Fiction
Matahari Bupalo [6]

16 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Aku mengamati jadwal kampanye itu dengan dada menggumpal. Naik speedboat di hari pertama ke Kecamatan Leksula, lanjut ke Pulau Ambalau. Hari ketiga mengitari separuh Pulau Buru ke Kecamatan Kepala Madan. Turun ke darat, dan besoknya bablas ke Air Buaya; lalu menumpangi speedboat lagi ke Namrole. Balik arah ke Waisama di hari keenam, dan berlabuh di Batabual. Hari kedelapan lewat darat ke Waplau, besoknya ke Namlea. Hari kesepuluh berakhir di Waepo.

Andrenalinku langsung mengentak. Itu artinya, aku dan seluruh tim kampanye, termasuk Hajah Nur serta Basri Wael, akan terapung-apung di lautan seminggu penuh! Dahsyat. Ini bisa jadi pengalaman tak terlupakan; tapi sekaligus bisa jadi catatan akhir hidupku. Meski laut sedang tak musim pasang, siapa berani menjamin bahwa kami akan aman?

Maka, aku latah saja mengikuti sebagian anggota tim untuk meninggalkan surat wasiat sebelum kami berangkat!

Keputusan membuat surat wasiat itu kian relevan, ketika subuh dini hari aku melihat bentuk speedboat yang akan mengantarkan kami: sebuah perahu kayu bermesin ganda dengan deck rendah, yang tak memungkinkan penumpangnya leluasa berdiri! Kami berdelapan harus meringkuk berhadapan di bangku papan memanjang dengan kaki terlipat selama berjam-jam. Basah kuyup diguyur ombak, dan mulas sampai ke tenggorokan diayun gelombang.

Astaga! Petualangan menantang maut ini pun tak pernah ada dalam klausul MOU-ku dengan Hajah Nur tempo hari!

Buru, ternyata, sepuluh kali lipat lebih cantik dinikmati dari laut. Sepanjang speedboat bergerak, selama itu pula 3-4 ekor lumba-lumba dan kibasan camar berlomba mengiringi. Lalu, lambaian ribuan nyiur yang berbaris di kejauhan, bulat matahari bak bola api berpijar yang seakan mudah terjangkau tangan, langit biru mengilap. Aku sampai pada kesimpulan: Tuhan memang sedang senang hati ketika menciptakan Buru….

“Sudah tahu siapa koordinator tim sukses bayangan di Waepo itu?” seseorang berbisik mengacaukan lukisan Buru di benakku.

Basri. Saat itu kami sedang berlabuh di sebuah teluk untuk makan siang. Ikan bakar segar yang baru diciduk dari laut, plus nasi dari beras Waepo yang mengepul hangat. Terasa wangi dan nikmat dengan sambal asam yang dibawa dari Namlea.

Aku menggeleng. Duduk di hamparan pasir bening yang berdesir halus, searah gerak angin yang leluasa melaju.
“Namanya Wintoro. Mantan aktivis partai, pernah tiga kali jadi kepala desa, dan sempat jadi anggota DPRD di masa Orde Baru.”

“Bukan orang sembarangan kalau begitu.”

“Memang,” suara Basri menegas, namun masih berbisik. “Reputasinya cukup bagus. Kecuali satu hal: dia mantan aktivis partai yang sekarang menjadi lawan kita.”

Sikap dudukku berubah. “Partai pendukung Jafar Sanun?”

“Ya. Tiga puluh tahun lebih dia bergabung di sana.” Basri menggerakkan alisnya penuh makna. “Memang belum terbukti agenda apa yang akan dia mainkan. Kita lihat saja.”

Aku masih termangu linglung, ketika Basri menjauh dan Hajah Nur mengajak seluruh rombongan naik ke speedboat.

Tanda-tanda ketidakberesan itu segera terlihat di hari kedua kampanye. Tim relawan binaan Hajah Nur yang seharusnya menyambut kedatangan rombongan kampanye, dilaporkan beberapa warga Ulima, desa kecamatan di Ambalau, sudah sejak kemarin menghilang.

“Bagaimana mungkin?” Hajah Nur menggeram dengan suara tersumbat. “Mereka sudah saya bekali 25 juta rupiah untuk mendirikan panggung, menyiapkan makan siang rombongan, dan urusan kampanye lainnya.”

Tak ada yang menyahut. Aku juga tak mengerti harus bicara apa. Ini kelemahan Hajah Nur lain yang akhirnya terkuak. Seperti ketika menyiapkan tim sukses bayangan di Waepo itu, dia pun membentuk tim relawan di tiap kecamatan tanpa berkoordinasi dengan siapa pun. Baik aku sebagai konsultannya, Basri sebagai calon wakilnya, atau bahkan tim sekretariat kampanye di Namlea.

