang tidak meleleh satu-satu di pipinya. Para patih dan pengawal di Bale Pesamuhan itu memandang tingkah Naka dengan iba. Permaisuri menoleh ke arah Raja dengan tatapan berharap. Permaisuri ingin mengabulkan keinginan Naka.

“Apa yang dapat aku lakukan, Adinda, tak mungkin mempertemukan Naka di dunianya dengan Raka.”

“Kau bisa gunakan kesaktianmu yang mahatinggi untuk mengabulkannya. Kedua bocah kembar itu tidak bisa dipisahkan. Di masa lalu mereka dipandang jodoh sejati, bahkan dinikahkan. Bagaimana anak ini dapat hidup tanpa kakak kembarnya?”

“Aku tak tahu, bisakah aku membelokkan mekanisme alam!”

Denpasar, Kantor Memoar
Kabar yang ia dengar pagi tadi memaksa Lily bergegas menuju Gunung Kawi. Ia ditelepon dari Wi Made Gemet yang mengatakan Naka hilang. Apa lagi ini? Mereka belum menemukan Raka, kini Naka hilang. Ke mana dia? Apakah nekat menceburkan diri ke Sungai Pakerisan? Atau, ia pergi dengan kendaraan umum untuk mencari ke mana pun, dan akhirnya kesasar? Atau, ia diculik?

Lily menjemput Cakra di galerinya di Ubud. Cakra tak kalah panik. Mereka merasa bersalah, karena berbulan-bulan tidak memerhatikan anak itu. Mereka terlalu sibuk dengan dunia mereka berdua. Tentu anak itu makin kehilangan pegangan.

Lily melihat kerumunan warga desa di rumah nenek Naka. Semerbak dupa tercium dari para wanita yang membawa sesajen. Mereka meletakkan sesajen kecil di setiap sudut halaman rumah. Nenek Naka duduk tersandar di salah satu tiang Bale Dangin. Kedatangan Lily dan Cakra membuatnya bangun dan memeluk Lily.

“Tolong Nak Lily, cari dua cucu saya. Tolong Cakra, kamu kehilangan dua adikmu!”

“Bagaimana awalnya Naka hilang, Dong?” tanyanya

“Semalam ia masih tidur di kamarnya. Tidak ke mana-mana. Subuh tadi, saat Dadong membangunkannya, ia tidak ada.”

“Apa sudah dicari ke tempat-tempat ia biasa main. Bisa saja dia tidak bisa tidur tadi malam, lalu subuh-subuh ke luar rumah untuk main. Coba saja dicari di candi. Ia suka ke sana.”

“Sudah, Gemet sudah mencarinya ke mana-mana. Tapi, kita masih terus coba lagi. Warga Banjar Penake sudah mencari di setiap sudut, dan memanggil-manggil namanya.”

Esoknya masyarakat Banjar Penake mencari dengan membawa obor dan gamelan, juga berbagai benda berbunyi keras untuk mengusir makhluk halus. Pencarian hingga tengah malam gagal. Beberapa tukang tenung dan balian dimintai keterangan untuk mencari Naka. Mereka menyebutkan beberapa petunjuk. Naka sedang menemui kakaknya. Namun, tak jelas apa yang dimaksud.

Sepekan pencarian, kasus diserahkan kepada polisi. Lily dan Cakra hanya bisa melongo. Mengapa kawasan ini begitu gaib? Punya kemampuan menelan bocah-bocah, menghilangkan mereka tanpa jejak. Lily yang semula tak percaya pada makhluk halus penghuni rumpun bambu, menjadi bimbang. Mungkinkah keduanya diculik makhluk halus. Mereka dikembalikan saat dewasa, atau tidak sama sekali. Itu cerita yang ia dengar dari warga desa.


Penulis: Ni Komang Ariani


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?