Fiction
Muka Sapi [1]

5 Mar 2014


Tubuhnya terlonjak oleh rasa kaget begitu mendengar suara berdebam-debam dari pintu kamarnya. Fay membuka matanya seketika dan berusaha bangkit dari tidurnya yang Cuma sebentar itu. Ya. Rasanya baru saja ia merebahkan tubuhnya ke atas kasurnya yang kecil setelah melewati sepertiga malam yang melelahkan di dapur untuk membantu ibunya membuat jenang manten alias dodol pengantin.
    Pintunya digedor-gedor lagi. Kali ini diiringi dengan teriakan dari arah luar. Dari suaranya yang cempreng ia mengenali kalau di balik si pengacau tidurnya adalah Uli, keponakannya.
    Fay tergeragap bangun. Jika Uli yang memanggil-manggilnya, berarti anak itu sudah pulang sekolah. Ditengoknya jam weker tua di atas meja belajarnya. Jam sebelas! Ia langsung turun dan berlari membuka pintu dengan segera.
    Uli manyun di hadapannya.
    “Kenapa lama, sih?” semprotnya begitu melihatnya berdiri di ambang pintu.
    Fay menarik nafas dalam-dalam. Melihat baju seragam yang masih melekat di tubuh anak itu,  ia tahu kalau dirinya sudah ketiduran cukup lama!
    “Ngantuk!” jawabnya pendek.
    “Nih!” Uli mengulurkan sebuah amplop panjang berwarna putih kepadanya.
    “Dari mana?” tanyanya.
    Uli mengangkat bahunya.
    “Aku mau makan, Mbak! Mbah Uti ke mana, sih?” teriaknya.
    Fay membaca kop surat di sisi kiri atas amplop itu. Ia mengerutkan keningnya. Perusahaan telekomunikasi? Ia mencoba mengingat-ingat apakah ia pernah mengirim sebuah lamaran kerja ke sana. Usahanya tidak berhasil baik. Karena selain ia tidak mampu mengingat ratusan surat lamaran yang sudah dikirimnya,  Uli terus merengek sambil menarik-narik bajunya minta dibuatkan makan siang.
    “Ya, sebentar,” gumamnya tak yakin seraya meletakkan surat itu di atas meja belajarnya.
    “Ayo to, Mbak! Aku sudah lapar!” anak itu memaksanya.
    Fay mengikuti anak itu ke dapur. Ini masih jam sebelas, tapi Uli sudah begitu kelaparan. Ia tidak mengerti pola pencernaan anak lelaki itu. Masih kanak-kanak, tapi perutnya seperti mesin giling yang tak pernah berhenti mengolah makanan di dalamnya.
    “Tempe penyet, lomboknya tiga tapi dibuang bijinya!” teriaknya.
    Fay menoleh kesal. Rese amat, sih! Pakai nyuruh-nyuruh segala. Mulutnya terbuka nyaris membentak anak itu supaya tidak cerewet. Tapi begitu melihat Uli duduk dengan manis di atas sebuah bangku plastik,  kata-katanya hilang seketika.
    “Yo, sik! Sabar!” gerutunya menelan kesal.
    Ia mulai membuka keranjang bambu di mana ibunya menyimpan bumbu dapur. Rupanya ibunya tahu kalau kejadian ini akan terjadi. Sebab ia melihat ada sebatang tempe bungkus daun yang masih hangat di sana.
    “Tadi matematikaku dapat sepuluh, Mbak!” lapor si mesin giling yang membuatnya berhenti sejenak dari mengiris tempe.
    “Nah, begitu baru pintar. Masa’ tiap pelajaran matematika nangis mulu?” tanpa menoleh ia mulai membumbui tempe itu. Uli memang mengalami kesulitan dalam pelajaran matematika. Ia selalu merasa bad mood jika berhadapan dengan mata pelajaran itu. Ada saja yang dikeluhkannya: sakit perut, sakit kepala, gurunya galak dan berbagai alasan yang intinya adalah: ia tidak suka matematika. Akibatnya,  nilainya jeblok.
    Fay yang merasa geregetan akhirnya turun tangan, mengajari Uli untuk pelajaran matematika pada tengah semester lalu. Dan hasilnya, alhamdulilah. ada perbaikan. Sekalipun pada awal-awal mengajarinya mereka berdua harus terlibat adu mulut selama berhari-hari.  Uli bukan jenis murid yang baik dan penurut. Setelah mulutnya berbusa dengan  urat leher  yang menonjol tegang karena tensi tinggi, barulah situasi menjadi lebih tenang.  Uli menyerah. Tapi Fay pun tidak merasa senang dengan keberhasilannya. Ia merasa sebal karena harus menjadi sosok monster bagi anak itu.

