Fiction
Nyanyi Sunyi Celah Tebing [7]

17 Feb 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Benarkah ia mencintai Cakra? Menginginkan pria itu menjadi teman hidupnya? Jika mendengar kata hati, ia mungkin bersedia menjadi pacar Cakra. Namun, menikah dengannya?

“Kau tidak dilarang untuk menolak menikah denganku, Ly. Jangan bingung begitu,” cetus Cakra.

“Aku justru heran mengapa kau tiba-tiba mengajakku menikah. Habis kena angin apa kamu?”

“Aku mencintaimu, Ly. Menginginkanmu. Aku ingin menikah denganmu. Aku ingin kau menjadi istriku yang ada di antara aku tertidur dan bangun.”

“Bukankah kau tidak ingin beristri? Kapan kau berubah?”

“Aku tidak merasa berubah, Ly. Kalaupun ya, aku tidak tahu pasti sejak kapan. Yang bisa kumengerti adalah aku menemukan rasa baru di hatiku. Aku ingin menikah denganmu. Aku ingin menjadikanmu istriku. Itu saja!”

Bagi Lily, mengenal Cakra adalah keajaiban. Semuanya berjalan seperti air bah yang tidak sanggup dibendungnya. Begitu bebas. Begitu sulit dikendalikan. Tapi, menikah dengan laki-laki itu, dalam waktu secepat ini, Lily harus bertanya ulang pada hatinya.

Gunung Kawi, Agustus 1994
Tahukah kau rasanya kehilangan orang yang memelukmu tiap malam?
Tahukah kau rasanya kehilangan tangan yang bisa kau sentuh tiap malam?
Andai kau tahu rasanya sendirian dalam hari-hari yang panjang.
Hari-hari yang tidak punya akhir.
Apakah yang akan kau lakukan  selain mengembalikan yang pernah kau miliki. Ia yang dapat kau peluk. Ia yang mengelus kepalamu.
Katakan apa yang harus dilakukan, bila ia satu-satunya pilihan?

Bagi Naka, Raka satu-satunya dunia yang aman. Dunia yang nyaman. Dunia di mana ia ingin terus berada di dalamnya. Dunia yang tak memberinya rasa takut. Dunia yang tak pernah mengancam. Ia tidak dapat melanjutkan hidupnya tanpa dunia itu.

Naka tidak punya pilihan lain, mencoba menjalani hidup tanpa Raka, atau mengembalikan Raka padanya. Jalan pertama telah dicobanya berhari-hari, berminggu-minggu, sekarang menjadi berbulan-bulan. Naka telah mencoba mendengarkan nasihat semua orang. Nasihat Dadong. Nasihat Kak Lily dan Bli Cakra. Sejauh ini Naka merasa gagal. Ia merasa masih terlalu merindukan Raka. Masih memimpikan Raka kembali dan mengembalikan dunianya.

Naka memilih jalan tengah. Ia mencoba untuk melupakan Raka, sekaligus berusaha mengembalikannya. Ia masih sering menanyakan kepada Lily, apakah ada kabar dari orang yang mengenal Raka. Ia juga meminta Cakra memasang foto Raka di tiap galerinya. Ia masih melemparkan surat-surat di sembarang tempat untuk bisa mencari Raka. Ia juga meminta tolong Lily memasang iklan tentang Raka. Naka tidak mau berhenti mencarinya. Sekaligus berusaha melupakannya. Bisakah? Naka masih sangat ragu.

Gunung Kawi, September 1994
Naka dan Raka berbaring dengan tubuh menggigil. Bubungan atap rumah yang disergap hujan deras membawa hawa dingin. Naka mengetatkan pelukannya pada Raka. Bibir keduanya telah biru pucat. Genangan air hujan yang menganak sungai belum ada tanda-tanda akan surut. Air makin ganas, bergerak dalam gelombang yang beringas. Makin lama makin besar. Meloncat-loncat berusaha mencapai tempat Naka dan Raka berada.

Sementara petir dan kilat terus mengamuk di langit. Alam seperti tak peduli pada sepasang bocah kembar yang mencoba bertahan. Kampung itu telah hampir menjadi danau cokelat yang luas. Beberapa kepala masih tampak di atap rumah. Mempertahankan sisa tenaga untuk terus bertahan hidup. Sisanya lenyap entah ke mana. Suara ribut dan panik yang terdengar sore tadi, tidak lagi terdengar. Apakah mereka telah berhasil mencapai tempat tinggi dan mendapat segelas susu hangat. Atau, mereka telah hanyut dan tenggelam dalam lautan cokelat banjir.

