Fiction
Mimpi Retak [8]

17 May 2012


MAY

”Ada yang harus kukatakan,” kata suamiku, suatu hari. Matanya menatapku dengan gurat ekspresi yang tak tertafsirkan. Dia menunduk, menyimpan kegelisahan.

Sesuatu melintas di benakku, menghadirkan rasa tak nyaman. Barangkali, serupa aliran air yang terlalu dingin, hingga seperti jarum-jarum kecil menusuk pori-pori. Atau, sebaliknya, serupa aliran air yang terlalu panas, sehingga baranya seakan melepuhkan kulit.

”Ada apa?” kataku, sambil menggeser posisi duduk, memberinya ruang untuk berada di sampingku. Tapi, rupanya suamiku lebih memilih untuk menempatkan diri pada kursi di depanku.

Sesaat kudengar helaan napas panjang. Ada yang terasa berat pada napas itu, ada beban yang menggantung di sana. Hening. Aku menunggu dalam senyap. Lalu, ”Aku telah menyimpan seseorang,” katanya. Sangat pelan, nyaris tak terdengar.

Hening lagi. Oh, bukan hanya hening, tapi waktu seakan berhenti bagiku. Mendadak aku kehilangan segala rasa. Inikah tuli, ketika segala suara menghilang? Inikah buta, ketika segala sesuatu tak tampak? Inikah hampa, ketika segala rasa tak tercecap? Inikah mati, ketika perasaan bagai selesai?

”Siapa?” Itu suaraku. Aku mendengarnya dengan jelas, tapi seakan bukan aku yang mengucapkannya.

”Dia...,” jawaban itu tak selesai. Entah apa yang menghentikannya.

”Diakah yang membangunkanmu setiap pagi?”

”Ya.”

Dialah seseorang itu, ternyata. Seseorang yang membuat debaran jantung suamiku menghilang dariku sesekali. Dia, yang berada di balik punggung itu, yang tak kulihat tapi kurasakan kehadirannya.

” Kau mencintainya ?”

” Ya, sekaligus tetap mencintaimu ”

Tetap mencintai ? Mungkin. Barangkali. Bisa saja.

Tapi, itu bukanlah sesuatu yang utuh. Telah terbelah, telah terbagi. Entah berapa banyak manusia menerima ketidakutuhan serupa ini. Tidak hanya wanita, tidak hanya pria, tapi juga para waria. Bahkan, anak-anak tak terelakkan dari hak yang tidak utuh ini.

Tapi, tidak kuduga bahwa aku akan menjadi bagian di dalamnya. Kukira, bagian kehidupanku begitu sempurna. Aku merasa memerlukan cermin besar, jauh lebih besar dari cermin yang pernah kumiliki selama ini. Cermin yang tersedia selama ini ternyata tak cukup mampu memperlihatkan hal-hal yang seharusnya kulihat. Barangkali, ukuran dan jumlah cerminnya terlalu kecil sehingga melewatkan banyak hal dari jangkauan penglihatanku.

Barangkali, selama ini aku terlalu takabur, mengira hidupku begitu sempurna, hingga merasa tak memerlukan alat bantu apa pun untuk melakukan pemeriksaan. Kukira, segala kesempurnaan itu akan bertahan selamanya.

Ternyata, aku keliru. Ketika alat bantu telah tersedia, cermin itu tetap tak mampu menjawab pertanyaanku. Tak mampu menampak­kan apa yang kucari. Tak memperlihatkan apa yang tidak kutahu.

Aku tetap tak menemukan jawaban, bagaimana mungkin seseorang yang kukira sempurna sebagai pendamping sejatiku, ternyata sampai hati meminta izinku untuk membelah diri. Rupanya, dia telah menemukan sebuah persimpangan jalan dan ingin melalui keduanya pada saat yang sama.

Aku tidak pernah menemukan jawaban mengapa ini bisa terjadi. Ironis. Aku bahkan bisa mengetahui, ketika seorang suami menjauhi istrinya karena aroma mawar yang terlalu pekat. Tapi, kenyataannya, aku tak bisa mengetahui mengapa suamiku sendiri terbelah hatinya untuk seorang wanita lain. 

Ketika seseorang kehilangan uangnya, aku bisa mengatakan padanya di mana uang itu berada. Tapi, aku tidak pernah tahu di mana suamiku menaruh sisi hatinya yang sebelah lagi. Ironis. Dulu pernah kukatakan pada seseorang yang kehilangan, bahwa kalaupun bisa menemukan kembali sesuatu yang hilang, tidak berarti bisa memilikinya kembali. Itulah yang terjadi padaku sekarang. Aku melihat di mana separuh belahan hati suamiku berada, tapi tidak berarti aku bisa meraih dan membawanya pulang kembali padaku.