                        *****
    Aroma tempe goreng yang hangat segera menyebar ke seluruh dapur mereka yang kecil. Fay menoleh saat mendengar suara berdenting di belakangnya. Rupanya Uli sudah mengambil piring sendiri dan mulai menyendok nasi dari dalam rice cooker.
    “Hati-hati, nanti tanganmu kena panas”
    “Sudah tahu.”
    Fay tersenyum kecil mendengar kekesalan itu. Mereka tidak bisa terus menerus melarangnya melakukan ini-itu terhadap anak berusia delapan tahun itu.  Ia harus membiarkannya mulai mempelajari sesuatu yang baru sekalipun dalam pengawasan seperti itu. Jika ada ibunya, maka sudah bisa dipastikan kalau Uli tidak akan mengambil nasinya sendiri. Semuanya akan disiapkan. Bahkan, makan saja akan disuapi!
    Tempe penyetnya sudah siap dan ia membawanya ke meja makan. Anak itu kelihatan sudah tidak sabar sekali ingin makan.
    “Eit ! Ganti baju dulu, terus cuci tangan dan kaki! Baru boleh makan!”
    Uli memandangnya dengan kesal.
    “Tapi Mbah Uti…”
    “Apa? Kau minta aku menyuapimu?”
    Anak itu meletakkan piringnya dengan keras ke atas meja. Ia berlari cepat ke kamar mandi. Tidak membutuhkan  waktu yang lama untuk membuatnya kembali ke meja makan. Sekalipun Fay tahu kalau cara Uli mencuci tangannya tidak bersih, tapi rasanya ia tidak perlu mengganggunya lebih lama. Raungan anak itu bisa mengalahkan singa-singa di Taman Safari Prigen jika menangis karena kelaparan.
    Tanpa menunggu perintahnya, Uli sudah menyantap makan siangnya itu dengan lahap. Beberapa remah nasi berjatuhan ke atas meja.
    “Makannya yang baik, jangan berceceran seperti itu.”
    Uli menoleh sambil tertawa. Ia menjumputi remah-remah nasi itu.
    “Makannya pelan-pelan saja. Jangan tergesa-gesa, nanti bisa tersedak”
    “Ya, Mbak.”
    Ia tersenyum.
    “Mbak ke kamar dulu, ya. Mau melihat isi surat itu.”
    Sekali lagi anak itu mengangguk. Fay berjalan ke kamarnya lagi. Dengan segera dibukanya amplop itu dengan sedikit penasaran di dalam hatinya. Ia tidak ingat apakah pernah mengirimkan lamaranya ke perusahaan itu atau tidak.    
    Dadanya terasa sesak begitu membaca isi surat itu. Ia dipanggil untuk mengikuti seleksi tertulis.  Dari redaksinya ia mengetahui kalau lamaran itu dibuatnya pada saat sebuah job fair yang diselenggarakan di kampus fisipol setahun yang lalu!
     Ia tertawa tanpa suara. Fay sama sekali tidak menyangka kalau akhirnya akan dipanggil setelah waktu yang lama. Lamaran itu dibuatnya beramai-ramai dengan para mahasiswa yang lain, yang memadati job fair itu. Mereka memasukkan semua berkas  itu ke dalam sebuah drop box dan melupakannya. Secara logika, siapa yang akan sudi membuka ribuan surat lamaran dalam waktu cepat? Melupakannya adalah hal yang paling masuk akal saat itu.
    Oh, tubuhnya terasa menjadi begitu ringan hingga mampu membawanya melayang ke awang-awang. Akhirnya… ada sebuah panggilan untuknya! Satu-satunya panggilan dari duaratus limabelas surat lamaran yang dikirimkannya ke berbagai perusahaan!
    Ditariknya nafas dalam-dalam. Akhirnya, masa suram penantian panjangnya akan berakhir juga. Fay berjanji dalam hati, ia pasti akan masuk ke dalam jajaran pegawai di perusahaan telekomunikasi besar itu. Ya, harus masuk !  Ia akan menjadi seorang pegawai di sana. Ia tidak mau terus menerus tinggal di dalam rumah. Di antara gerabah-gerabah ayahnya yang semakin suram masa depannya itu.
