Fiction
Namaku, Arimbi [7]

1 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Menyimak kisah Dewi Arimbi yang sangat heroik, bulu-bulu halus di sekujur tubuh Dayu sempat meremang. Sebuah kisah yang sangat tragis. Tetapi, di saat bersamaan terjadi pergolakan pemikiran dan batin dalam diri Dayu. Betulkah Arimbi dalam surat yang ditujukan pada ayahnya seorang wanita iseng atau murahan, seperti yang ia persepsikan sekarang?

Terang saja, untuk menjawab pertanyaan ini bukan perkara mudah. Kemarahannya pada sosok wanita yang masih misterius masih sukar diredakan. Begitu juga perasaan bencinya pada sang ayah, yang dianggap bermain api di belakang ibunya.

Lambat laun pikiran jernih coba dihimpunnya. Selain salat, Dayu terbiasa mempraktikkan yoga untuk melatih fisik sekaligus konsentrasinya. Terlebih di saat sedang diimpit banyak masalah. Kedua cara itu ia lakukan saling mengisi. Tanpa kecuali di kamar hotel, saat Dayu mulai meregangkan seluruh persendiaan, otot-ototnya, mengatur setiap tarikan dan embusan napasnya. Terakhir, dengan teknik relaksasi, ia mulai memusatkan pikirannya, mencoba menjauhkan pikiran negatif, seraya menangkap energi negatif di sekitarnya.

Hampir satu jam olah fisik dan jiwa itu mulai menenangkan pikiran Dayu. Ia bertekad untuk berpikir lebih jernih sekarang. Menjauhkan segala prasangka buruk yang sejauh ini mulai merongrong ketenangan jiwanya. Dayu mencoba memetakan setiap persoalan, setiap pertanyaan, dan segala kemungkinan yang berkorelasi langsung atau tidak dengan kasus Arimbi. Kadang-kadang ia merasa jadi orang bodoh hanya karena secarik surat. Padahal, saat ini ia tengah berjuang meraih impiannya menjadi doktor untuk ilmu antropologi budaya. Menjadi seorang ilmuwan yang senantiasa mengedepankan rasio ketimbang rasa.

ARIMBI

Ada perasaan bersalah yang menggelayuti hati Dayu. Perasaan bersalah terhadap ayahnya, mungkin juga Arimbi, wanita yang tidak ketahuan rimbanya itu. Di saat pikirannya tengah berkecamuk, menganalisis masalah yang tengah dihadapinya, tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi.

Sigap Dayu meraih telepon yang tak jauh dari sofa.

”Malam, Dayu!” terdengar suara yang sudah akrab di telinganya. Suara Om Hardi.

”Malam, Om! Ada apa Om, kok, tumben telepon saya?” timpal Dayu, dengan alis berkerut.

”Maaf, apa telepon ini tidak mengganggu kamu?” ujarnya, membalas pertanyaan Dayu.

”Oh, enggak, Om. Nggak!” buru-buru Dayu menimpali Om Hardi.

”Kalau tidak keberatan, dan ada waktu, Om mau ketemu kamu besok. Bisa?” pinta Om Hardi dengan nada harap.

”Ketemu?” jawab Dayu. ”Eh, tentu bisa Om. Di mana? Jam berapa?”

Akhirnya, setelah sepakat, pembicaraan keduanya berakhir.

Malam itu, mata Dayu nyaris tidak bisa dipicingkan barang sekejap. Pikirannya berkelana liar, ada apa gerangan Om Hardi mengajak ketemu? Adakah hal yang ingin disampaikan kepadanya? Atau, jangan-jangan rahasia tentang ayahnya... dan Arimbi? Entahlah!

Yang jelas, setelah lelah menebak-nebak, Dayu terlelap saat jarum jam menunjuk ke angka 04.00.
Dering alarm yang keluar dari telepon genggam sontak membangunkan Dayu dari tidur lelapnya. Dilihatnya, jam di dinding baru menunjuk angka 05.00. Artinya, ia baru terlelap satu jam. Barangkali tidurnya berkualitas, waktu sesingkat itu cukup membuat Dayu merasa segar memulai aktivitas hari itu.

Di sebuah kafe, Braga Permai, yang mungkin usianya sudah hampir sama tuanya dengan Om Hardi, yang terselip di antara bangunan lain di pinggir ruas Jalan Braga yang tersohor,  Dayu melangkahkan kakinya ke dalam ruangan.

Di dalam, Om Hardi seperti biasa menyambutnya dengan senyum lebar. Kali ini Om Hardi datang sendiri. Tante Mira sedang ada arisan keluarga, begitu kata Om Hardi kepada Dayu. Suatu waktu, aku pun pasti akan seusia dengan mereka, keluh Dayu dalam hati.

Setelah Om Hardi memesan kue kesukaannya, onde-onde, dan segelas teh hangat, sementara Dayu memilih tiramisu dan segelas jus jeruk, mereka mulai membuka pembicaraan ringan.

”Om, sebenarnya kabar apa yang akan disampaikan?” pancing Dayu, memulai percakapan.

Om Hardi yang tadi hanya bercerita tentang hari-hari setelah masa pensiunnya, menarik napas panjang.

”Seberapa penting, sih, kabar yang akan disampaikan? Apakah ada sangkut pautnya dengan almarhum Ayah? Atau...?”

Belum tuntas kalimat Dayu meluncur dari mulutnya, Om Hardi langsung memotong berondongan pertanyaan Dayu.

”Jujur saja, Dayu, Om sendiri bimbang menyampaikan hal ini kepadamu,” kata Om Hardi, sambil mengingsutkan badannya ke sandaran kursi.

”Tapi, Om harus lakukan ini, meski harus melanggar sumpah. Ini tentang ayahmu, juga rahasia Arimbi yang kamu tanyakan kemarin.”

Dayu tidak menyangka Om Hardi bicara to the point. Sebelumnya ia hanya mampu menduga. Tapi, akhirnya informasi yang ia nantikan keluar juga dari sahabat ayahnya.

”Kemarin Om harus menjelaskan hal ini pada Tante. Jangankan Dayu, Tante pun tidak tahu masalah ini. Hampir-hampir saja menyulut pertengkaran. Untung Tante lebih sabar daripada Om,” jelas Om Hardi, seakan memberi prolog.

”Setelah kamu pulang dari rumah Om, akhirnya Om membeberkan cerita yang selama ini harus kami tutup rapat-rapat.”

Aneh, makin Om Hardi berkata-kata, justru Dayu makin bi¬ngung. Ke mana arah pembicaraan ini? Seakan tahu dengan kebingungan Dayu, Om Hardi sedikit menganggukkan kepalanya seraya tersenyum.

”Ok. Om harus tegaskan bahwa kamu tidak perlu menaruh prasangka buruk kepada almarhum ayahmu! Sebaliknya, berbaik sangkalah kepada beliau, terlebih Pak Bram telah mendahului kita. Jangan terprovokasi oleh surat itu.”

Wah, celaka! Om Hardi tahu rahasiaku, gumam Dayu yang merasa seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen dari stoples.

”Tapi, dari mana Om tahu aku menyimpan surat?” tanya Dayu, dengan nada menyelidik.

”Dayu, kayak Om nggak pernah punya masalah saja,” ujar Om Hardi, kembali menyunggingkan senyumnya.


Penulis: Hadi PM



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?