Fiction
Muka Sapi [2]

5 Mar 2014


<<<<<<<Kisah Sebelumnya


Kisah Sebelumnya:
Fay menderita vitiligo, kelainan pigmen kulit yang membuat mukanya belang-belang putih. Ia pun dijuluki si muka sapi. Kondisi itu membuatnya tertekan secara psikologis, dan dengan dorongan ibunya ia selalu ingin jadi yang terbaik dalam segala hal sebagai kompensasi atas kondisi dirinya. Sayangnya, gara-gara penampilannya, ia gagal mendapatkan pekerjaan.


Napasnya terengah-engah saat menaiki tangga gedung operator selular yang berdiri megah itu. Sejenak ia berhenti untuk memastikan hijabnya tidak kusut, blazernya masih rapi dan tidak ada keringat mencetak di sela ketiaknya. Aman. Tapi, hatinya cemas. Ia sudah terlambat. Angkot yang dicegatnya selalu penuh sehingga tidak bisa mengangkutnya. Dan ia harus menunggu selama satu jam.
    Seorang satpam mencegatnya di depan pintu masuk.
    “Ada yang bisa dibantu, Mbak?” sapa satpam itu, ramah tapi tegas nadanya.
    “Saya…saya mau bertemu Bapak Warsito…ha - er - de…,” masih tersengal napasnya ketika menjawab. Ia ingat nama manajer yang menandatangani surat panggilannya kemarin.
    “Keperluannya?” kembali satpam itu bertanya, dengan mata seperti menyelidikinya.
    Fay selalu merasa tidak senang dengan pertanyaan yang begitu ingin tahu. Dirogohnya tasnya untuk mencari surat panggilan tes yang ternyata… tidak ada! Aduh, ke mana surat itu?!!! Dibukanya tas itu lebar-lebar untuk mempermudah pencarian yang… sia-sia. Surat itu seperti hilang entah ke mana.
    Satpam itu tersenyum yang menurutnya sangat... sinis.
    “Kalau ingin mencari sumbangan, silakan tinggalkan proposalnya di sini. Dalam dua tiga hari biasanya Pak Warsito akan menghubungi,” ia menunjuk pada meja jaga yang terletak tak jauh dari pintu masuk.
    Fayzah benar-benar tersinggung. Wajahnya! Pasti wajahnya yang sudah meyakinkan satpam itu untuk menyebutnya sebagai pencari sumbangan.
    “Bapak pikir saya datang ke sini untuk mencari derma?” tanyanya marah.
    “Lalu, Mbak mau apa? Yang lewat pintu ini hanya pegawai saja. Kalau Mbaknya tamu, silakan lewat pintu depan!” ia menunjuk tikungan sebelah kanan gedung.
    “Saya mau tes, Pak.”
    “Mana suratnya? Semua yang mau tes sudah datang sejak pukul tujuh pagi tadi,” satpam itu mengingatkan dengan pandangan yang merendahkannya.
    Wajahnya terasa panas sekarang. Sialan! Ke mana surat panggilan itu? Rasanya ia sudah mengemasinya dengan baik sejak semalam. Atau jangan-jangan terjatuh di dalam angkot tadi? Aduh, ini sudah pukul delapan. Tesnya pasti akan segera dimulai.
    “Kalau tidak ada keperluan lain, silakan keluar, Mbak,” sekarang satpam itu malah mengusirnya.
    Ketakutan membuatnya menekan sedikit kemarahannya. Ia tidak boleh melepaskan kesempatan yang sudah dinantinya selama lebih dari setahun. Kesempatan untuk mengikuti sebuah seleksi penerimaan pegawai.
    “Coba Bapak telepon ke Pak Warsito dulu…,” ia menelan gengsinya yang terasa pahit. “Saya, Fayzah Fitriana, sudah datang. Bapak bisa cek di daftar peserta tes.
    Tak pernah terpikir sebelumnya kalau ia akan memohon seperti sekarang. Satpam itu menatapnya tajam. Fayzah tahu posisinya tidak aman. Tapi, ia harus memperjuangkan nasibnya. Satpam itu berjalan ke meja jaganya, lalu menelepon seseorang dari sana. Ia berbicara sebentar sebelum akhirnya memanggilnya untuk datang ke mejanya.
    “Tolong tinggalkan KTP di sini, Mbak. Nanti  bisa diambil setelah seleksi,” katanya dengan tampang ketus saat mengabarkan berita bagus kepadanya.
    Tanpa berpikir panjang ia mengambil KTP-nya, lalu diserahkan kepada satpam tadi.
    “Naik lift di depan sana. Lantai empat, belok kiri. Ruang Batik.”