    Akhirnya… !
    Akhirnya ia akan bertempur melawan sekian banyak orang untuk memperebutkan pekerjaan di perusahaan itu. Muncul secercah sinar terang di ujung harapannya yang nyaris terpuruk ke dalam keputusasaan karena terlalu sering ditolak hanya karena perkara sepele:  fotonya.
    Ya…foto wajahnya. Ia masih ingat beberapa minggu lalu saat ponselnya berbunyi dari nomor yang tidak dikenal. Setelah ia terima, maka segera ia tahu kalau nomor itu berasal dari sebuah bank di Surabaya di mana ia pernah mengirimkan lamaran pekerjaan.
    Tentu saja Fay merasa senang dengan panggilan itu. Maka dengan sabar ia menunggu sambungan operator kepada bagian HRD yang sedang memproses data-datanya.
    “Halo…dengan Fayzah Fitriana?” sebuah suara yang serak menyapanya.
    “Benar. Selamat siang, Bu.”
    “Siang. Kita sedang mengecek data lamarannya, Mbak. Bisa scan foto terbaru lalu mengirim kembali ke kita?”
    Ia menegang seketika.
    “Memang…kenapa dengan foto saya?”
    Terdengar bunyi kertas dibolak-balik di seberang sana.
    “Di sini foto-foto Anda seperti lembab dan berjamur. Sehingga kami tidak bisa melihat wajah Anda secara jelas.”
    Bulu kuduknya menegak. Perasaan ngeri membayanginya seperti mimpi buruk.
    “Itu… itu foto baru,” ditelannya ludahnya yang terasa lekat di tenggorokan.
    “Oh ya? Tapi mengapa ada bercak putih di sana-sini ya…?“
    Serasa seperti semburan pasir kasar tengah menyapu hatinya. Berdesir. Meninggalkan jejak yang perih.
    “ Itu vitiligo….” jawabnya dengan gemetar.
    “Viti …apa?”
    “Vitiligo, kelainan pigmen kulit.”
    “Oooo,” yang menjadi komentar kemudian terdengar begitu panjang, dengan nada yang sumbang pula.
    “Begitu, ya. Apakah menular?”
    Fay langsung menutup pembicaraan itu. Ia tidak perlu melanjutkan omong-omong kosong yang akan semakin menyakiti hatinya saja. Apa masalahnya dengan vitiligo? Itu adalah penyakit kelainan kulit yang bisa menimpa siapa saja. Termasuk artis dunia sekelas Michael Jackson.
    Dan pertanyaan tentang mengenai penyakit menular itu sungguh menggelikan sekaligus menyedihkan. Bagaimana mungkin seorang pegawai HRD yang notabene berpendidikan tinggi sampai tidak mengetahui kalau vitiligo adalah kelainan pigmen yang tidak menular?
    Jadi, ia memupus harapannya untuk mendengar panggilan berikutnya. Ia sudah terlalu sering mendengar berbagai alasan yang membuatnya tidak bisa mengikuti tahap seleksi awal sekalipun. Itu sangat tidak fair! Mengingat nilai-nilai dalam transkrip nilainya sangatlah mengagumkan.  Seharusnya mereka menilai dari sana, bukan dari fotonya. Ia tidak mengerti mengapa selembar foto bisa menggagalkan sesuatu yang lebih penting yang mungkin akan sangat berguna bagi mereka?
    Digelengkan kepalanya dengan cepat. Ia harus mengusir rasa tidak enak itu dari pikirannya.Tidak. Ia tahu, keberuntungan telah memihak kepadanya sekarang. Maka, panggilan tes kali ini tidak boleh ia sia-siakan.


                        *****
    Fay segera bangkit dari kebahagiaan sesaatnya. Ia harus mempersiapkan dirinya dengan sebaik-baiknya. Dibukanya lemari baju untuk memeriksa pakaian apa yang pantas digunakannya untuk tes esok hari. Sebenarnya, tak banyak juga koleksi bajunya. Fay hanya memiliki beberapa baju yang warnanya netral karena bisa dipadupadankan.
Ia menarik sehelai blazer berwarna peach yang selalu menjadi favoritnya. Warna itu akan selalu menyegarkan. Ia cukup menarik kulot hitam, dan kerudung yang setingkat lebih tua warnanya dari warna blazernya. Fay hanya perlu menyetrika ulang untuk memastikan semua pakaiannya licin untuk mengikuti seleksi besok pagi.
