Fiction
Matahari Bupalo [7]

16 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Bahu Hajah Nur mengedik naik, namun suaranya terdengar mantap. “Saya sendiri tidak tahu persis. Tapi, kabarnya, mereka melakukan semacam survei atau jajak pendapat terhadap warga dengan mengajukan sejumlah pertanyaan, yang kira-kira berbunyi: Bersediakah Anda mendukung Hajah Nur dalam pilkada nanti?

“Hasilnya?”

“Hampir 100% menjawab bersedia. Hanya, sejak tiga bulan terakhir, dukungan itu menurun lumayan drastis, mendekati 65%. Menurut mereka, penurunan itu terjadi sejak saya mendeklarasikan nama Basri sebagai calon wakil saya.”

Lapangan bola Waenetat, yang menjadi kebanggaan warga Waepo, bergelombang oleh lautan manusia. Mereka, para transmigran asal Jawa itu, berimpitan, nyaris merobohkan panggung.

Orasi para jurkam pilihan yang didatangkan dari Ambon dan Jakarta, disambut bahana pekik mendukung pasangan Hajah Nur-Basri Wael. Mereka berjoget saling tubruk, ketika organ tunggal mengiringi biduan kembar asal Saparua, mendendangkan sederet lagu dangdut yang tengah populer di televisi.

Ini adalah pertaruhan. Hari terakhir kampanye yang dihelat habis-habisan. Dalam hitungan cepat, aku sempat berdebat dengan Ismail Sanaky dan Fathony Lahane tentang jumlah massa yang membanjir. Dan, kami sepakat berhenti di 15.000 orang.

Jika ini benar, maka target Hajah Nur menarik 15.000 massa pendukung di Waepo akan kesampaian. Saat kemarin berkampanye di Namlea saja, aku dan Fathony hanya berani memastikan 7.000 orang.

“Mesin tim sukses bayangan saya di Waepo bekerja maksimal,” gumam Hajah Nur sumringah, ketika aku kembali mengingatkan poin-poin penting materi orasi yang harus disampaikannya di panggung. “Kita wajib bikin syukuran tujuh hari tujuh malam, kalau selu­ruh warga di sini betul-betul mencoblos gambar saya nanti.”

Aku meringis. Keyakinan yang cukup berbahaya jika terus diper­tahankan. Bagaimana kalau yang terjadi kebalikannya? Mereka menghadiri kampanye, tapi mencoblos gambar kandidat lain?

Namun, tentu bukan pada tempatnya, jika analisis sok tahu itu kulontarkan sekarang. Bandul politik masih terus bergerak, dan baru akan berhenti di hari pencoblosan. Sebelum saat itu datang, berbagai prediksi hanya akan jadi dokumen basi.

Menjelang orasi di panggung, Hajah Nur sempat berbincang akrab dengan seorang pria baya yang duduk persis di belakangnya. Otakku segera bergerak: Wintoro, Koordinator Tim Bayangan Waepo itu. Pria baya itu pasti dia.

Pada kesempatan pertama, saat si kembar menyanyikan Ketahuan, dan massa berjoget histeris bersama Hajah Nur dan para jurkam, aku merambat menghampiri Wintoro dengan tape recorder menyala yang kusembunyikan di saku jaket. Ini bukan cara yang beretika, tapi aku perlu bukti konkret, yang kuyakini kelak bermanfaat.

Profil Wintoro ternyata sangat mengesankan. Tipikal priayi yang ramah dan membumi. Penampilannya yang berkarisma seperti terbawa dari lahir. Sosok pemimpin sekaligus pemain politik yang memang banyak dicari orang. Bahkan, senyum lebarnya tak mengendur, ketika aku masuk ke inti persoalan.

“Ini luar biasa, Pak. Bagaimana Bapak bisa mendatangkan massa sebanyak itu ke sini?” aku setengah berteriak di kupingnya, berusaha mengalahkan suara sember dari organ tunggal yang disalurkan melalui sound system ala kadarnya.

“Ah, gampang saja. Desa seperti ini kurang hiburan, ’kan?” dia memiringkan wajah, balas berteriak ke arahku, sambil terus bertepuk tangan mengiringi lagu si kembar.

“Jadi, mereka ke sini cari hiburan?”

Usianya mungkin sudah 75 tahun lebih, tapi aku dibuat takjub dengan giginya yang masih utuh dan putih-bersih saat tertawa keras. “Kalau penyanyi asli lagu Ketahuan itu yang didatangkan Hajah Nur hari ini, saya bisa mengumpulkan 20.000 orang lebih ke sini.”