8888

    Tanpa menunggu lagi, Fayzah langsung  ‘terbang’ untuk mencapai lift karyawan. Adrenalinnya meningkat tajam, memompa jantungnya lebih kencang lagi. Aliran darahnya terasa deras dan hangat memanaskan tubuhnya. Sekarang semangatnya sudah menjadi dua kali lipat. Ia tidak boleh kehilangan kesempatan besar ini.
    Ruang Batik yang dimaksud ternyata sebuah ruang pertemuan yang berada di lantai empat. Pintunya sudah nyaris ditutup  ketika ia keluar dari pintu lift.
    “Bu, tunggu saya!” teriaknya, menahan gerakan tangan perempuan yang segera menoleh ke arahnya. Wajahnya kelihatan tidak senang melihatnya masuk dengan tergopoh-gopoh dan berkeringat seperti itu.
    “Selamat… pagi…,” sapanya terengah-engah begitu berada di hadapannya.
    “Nama?” begitu dingin sambutan perempuan itu.
    “Fayzah. Fayzah Fitriana.”
    Perempuan itu menatapnya tajam, kemudian membukakan pintu yang menandakan ia diizinkan masuk. Fayzah mengangguk lega. Sebenarnya ia tidak senang dengan gaya judes perempuan itu. Tapi sudahlah. Demi pekerjaan impiannya ia segera masuk ke dalam ruangan yang ternyata sudah dipenuhi oleh banyak peserta seleksi. Mereka semua menengadah ke arahnya dengan pandangan mata yang  aneh.
    Baiklah, cukup sekali ini kalian memperhatikanku dengan cara seperti itu, batinnya. Fayzah menarik napas dalam-dalam, menyapu ke seluruh ruangan untuk mencari bangku kosong. Dan ia menemukannya di barisan ketiga.  Fayzah segera berjalan cepat ke sana. Benar, pada meja itu tertulis nama dan nomor pesertanya.
    “Tidak ada interupsi lagi setelah ini,”  perempuan itu berkata dengan lantang yang langsung menusuk ke dalam jantungnya. Perempuan itu pasti sengaja mengatakannya dengan keras-keras agar semua mengetahui kalau dirinyalah penyebab interupsi itu. Wajahnya terasa panas. Hatinya mulai kesal. Apalagi saat perempuan itu meletakkan satu berkas soal ujian di hadapannya.
    “Ujian tahap pertama tersisa lima belas menit lagi!” peringatan itu menjadi semacam ejekan baginya. Sebab, hanya dirinyalah yang belum melakukan apa-apa.
    Brak! Kotak pensilnya jatuh ke kolong. Seketika terdengar dengungan kemarahan dari sana-sini ibarat sarang tawon pecah ditimpuk batu.  Sialan, pikirnya. Kenapa tidak ada yang beres padanya pagi ini? Buru-buru ia memunguti alat-alat tulisnya yang berserakan dan segera memasukkan kembali ke kotaknya.
    Dengan cepat diisinya nama dan nomor peserta sebelum mengerjakan soal-soal. Waktunya tidak banyak. Fayzah tidak sempat untuk memikir ulang soal-soal yang membuatnya ragu mengisi. Ia tidak mungkin menundanya untuk melakukan koreksi. Ia harus menyelesaikannya seketika.
    “Lima menit lagi!”
    Oh, waktu berlalu begitu cepat.  
    “Sekali lagi saya beritahukan, bahwa ujian ini terbagi dalam tiga tahap yang berlaku maraton. Jeda yang diberikan adalah lima menit pada  tiap tahapnya.”
    Terus terang ia merasa sangat terganggu dengan setiap pengumuman yang diucapkan oleh perempuan itu. Entah itu mengenai jenis soal, aturan main. Belum lagi ia selalu mondar-mandir di sekitarnya. Seperti tengah mengawasinya. Itu sangat menyebalkan.