    Ia balik ke meja makan dan melihat Uli sudah tidak ada di sana. Ia segera membersihkan meja makan itu dari kotoran yang melekat agar tidak mengotori baju-bajunya nanti.  Meja makan mereka memang fleksibel dan multifungsi. Bisa menjadi tempat makan, tempat belajar, menyetrika atau sekedar main ular tangga bersama  Uli.
    Ketika ia tengah tekun menyetrika bajunya, ia mendengar langkah-langkah kaki yang berat mendekat. Tanpa menoleh, ia tahu kalau itu adalah ayahnya yang datang mendekat ke arahnya.
    “Ada panggilan kerja, Fay?” suara berat itu menyapanya dari belakang.
    “Ya,” jawabnya pendek seraya mengangguk. Tangannya terus  menyemprotkan pelicin pakaian pada blazernya.
    “Kantor apa?”
    “Perusahaan telekomunikasi, Yah.”
    Terdengar helaan nafas panjang.
    “Semoga sukses.”
    Fay terdiam sejenak sesaat setelah suara sandal ayahnya yang terseret-seret menuju bengkel kecilnya di samping rumah mereka. Ia bisa mengerti mengapa ayahnya menarik nafas berat seperti itu. Karena, sebenarnya itulah yang dirasakan oleh ayahnya atas dirinya.
    Ia harus meringankan beban ayahnya. Bukan karena masalah biaya yang menjadi beban pikiran ayahnya, sebab dirinya sudah lulus kuliah. Tetapi karena peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak baginya di luar sana demikian kecil. Yang sebagian besar disebabkan oleh keadaan fisiknya.
     Fay mencabut kabel setrika dari stekernya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Hatinya selalu terasa nyeri manakala harus mengingat keadaan fisiknya itu.


                        ****
    Ia terlahir sudah dalam keadaan seperti ini, bertaburan bercak putih di sana-sini.  Bayi belang, begitu orang-orang bilang menyebut keadaan kulitnya. Ada yang mengatakan kelainan kulitnya itu disebabkan karena pada saat hamil dulu, ibunya mengkonsumsi ikan sembilang. Konon, jika ikan itu tidak diambil dari jenis yang baik bisa menyebabkan kulit menjadi belang-belang.
    Kedua orang tuanya sudah  berusaha dengan segala cara agar warna kulitnya bisa menjadi rata di salah satu warna. Putih atau kecoklatan saja. Mereka mengikuti berbagai saran dan nasehat orang untuk memperbaiki keadaanya. Baik secara medis ataupun non medis. Namun, tidak pernah berhasil. Fay tetap dengan kulit belangnya itu.
    Semakin ia besar, semakin mencolok saja perbedaan itu. Di sebagian tepi bibir kirinya hingga ke bawah hidung bercak itu sangat ketara. Begitu juga di sudut mata kanan, dan berbagai bercak di tubuhnya. Bercak-bercak pada wajahnya mengingatkan pada bercak-bercak pada kulit sapi perah. Sehingga ketika kecil dulu, ia sering sekali diejek sebagai Si Muka Sapi oleh teman-temannya.
    Dulu ia kerap mengadu kepada orang tuanya, memprotes dan menyalahkan keduanya karena tak mampu melenyapkan bercak-bercak itu dari wajahnya. Ia tidak mau disebut si muka sapi lagi, lalu mengancam berhenti sekolah. Dan biasanya, kedua orangtuanya akan membiarkan kekesalannya terlampiaskan seluruhnya. Membiarkannya murung selama berhari-hari. Lalu, akan mengantarnya kembali ke sekolah jika mood-nya sudah kembali pada hari yang lain.
    Ayahnya tidak pernah mengatakan apa-apa tentang belangnya itu atau sekolahnya. Ia lebih memilih mengajak Fay berjalan-jalan mengelilingi kota Malang dengan vespa tua keluaran tahun 74 yang berisik bunyinya itu.
    Namun ibunya tidak demikian. Setelah beberapa kali Fay dibiarkan mengikuti kekesalannya yang naik turun itu,  maka suatu ketika ia didudukkan oleh sang ibu. Saat itu ia baru naik kelas empat SD.
    “Fay,” katanya waktu itu, “Ibu tahu kalau semua itu tidak akan pernah mudah bagimu. Tapi Ibu yakin, kau sebenarnya adalah seorang anak yang sangat cerdas dan berbakat.”