Seseorang itu datang padaku suatu hari. Seorang ibu yang putus asa membawanya. “Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan,” kata ibu itu dengan rasa putus asa yang sangat. “Psikiater, dokter, pemula agama, semua telah saya datangkan untuknya. Tapi, semuanya tidak berarti.”

Aku terkejut melihat sosok itu. Seorang wanita muda yang rapuh. Ketika kusentuh jemarinya, ada yang serasa menjalariku, seakan mengalirkan sesuatu. Aku melihat cahaya hidup yang pudar. Bukan sekadar harapan yang pupus. Lebih dari itu. Aku tercekat ketika menemukan sebuah aura yang tak pernah kuharap membayang samar menyelimuti raga gadis itu. Aku tidak pernah menyukai kehadiran aura yang satu ini.

Lalu, mendadak muncul bayang seseorang, bayang yang tidak mampu kulihat selama ini. Sekejap bayang itu menampakkan sesuatu untukku, sangat sekilas untuk kemudian menghentikan ’penglihatanku’. Apa yang kulihat sangat sekejap, telah menghilang, bahkan sebelum aku sempat memahaminya.

Dan, aku terkejut, amat sangat.

Aku mengalami detik yang sangat menggoncangkan. Sungguh tidak menduga. Banyak misteri kehidupan hadir di depan mataku. Tamu-tamu datang silih berganti mengantarkan berbagai peristiwa kehidupan yang sering kali tak terduga. Banyak hal terjadi di luar jangkauan pemikiran, yang membuatku tidak memahami di kehidupan ini. Tapi, apa yang tersaji selama ini bagiku lebih banyak merupakan deretan peristiwa yang terjadi pada orang lain. Sekarang, tidak kusangka bahwa ternyata aku harus terlibat di dalamnya secara langsung, dan ikut menjadi bagian di dalamnya. 

Detik yang mengguncang.

Sesungguhnya, aku tidak siap. Tidak ingin. Tidak mau. Barangkali, lebih baik bila segalanya tetap sebagai misteri. Tapi, ternyata kita tidak selalu bisa memilih. Persis seperti tunawisma yang berteduh di bawah jembatan atau tidur beratap kardus. 

Andai boleh memilih, pasti akan dipilihnya sebuah dipan berkelambu. Atau, fakir miskin yang beruntung menerima bingkis­an nasi bungkus. Entah telur atau tempe, lauk yang ada di dalam bungkusan itu, maka itulah yang dimakannya dengan lahap. Meski pada saat yang sama, andai boleh memilih, ingin dikunyahnya daging yang empuk.

Tapi, pilihan tidak selalu tersedia pada saat kita menghendakinya. Itulah yang terjadi padaku ketika itu. Aku dihadapkan pada sebuah kenyataan. Misteri yang terkuak, yang harus kuselesaikan membacanya hingga tamat.
Kuhela napas panjang. Kuhirup oksigen semaksimal daya tampung paru-paruku, memanfaatkannya untuk meredakan keguncanganku. Lalu, kukuasai diriku dengan baik. Kutempatkan diriku di mana seharusnya aku berada. Aku sedang dalam posisi yang dianggap mampu ’melihat’ sesuatu dan karenanya diharapkan akan memberikan sebuah petunjuk akan adanya jalan tertentu. 

Kepada ibu itu kukatakan dengan jujur, jalan yang kulihat. Jalan yang kuanggap terbaik. Lubuk hatiku yang mengatakan itu.

Sesaat kemudian ibu itu pulang dengan makin putus asa. Aku telah memberikan alternatif yang sama sekali tidak diinginkannya. Alternatif tunggal itu adalah memberi jalan pada putrinya untuk melakukan apa yang dimintanya.
Lalu, kuberikan jalan yang sama untuk suamiku. ”Aku tahu siapa wanita itu,” kataku, dengan perasaan yang tak terdeskripsikan. ”Dia adalah wanita yang pernah menjadi penolongmu, ketika kau kehilangan ponsel.”

Suamiku terenyak. ”Akhirnya, kau tahu,” bisiknya.

Ada nyeri meremang pada sudut benakku. Dengan sakit kutemukan kenyataan betapa aku telah kehilangan sebuah perasaan yang pernah kumiliki terhadapnya. Sebuah kehilangan yang membuatku mampu ’melihat’-nya.

” Ya, sekarang aku bisa melihatmu,” kataku, tanpa nada.


                                                                                   cerita sebelumnya >>


Penulis: Sanie B. Kuncoro


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?