                    8888

     “Waktunya habis. Semua soal harap diletakkan di atas meja, dan silakan meninggalkan ruangan. Dua jam dari sekarang akan langsung diumumkan hasilnya. Dan hanya lima orang yang akan lolos ke tahap selanjutnya. Selamat siang.”
    Fayzah tersenyum kecil. Ia akan berada di antara lima nama yang akan disebutkan nanti. Ia sudah mengerjakan semuanya dengan benar. Dengan sabar ia menunggu giliran soalnya diambil oleh perempuan itu sebelum meninggalkan ruangan. Fayzah hanya ingin tahu nama perempuan yang membuat jengkel hatinya selama ujian itu.
    Perempuan itu tidak berkata apa-apa kecuali mengambil berkasnya. Tertulis nama di  ID card-nya: Dianita Utami.  
    Well, Dianita, kupastikan sikapmu akan berubah jika aku sudah masuk ke dalam jajaran accounting di perusahaan ini, batinnya kesal. Lihat saja nanti.
    Ia keluar dari ruangan itu paling terakhir. Ia tidak perlu tergesa-gesa seperti yang lainnya. Fayzah cukup tenang dan sabar menanti lift yang membawanya ke lantai dasar. Ia menunggu semua orang keluar dari sana. Ia tidak ingin berbagai lift dengan peserta yang lain. Fayzah tidak ingin mendapat pertanyaan atau pandangan aneh lagi.
    Jika semua peserta sebagian besar menunggu di lobi yang merangkap ruangan customer service, maka ia memilih keluar dari tempat itu.  Makin sedikit ia bertemu dengan orang-orang, akan  makin baik.  Fayzah memilih menunggu di taman depan yang teduh. Ia mengambil tempat menyendiri di bawah sebuah pohon palem.  
    Jam tangannya menunjukkan angka sebelas. Pantas perutnya sudah kelaparan, karena ia tidak sempat sarapan. Dikeluarkannya sepotong biskuit dari dalam tasnya.  Sejenis biskuit gandum yang sedikit keras namun kaya akan serat dengan lapisan gula madu yang manis. Cukup mengenyangkan perutnya. Sebotol air mineral yang dibagikan kepada para peserta seleksi tadi sudah memenuhi persyaratan makan siangnya. Sederhana.
    Dialihkan pandangannya pada logo perusahaan selular berwarna merah dan hitam itu dengan tatapan mata nanar. Ia mulai memetakan dirinya berada dalam barisan pegawai perusahaan itu. Berseragam merah dengan kombinasi abu-abu dan hitam. Begitu keren,  begitu membanggakan.  
    Fayzah merasa yakin jika perusahaan sebesar itu tidak akan melakukan diskriminasi terhadap pegawainya. Mereka pasti hanya menerima pegawai berdasarkan kualitasnya, dan bukan yang lainnya. Jika belum,  mereka harus mengawalinya dengan mempekerjakan dirinya. Mereka pasti tidak akan kecewa dengan kecepatan dan kerapian kerjanya kelak.