“Mereka, tim relawan itu, orang-orang terdekat saya, bahkan sudah seperti saudara. Kenapa harus diragukan lagi?” begitu katanya selalu.

Bagusnya, kepanikan sesaat itu segera cair ketika seluruh warga desa tumplek-blek menghadiri orasi pasangan Hajah Nur-Basri Wael. Seperti sukses di hari pertama kampanye di Leksula kemarin, masyarakat menyambut antusias program-program kerja mereka.

Tinggal aku dan anggota rombongan meringis, membayangkan akan puasa makan siang usai kampanye nanti!
’Tragedi’ di Ambalau ternyata berulang di dua kecamatan lainnya. Namun, dengan inisiatifku, dan dana cadangan yang disusulkan ajudan Hajah Nur dari Namlea, ’bencana kelaparan’ tim kampanye bisa teratasi.

“Ini indikasi adanya penyelinap lawan di kelompok kita,” Ismail Sanaky berspekulasi, saat menemaniku menyiapkan konsep kampanye Hajah Nur untuk esok pagi di Waetawa.

“Ya, untunglah katong punya kandidat tetap bisa senang hati dengan kehadiran massa kampanye tadi siang,” timpal Fathony Lahane. “Kabarnya, dibanding calkada lainnya yang sudah berkampanye di sini, massa kitalah yang terbanyak.”

Itu memang satu hiburan yang menyenangkan, namun semu. Massa yang berdesakan di depan panggung kampanye Hajah Nur itu bisa saja semu: ikut-ikutan kampanye, tapi kemudian mencoblos gambar kandidat lain di bilik suara.

Harus ada cara untuk mengantisipasinya.

“Kita bahas nanti saja sesampainya di Namlea,” sahut Hajah Nur, ketika persoalan itu coba kuangkat seraya melatihnya berorasi bersama Basri.

“Tapi, kita masih punya empat hari kampanye tersisa, Ibu,” aku bersikeras. “Dua di antaranya di tempat yang sangat strategis: Namlea dan Waepo.”

“Justru itu. Saya ingin berkonsentrasi ke sana dulu, tanpa diganggu persoalan remeh-temeh seperti ini.”

“Persoalan ini bisa sangat serius, kalau terjadi di Namlea atau Waepo,” Basri mendadak menyelinap.

Sejak Hajah Nur enggan membuka sumbernya di Waepo, jarak tipis seakan mulai terbangun di antara kami. Justru dengan Basri, aku lebih dekat.

“Tapi, itu masih tiga hari lagi!”

“Karena itu, tidak ada salahnya jika kita mendengar usulan Rianti, selagi ada waktu tersisa, ’kan?”

Mereka bersitatap. Hajah Nur terlihat tegang; namun melumer saat menemukan sorot lunak di wajah Basri, seakan sadar jika tak ada yang berniat buruk di antara kami.

“Coba katakan apa yang Anda maksud?”

Nada suara Hajah Nur terdengar datar, kalimatnya pun meng­ambang. Meski begitu, aku merasa lebih leluasa.

“Saya hanya terpikir untuk mengirim tim lapis kedua di keempat kecamatan tersisa, sebelum kita turun berkampanye di sana.”

“Kira-kira apa yang akan dilakukan tim lapis kedua ini?”

“Memantau situasi, menjaga kantong-kantong suara, memotivasi warga yang status quo, menyiapkan berbagai fasilitas kampanye yang belum tersedia….”

“Kita punya orang untuk melakukan itu?”

Keningku terangkat. “Saya tidak keberatan kalau harus….”

“Jangan!” Hajah Nur spontan mencegah. “Saya masih butuh pendampingan Anda sampai akhir putaran.”

“Oke,” Basri memutus cepat. “Kalau begitu, kita bawa saja ide ini ke rapat evaluasi. Pasti mereka tahu siapa yang pantas kita kirim ke sana.”

“Kirim orang-orang itu ke ketiga kecamatan lainnya,” suara Hajah Nur melambat, namun tegas, “Kecuali Waepo.”
Gerak bangkit Basri mengejang. Sebelum membantah, tatapnya bertemu denganku. Lewat satu isyarat yang kujalarkan tanpa kentara, dia kemudian berbalik pergi.

Sudah kutekadkan, khusus Waepo, aku sendiri yang akan turun tangan.


Penulis: Djoenaedy Siswo Pratikno


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?