    Jika itu dikatakan oleh gurunya,  Fay akan percaya saja. Sebab, gurunya selalu mengatakan hal seperti itu untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa sedih. Biasanya, Pak Ali –gurunya itu, akan memberinya selembar kertas dan pensil.  Fay lalu diizinkan duduk di meja guru untuk menggambar sambil menenangkan diri. Biasanya, Pak Ali akan dengan sabar menungguinya hingga semua rasa kesal lenyap dari dalam hatinya.
    “Kau tidak bisa terus-terusan menghadapi ejekan itu dengan hanya berdiam diri, marah, lalu menangis.”
    Hatinya tergetar melihat sorot mata ibunya yang tajam. Ia seperti sedang dipersiapkan untuk melakukan sesuatu yang berbahaya saja.
    “Kau harus membalasnya!”
    Dan apa yang dikhawatirkannya terucap juga. Karena sebenarnya,  ia adalah dari jenis yang lemah dan penakut, sehingga mudah ditindas.
    “Tapi, Bu….aku tidak berani,” itulah kekhawatiran terbesarnya. Keberanian itu rasanya terlalu tinggi untuk dimilikinya. Bahkan nyaris seperti mimpi.
    Ibunya tersenyum lembut.
    “Ya, kau sangat berani.”
    “Tapi…aku tidak tahu, Bu…” Fay menggelengkan kepalanya kuat-kuat sambil memejamkan kedua matanya. Ini misi yang sangat berbahaya dan tidak mungkin dilakukan oleh seorang anak sepenakut dirinya.
    “Buka matamu! Lihat, Ibu!”
    “Tidak, Bu…! Aku… takut!”
    “Fayzah Fitriana!”
    Matanya seketika terbuka karena kaget. Jika ibunya sudah memanggil dengan nama lengkapnya,  ia tahu bahwa sesuatu yang serius tengah terjadi. Ia melihat wajah ibunya begitu keras, dengan sinar mata yang tajam. Kemudian,  ibunya menunjuk pada dada sebelah kirinya.
    “Di situlah letak keberanianmu. Jika kau menangis, keberanianmu akan kempes seperti balon kehabisan gas. Tapi jika kau kuat, maka keberanianmu itu akan membesar dan terus membesar hingga mampu mengangkatmu terbang ke udara.”
    Matanya terbelalak seperti tengah menonton sulap saja.
    “Bbbagaimana…bagaimana caranya aku bisa?” tanyanya separuh berbisik.
    Ibunya memeluk tubuhnya dengan lembut.
    “Ibu setuju dengan Pak Ali tentang kecerdasan dan bakat menggambarmu, Fay. Itulah senjata keberanianmu. Kau hanya perlu berusaha lebih keras dan sangat-sangat tabah untuk mengalahkan mereka semua.”
    Fay terkesima. Kata-kata ibunya ibarat kipas lembut yang menghembuskan angin ke dalam sekam yang membara dalam hatinya. Begitu lembut, namun mampu menyalakan semangat kecilnya menjadi begitu besar dan bergelora.
    Setelah itu, Fay tidak pernah mendengarkan lagi ejekan-ejekan yang menyakitkan itu lagi. Bukan karena mereka sudah berubah dan berhenti mengganggunya. Namun karena ia lebih banyak mengabaikannya. Seperti yang dikatakan ibunya, ia harus berjalan lurus ke depan, tidak boleh menoleh atau berhenti. Semangat belajarnya digeber pada kecepatan maksimal hingga mampu membuatnya melejit dalam hitungan minggu.
    Beberapa waktu kemudian, apa yang dinasehatkan ibunya benar-benar menjadi kenyataan. Pada saat penerimaan rapor, semua temannya dibuat terdiam melihat nilai-nilai sempurna yang diraihnya di hampir semua mata pelajaran. Mereka tidak mampu menyusulnya, bahkan dalam mata pelajaran olah raga sekalipun.  Ia merasa senang, bangga, dan tentu saja puas sekali melihat wajah-wajah temannya yang kalah telak.
    Sejak saat itu, Fay merasa bahwa kemampuan berpikirnya merupakan satu-satunya yang dapat diandalkan. Karena secara fisik, ia sama sekali tidak akan dipandang sebelah mata.
    Tapi ia tidak berkecil hati. Besok semuanya akan berakhir. Ia pasti memenangkan persaingan itu dan membuktikan kepada orang-orang, kalau Si Muka Sapi ini memang tetap tidak terkalahkan.(f)


*************
Shanty Dwiana Filmira


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?