                    88888

    Sebuah pengumuman melalui paging meminta para peserta seleksi kembali ke ruang ujian.  Yah, dua jam menunggu adalah waktu yang sangat singkat dibandingkan berbulan-bulan menanti panggilan kerja yang tidak kunjung datang. Ditariknya napas dalam-dalam untuk memantapkan hatinya. Menjemput takdirnya! Rasa percaya dirinya begitu besar untuk memenangkan kesempatan emas ini.
    Sampai di depan ruang ujian itu, sudah banyak peserta berkerumun. Banyak di antaranya yang langsung balik kanan dengan wajah kecewa. Dengan sabar dibiarkannya kerumunan itu menyurut sebelum akhirnya ia mencapai meja panitia di mana pengumuman itu ditempel di atasnya. Hanya ada satu lembar kertas pengumuman di sana. Dan namanya tidak… tercantum.
    Keringat dingin mulai mengalir di sepanjang punggungnya. Ini pasti ada yang salah, pikirnya resah. Makin gelisah hatinya ketika lima orang yang terpilih diizinkan masuk kembali untuk mengikuti tahapan berikutnya. Ini pasti ada yang salah.
    “Tunggu saya, Bu Dian!” serunya begitu melihat perempuan penguji itu hendak menutup pintunya.
    Perempuan bernama Dianita itu menatapnya masih dengan sedingin pagi tadi.
    “Ada apa lagi sekarang?” tanyanya datar.
    “Mengapa nama saya tidak tercantum di sana?” ia menunjuk meja panitia. Beberapa orang peserta seleksi yang belum meninggalkan tempat memperhatikannya, lalu mulai berbisik-bisik. Ada pula yang mencibir dan menertawakannya.
    Fayzah tidak peduli. Ia tidak bisa menerima kegagalannya.
    “Karena Anda tidak lulus,” katanya pendek, sambil berusaha menutup pintu. Fayzah menjulurkan kakinya sehingga mengganjal daun pintu itu. Alis mata perempuan itu mulai naik sedikit.
    “Anda pasti salah! Saya sudah mengisi semuanya dengan benar.”
    Perempuan itu menarik napas sedikit.
    “Maaf, saya ada pekerjaan.”
    “Saya minta kejelasan!”
    “Silakan introspeksi diri!”
    Oh, ya! Fayzah tersenyum.
    “Tentu saja. Seharusnya saya tahu sejak awal kalau ada diskriminasi di sini!”
    Perempuan itu menggerakkan tangannya ke atas. Tak lama kemudian seorang satpam sudah menariknya keluar dari depan pintu. Untuk kedua kalinya Fayzah harus berurusan dengan petugas keamanan pada hari ini. Pintu itu ditutup dengan suara keras.
    Hatinya terasa sakit mendengar suara pintu dikunci dari dalam. Mengunci harapan  terbesarnya selama ini. Kepanikan mulai menyergapnya.
    “Saya menuntut kejelasan!” teriaknya.
    Satpam itu kembali menarik lengannya lebih keras.
    “Betul-betul enggak punya aturan! Berteriak-teriak di tempat seperti ini!” hardiknya, sambil mendorongnya ke arah lift.
    Fayzah berontak.
    “Saya mau bertemu dengan Pak Warsito sekarang!”
    “Beliau tidak ada waktu untuk mengurus gadis kurang ajar seperti kamu!”
    Fayzah tidak menyerah. Ia harus memperjuangkan nasibnya, sekalipun harus disebut kurang ajar. Ia terus memberontak sampai akhirnya ada seorang satpam lain mendekat. Ia ingat. Satpam itu yang berjaga di pintu masuk tadi.
    “Kau beruntung, Pak Warsito sudi menerimamu,” katanya kesal.
    Fayzah menarik napas lega. Ia tahu,  ia pasti akan memenangkan pertarungan dengan caranya sendiri. Dirapikannya kembali bajunya yang kusut karena ditarik-tarik tadi. Satpam pertama menyuruhnya mengikutinya menuju sisi kanan dari lantai itu. Ia merasa yakin kalau memang ada kekeliruan di sini. Perusahaan sebesar ini pasti akan  malu jika sampai menolak orang secerdas dirinya hanya karena penampilannya.
    Pada sebuah pintu bertuliskan ‘Manajer HRD’ satpam itu berhenti, lalu mengetuk pintunya. Setelah diizinkan masuk dari dalam, mereka berdua masuk. Semburan sejuk AC bercampur aroma sitrus yang lembut begitu menyegarkan.