Air cokelat telah menyentuh bibir atap tempat Naka dan Raka berada. Air mata Naka meleleh. Naka menjerit ketika air mulai menjilat kakinya yang berselonjor. Jerit Naka makin keras, ketika sapuan air membawa serta sandal kiri Naka yang tak terpasang sempurna. Raka berusaha meraih sandal Naka, namun air bergerak terlalu cepat. Raka memaksakan diri terus mengejarnya. Naka menjerit menahan gerakan Raka. Namun, kaki Raka telanjur menginjak pinggir atap, membuat keseimbangan tubuhnya goyah. Dengan sekuat tenaga, Naka berusaha menarik tubuh Raka. Namun, tubuh Raka lebih berat. Kaki Raka yang bertengger di pinggir atap tak ayal membuatnya terjerembab ke dalam danau yang dalam. Naka berteriak memanggil Raka. Ia amat marah akan kenekatan Raka.

Air matanya telah menganak sungai mencari tubuh Raka yang hilang dalam genangan cokelat. Tubuh kecil itu lenyap begitu saja. Naka berteriak sekeras-kerasnya memanggil Raka. Tak terdengar jawaban. Juga tak terlihat gerakan Raka yang mencoba bertahan dari tenggelam. Tubuh Raka hilang begitu saja. Naka menangis sekeras-kerasnya hingga suaranya serak.

Naka terbangun dalam peluh yang deras di wajah dan tubuhnya. Saat membuka mata, ia sempat mendengar suaranya yang memanggil Raka. Oh, Hyang Widhi, betapa rindunya tiang pada Bli Raka. Wajah Raka seperti terus mengikutinya. Wajah itu terlihat sedih dan muram. Bila melihatnya, Naka sangat ingin memeluk Raka. Menyentuh wajahnya, menanyakan kesedihannya.

Raka  makin sering hadir dalam mimpi Naka. Naka ingat ia pernah bermimpi Raka pulang ke rumah dan langsung menjenguk Naka di kamarnya. Naka bermimpi Raka telah kembali dari hilangnya. Ia kembali dengan segudang cerita menarik mengenai petualangannya. Naka mendengarkan dengan tawa riang. Naka amat kecewa ketika terbangun, ternyata ia hanya bermimpi. Kali lain, ia dengar suara Raka memanggil-manggilnya. Suara empasan angin pada rumpun bambu membawa serta lirih suara Raka. Desau angin di antara pohon jambu di halaman menghamburkan bau Raka. Sayup-sayup seruling ia dengar hampir tiap malam. Dari tempat yang amat jauh. Jauh sekali.

Naka hanya melihat kegelapan yang amat pekat. Pada saat itu di kejauhan, Naka hanya bisa melihat kilat pahatan tebing yang dipantulkan cahaya bulan. Tempat bermainnya bersama Raka. Tempat Raka bercerita tentang kemegahan dinasti Warmadewa yang mendiami kompleks itu. Tempat Naka suka memandangnya dalam-dalam, mengintip kemeriahan di dalamnya.

Bahkan pada suatu siang yang terik, Naka pernah melihat gambar Raka dengan tubuh-tubuh berdarah. Gambar itu hadir begitu saja, seperti lukisan yang disodorkan di depan mukanya. Naka menjerit ketakutan sehingga janur di tangannya terjatuh. Dadong memandang Naka heran sekaligus menambah kemuraman di wajahnya. Barangkali Dadong makin putus asa dengan keadaan Naka.

Naka makin perih. Perih oleh rasa kangen yang berkarat di kepalanya. Mengapa kita ditakdirkan begitu saling mencintai, untuk dipisahkan, Bli Raka. Naka tidak dapat menahankan hatinya yang  makin pekat oleh rindu. Begitu pekat hingga berdarah-darah.

Dalam hening yang paling sepi, Naka hanya bisa menghibur hati­nya dengan menulis surat untuk Raka. Surat yang makin bertumpuk hingga menjadi gunung di kamar Naka. Waktu sembilan bulan telah membuatnya amat letih. Kamar itu, kamar milik Naka, masih sunyi.

Naka ingat pada Lily, pada Cakra, yang sempat ingin dimilikinya sebagai keluarga. Ke manakah mereka? Kembali melupakannya seperti hari-hari lalu? Naka berjanji tidak akan meminta mereka lagi menemaninya. Takkan memaksa mereka menjadi temannya. Naka tahu ia harus sendiri memperjuangkan hidupnya.

Naka tahu, ha­nya Raka teman dan keluarganya. Hanya Raka yang siap mengerahkan semua daya untuknya. Hanya ia yang menjaga Naka dari rasa lapar, haus, dan sepi. Hanya Raka jodohnya sejati. Hanya Raka kecintaannya. Hanya Raka.


Penulis: Ni Komang Ariani


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?