Benakku blank sesaat, mengkaji makna di balik ucapan itu. Agak kabur ternyata, jadi aku masuk ke pertanyaan terpenting: “Tapi, Bapak juga bisa menggiring mereka semua supaya memilih Hajah Nur di bilik suara nanti, ’kan?”
Senyumnya meredup, tapi tangannya terus bertepuk seirama lagu. “Tergantung keadaan.”

“Keadaan apa? Saya dengar sejak dua tahun lalu Bapak sudah menggalang suara warga agar mendukung Hajah Nur. Mestinya itu lebih dari cukup.”

Kini tangannya pun berhenti bertepuk. Sepasang mata rabunnya mengamatiku lebih cermat. Bibir keriputnya bergerak-gerak, seperti memilih kalimat terbaik. “Kita lihat nanti,” akhirnya hanya itu yang terucap.

“Saya sudah membaca hasil survei yang Bapak lakukan terhadap warga di sini,” aku pantang mundur. “Ada 98% warga yang mendukung Hajah Nur. Bagaimana Bapak melakukannya?”

Dia mengangkat alis dan senyumnya kini jauh dari ramah. Pasti dia mulai menganggapku sebagai pengganggu. “Itu rahasia perusahaan.”

Jawaban yang menggelikan. Dalam situasi lain, mungkin aku sudah terbahak.

“Bapak tidak membayar mereka, ’kan?”

Aku sengaja masuk ke zona yang paling berbahaya. Dan, reaksinya persis seperti yang kubayangkan.

Dia mengejang dengan wajah merah dan rahang mengeras. Emosinya tertahan ketika menggeram, “Itu fitnah keji. Saya hanya mendatangi mereka dan menanyakan apakah mereka bersedia mendukung Hajah Nur atau tidak.”

“Dan, jawaban mereka ‘ya’, nyaris tanpa alasan?”

“Kenapa harus pakai alasan?”

“Karena mereka juga menjawab ’ya’, ketika tim survei dari kandidat lain menanyakan hal serupa.”

“Saya tidak pernah mendengar.”

“Saya punya data tentang itu.”

“Oh, ya? Saya boleh lihat?”

“Itu rahasia perusahaan!”

Dia mendelik sesaat, dan tawanya meledak dengan segera. Aku balas tertawa, sekadar mencairkan suasana yang sebelumnya meninggi.

Ketika sikapnya kembali menghangat, aku memutuskan beringsut pergi. Organ tunggal telah berhenti bermain, dan Hajah Nur tampak menyudahi aksi jogetnya yang serba canggung. Aku tak mau ia melihatku berdekatan dengan Wintoro.

Masa kampanye yang meletihkan itu akhirnya usai juga. Buru kini tinggal menghitung hari dan menunggu saat penco­blosan tiba.

Namun, posko sekretariat tim sukses Hajah Nur di Namlea tetap berdenyut. Tugas selanjutnya adalah membentuk satgas yang memantau langsung bilik-bilik suara di lokasi-lokasi pencoblosan.

Tentang perbincanganku dengan Wintoro, akhirnya kuteruskan pada Hajah Nur dan Basri. saat kami bertiga berkumpul membahas press release sepuluh hari kampanye yang siap kusebarkan ke media massa lokal esok pagi. Ini akan menyakitkan. Tapi, aku tak ingin Hajah Nur mabuk kemenangan, sebelum perang yang sesungguhnya digelar. Apa pun, membeludaknya massa Waepo dalam kampanye kemarin, sempat membuatnya terlalu yakin menang. Tugasku adalah menariknya kembali ke bumi dan bangun dari mimpi enak.

Awalnya, seperti kuduga, ia tak bisa menerima. Namun, obrolan bising di tape recorder yang kuputar berulang-ulang, membuatnya tercenung, lama.

Basri yang kemudian lebih dulu terbangun, dan bergumam: “Ini memang menyakitkan. Tapi, jujur, saya tidak akan terkejut kalau pada akhirnya kita kalah di Waepo.”

Komentar itu rasanya lebih menyakitkan dari fakta yang ada. Dan, seketika aku jadi merasa menyesal, tanpa tahu apa yang ha­rus kusesalkan.

“Kita tidak boleh kalah….”

Suara itu terdengar ganjil, seperti diembuskan dari balik dinding. Aku dan Basri saling pandang. Sosok Hajah Nur menegang laksana mannequin hidup. Matanya kosong, namun jari-jari tangannya yang terkepal berkedut-kedut.

“Kita tidak boleh kalah!”


Penulis: Djoenaedy Siswo Pratikno


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?