    Seorang lelaki tengah duduk di sebuah meja besar, dengan tumpukan map di sisi kirinya. Ia mengangkat wajahnya. Wajahnya kelihatan sabar, dengan bola mata yang bersinar tajam, menandakan orang yang cerdas. Rambutnya keriting, tapi dipangkas pendek dan sangat rapi. Usianya sekitar empat puluhan.  Ia tersenyum.
    “Silakan duduk. Pak Wono boleh keluar sekarang,” katanya sopan.
    “Bapak yakin tidak memerlukan saya?” tanya satpam bernama Wono itu. Fayzah mendengus. Sepertinya ia sudah menjadi ancaman bagi  banyak orang  di tempat ini.
    Pak Warsito menggeleng sambil tersenyum. Satpam itu meliriknya sebentar sebelum meninggalkan ruangan. Fayzah menarik napas dalam-dalam.
    “Pasti hari yang berat bagi Anda, ya?” tanyanya ramah. Matanya langsung menatap ke dalam hatinya seakan ingin mengorek seluruh isinya keluar. Fayzah mendadak merasa tidak nyaman sekarang.
    “Saya… saya merasa tidak puas dengan hasil seleksi itu.”
    Mulut lelaki itu membentuk huruf “o” yang membuatnya merasa  makin resah.
    “Apa yang membuat Anda merasa tidak puas?”
    “Ada yang salah dengan penilaiannya!” jawabnya cepat.
    “Begitu….”
    Fayzah tidak senang dengan pembicaraan ini. Sekalipun caranya bertutur demikian lembut dan sopan,  menurutnya semua itu adalah pengalihan saja. Ia tahu mereka telah sepakat untuk mendepak dirinya keluar dari seleksi.
    “Saya yakin sekali. Oleh karena itu saya ingin bertemu dengan Bapak untuk membicarakan hasil tes itu.”  Meski kedengarannya naïf, Fayzah tidak peduli.
    Mata lelaki itu seakan tengah menahan tawa mendengar pernyataannya.    
    “Perlu diketahui, kami tidak pernah membicarakan hasil tes tertulis dengan peserta seleksi. Apa yang membuat Anda begitu berkeras hati?”
    Fayzah menelan ludahnya.
    “Karena saya yakin hasil tes saya benar semua. Dan Bapak pasti sudah memeriksa nilai-nilai transkrip saya juga,” katanya, mulai ‘menjual’ dirinya di depan lelaki itu.
    Pak Warsito menatapnya beberapa waktu lamanya. Seperti sedang menganalisisnya.  Akhirnya ia menarik napas dalam-dalam.
    “Baiklah, sebenarnya ini di luar prosedur kami, tapi saya izinkan Anda melihat hasil tes tadi,” katanya sembari menarik sebuah map dari tumpukan itu. Ia hanya membaca nama peserta pada bagian depan mapnya, kemudian menyodorkan kepadanya.
    “Dan ini adalah standar penilaian kami. Silakan dicek, barangkali ada yang salah. Kalau benar, berarti kau memang seorang auditor yang baik!” Kata ‘auditor yang baik’ terdengar begitu menyindir. Ia memang mencantumkan keahliannya itu di dalam surat lamarannya.
    Untuk pertama kalinya, Fayzah merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri.  Orang ini demikian terbuka terhadap hal-hal yang sebenarnya rahasia itu. Padahal, jika Pak Warsito berkeras menolak memberikan hasil tesnya sekalipun, rasanya ia bisa menerimanya. Sekarang, ia merasa sesuatu yang buruk akan menimpanya.
    Tangannya gemetar saat menerima kedua map itu.
    “Silakan dilihat. Santai saja. Saya juga masih ada pekerjaan yang belum selesai,” ia tersenyum sambil menunjuk layar LCD besar di sisi kirinya.
    Beberapa detik lamanya ia hanya tergugu bersama map di tangannya. Sementara Pak Warsito sudah kembali mengerjakan tugasnya, tidak menghiraukannya.
    Mengapa lelaki itu tidak merasa marah, atau gusar atas kelancangannya sejauh ini? Jangan-jangan isinya memang… benar?! Pikirannya gelisah. Sejenak keraguan menapakinya. Tapi, ia tidak bisa terus-menerus mendiamkan map itu,  atau Pak Warsito akan menyebutnya sebagai orang yang tidak serius.
    Ditariknya napas dalam-dalam sebelum Fayzah membuka mapnya. Jantungnya serasa berhenti berdetak karena pada tes pertama nilainya hanya empat puluh! Ia membuka map standar penilaian untuk mencocokkan hasilnya satu demi satu. Jantungnya  makin cepat berdetak. Tidak ada yang keliru. Demikian juga dengan dua tes berikutnya. Semua nilainya memang berada di bawah  standar.
    Ia menutup kedua map itu dengan perasaan seperti tengah bermimpi. Tangannya dingin dan gemetaran. Bagaimana bisa ia melakukan kesalahan sefatal itu pada kesempatan terbaiknya?
    “Bagaimana?” pertanyaan itu menohoknya.
    Fayzah menelan ludahnya yang terasa lekat di tenggorokan.
    “Saya… sudah melihatnya,” jawabnya, tak setegar semula.
    “Apakah kami melakukan diskriminasi?” Pak Warsito membalik tuduhannya di koridor tadi yang  makin memanaskan wajahnya saja. Ia menggeleng dengan lemah. Kata-katanya hilang ditelan ketidakpercayaan.
    Pak Warsito duduk bersandar. Ia mengamatinya sejenak sebelum menarik napas dalam-dalam.
    “Kalau melihat sempurnanya surat lamaran dan nilai-nilaimu, awalnya kami memang berharap banyak darimu. Tapi, setelah kejadian hari ini, kami sebaiknya  tidak merekrutmu untuk menjadi bagian dari perusahaan ini.” Kata-kata itu seperti sebilah belati yang menikam jantungnya. Mencabik-cabik harapannya menjadi sayatan-sayatan kecil yang berdarah-darah.
    Fayzah mengepalkan kedua tangannya dingin. Perempuan itu! Ya, pasti perempuan itu telah membuat konsentrasinya buyar selama mengerjakan soal-soal seleksi itu. Ya, ia sengaja berjalan mondar-mondir hanya untuk mengintimidasinya.
    “Kau tahu apa masalahmu?”
    Ia diam tidak menjawab.
    “Terlalu percaya diri untuk menutupi kekurangan dalam diri seseorang bisa menjadikannya tidak bijaksana.”
    Jika itu ditujukan padanya beberapa waktu yang lalu,  ia tentu akan membalas kata-kata yang menyakitkan ini. Tapi sekarang ia hanya diam. Pikirannya melayang pada nilai-nilai di bawah standar yang tidak pernah dilihatnya seumur hidupnya.
    Pak Warsito menumpuk kembali kedua map itu ke  tempat semula.
    “Kau seharusnya membuka ruang untuk orang lain, apa pun risikonya. Karena begitulah caranya hidup dan berkembang secara natural. Bukannya mempersempit ruangmu dengan penilaianmu sendiri.”
    Bahasa psikologis itu kerap didengarnya. Ada bukunya pula dan ia sudah bosan membacanya. Baik dulu maupun sekarang rasanya sama saja. Bedanya saat ini adalah  ia merasa demikian kecil dan tersudutkan.
    “Saya kira kita sudah selesai. Anda bisa meninggalkan ruangan ini sekarang,” tak lama kemudian Pak Warsito memintanya segera pergi. Ia menunjuk ke arah pintu.
    Fayzah bangkit. Pak Warsito tetap duduk saat mengulurkan tangannya.
    “Maaf, saya tidak bisa berdiri. Kaki saya masih direparasi,” katanya sopan.
    Fayzah terkesima. Apa maksudnya dengan kaki yang direparasi?
    Pak Warsito menekan tangannya ke ujung meja sehingga kursinya terdorong ke belakang. Sekarang Fayzah bisa melihat kedua pipa celananya menggantung di udara. Lidahnya terasa kelu seketika. Seluruh kata-katanya  tersangkut di tenggorokan.  Jadi, manajer HRD ini adalah seorang… cacat??!!!
    Pak Warsito melipat kedua tangannya di dada. Membiarkan Fayzah  memperhatikan keadaan fisiknya itu. Tak terlihat sedikit pun kesan tersinggung atau tertekan pada wajahnya yang kelihatan tenang.
    “Tadinya aku berharap kalau kau bisa membuktikan sesuatu di sini. Tapi sepertinya,  kau memerlukan waktu untuk belajar lebih keras lagi, Fayzah Fitriana.“
    Fayzah merasa dirinya menjadi sebatang pasak di atas batu cadas, kemudian dihantam berulang kali oleh sebuah martil yang sangat berat.
     “Bukan pelajaran sekolah yang sempurna nilainya itu. Tetapi, belajar untuk berterima kasih, meminta maaf, serta merendahkan hatimu. Selamat siang.”  
    Kalimat itu menjadi senjata pamungkas yang menghantamnya dengan kekuatan maksimal. Membuatnya pecah berkeping-keping.(f)


**************
Shanty Dwiana Filmira



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?