Fiction
Masa yang Hilang [7]

27 May 2012

<< cerita sebelumnya

Akhirnya, aku merampungkan sebuah cerita dalam otak, lalu kutuangkan dalam sebuah penuturan yang agak dramatis mengenai mantan kekasih bernama Jon, yang selama ini kembali berusaha mendekatiku secara sepihak. Begini ceritanya.

‘Jon’ ini tiba-tiba memperkenalkan aku sebagai kekasihnya di depan rekan-rekan kami di kantor. Aku tak membantah, tak juga mengiyakan. Hanya ingin melihat sampai di mana ia akan bersikap sok kuasa akan diriku. Tapi, kedekatan kami membuatku merasa terbiasa dengannya. Tanpa sadar, selama kami sering bersama, orang melihat kami sebagai sepasang kekasih. Aku sendiri merasa tidak dirugikan oleh semua tindakan ’Jon’, yang tanpa persetujuanku.

Tapi, setelah ‘Jon’ ditugaskan di Makassar, 3 bulan kemudian ia mengatakan akan menikah dengan wanita Makassar. Ia melakukan itu karena uang. Aku kecewa, tapi tak sedih. Ia yang memulai dan ia pula yang mengakhiri. Yang membuatku sebal, di malam sebelum pernikahannya, ia masih menghubungiku, mengucapkan kata-kata romantis yang tak sepantasnya diucapkan seorang pria, yang hendak menikah dengan wanita lain yang ia akui tak pernah ia cintai. The end.

Itulah cerita pendek rekaan, yang kuciptakan selama 10 menit. Aku mengambil tokoh Ade, mantan rekan kerjaku yang dulu bertugas di Makassar, sebagai inspirasi tokoh dan karakter ‘Jon’. Mungkin, aku memang terbiasa berbohong sejak dulu, sehingga kata-kata yang keluar meluncur begitu saja seperti arus air. Atau, mungkin juga, karena begitu mudahnya mengelabui seorang anak berusia 16 tahun? Entahlah, aku bahkan tak peduli apakah Jonathan percaya atau tidak dengan cerita karanganku.

“Sudahlah, lelaki seperti itu tidak perlu dipikirkan. Mana nomor teleponnya, biar aku damprat!”

Ya, bisa jadi, ia percaya pada ceritaku. Tapi, kata-kata terakhirnya mengingatkanku pada sikap sok melindungi Ade, ketika kukatakan ada seorang pria hidung belang mencoba mengelabuiku.

Aku termenung sejenak. Apakah reaksi semua pria akan selalu seperti itu, jika ada seorang teman wanita merasa ‘tersiksa’? Tak peduli wanita itu adalah sang kekasih atau hanya sebatas teman? Apakah itu bukan bentuk rasa sayang yang termanifestasi dalam bentuk perlindungan? Apakah itu hanya semacam ego kaum pria? Sebuah naluri sok kuat?

Kalau pernyataan Ade dulu dan Jonathan tadi hanya diperuntukkan bagi wanita yang mereka sukai, wajarkah jika aku merasa sedikit bangga dan senang? Tapi, kalau ternyata itu hanya reaksi spontan semua pria, bisa jadi, dulu aku hanya seseorang yang terlalu cepat menilai, terlalu cepat menyimpulkan arti kebahagiaan. Bodoh.

Ketika akhirnya kami duduk di sebuah angkutan kota dan hendak pulang, seorang anak remaja wanita duduk tepat di sam­pingku. Matanya tak pernah lepas dari Jonathan, yang duduk di de­panku. Ketika penumpang di sebelah Jonathan turun, Jonathan memintaku untuk duduk di sampingnya. Tanpa pikir panjang, aku berpindah tempat duduk.

Dari tempat dudukku yang sekarang, terlihat jelas bahwa wanita muda itu terus menatap Jonathan. Aku berpikir, wanita muda itu sangat berani. Aku tak ingat pernah menatap seorang pria sekuat itu. Lalu, aku bertanya dalam hati, apakah ia tak sadar dengan keberadaanku. Aku tahu pasti, ia sadar bahwa aku sedang menatap ke arahnya. Aku mungkin sedikit cemburu. Mungkin. Tapi, aku justru tersenyum padanya.

Ternyata, aku mungkin memang terlalu percaya diri. Karena, walau mungil dan tampak awet muda, wanita-wanita di depanku ini tetap melihatku tidak sebagai kekasih Jonathan. Entah sebagai kakak atau tante. Kalau tidak, mana mungkin mereka akan bersikap senekat itu.

Aku menoleh pada Jonathan dan sepertinya aku menangkap bahwa Jonathan menempatkan dirinya dengan nyaman sebagai obyek yang digilai wanita. Tampaknya, ia menikmati pandangan dari wanita-wanita di sekitarnya. Aku tak bisa marah sama sekali. Aku merasa tak berhak atas diri dan sikap Jonathan. Aku merasa, pria muda ini memang milik wanita-wanita itu.

Tiba-tiba aku merasa diriku berada pada posisi penonton, tanpa bisa menyumbangkan ‘permainan’ apa pun. Lalu, ada rasa kesendi­rian yang menghinggapiku. Dalam sekejap, aku merasa kembali pada ketidaknyamanan, yang sering membuatku merasa sepi.

Rasa sepi, dan mungkin juga cemburu itu, membuatku me­lontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk Jonathan. Kutanyakan, di mana ia akan melanjutkan sekolah, apakah ia akan kuliah di luar kota, apakah ia tak berniat mengikuti jejakku untuk kuliah di sebuah universitas negeri, apakah ia tak ingin ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri.

“Mau ikut, tapi tidak yakin lulus. Aku tidak sepintar kamu, Young. Bisa jadi, dengan mudahnya kamu masuk ke universitas favorit.”

“Siapa bilang mudah? Masuknya mungkin memang tidak terlalu sulit. Tapi, nanti ada sebuah kehidupan lain yang lebih sulit, yang akan menanti kamu. Kamu akan menemukan kultur belajar orang-orang yang memang sangat senang belajar. Lalu, kamu juga akan menemukan teman yang sangat individualistis. Bahkan, ada saatnya, kamu merasa tidak memahami, mana yang benar-benar teman dan mana yang hanya berteman karena menginginkan sesu­atu dari kamu. Bukannya menakut-nakuti. Tapi, kehidupan nyata memang seperti itu. Paling tidak, itulah yang aku alami. Jadi, tak ada salahnya kalau kamu bersiap-siap.”

“Ah, aku tidak paham dengan apa yang baru saja kamu ucapkan. Kata-katamu terlalu super,” kata Jonathan, sambil membenarkan rambutnya yang ia tata dengan gel.

Aku diam. Aku benar-benar tak mengerti, bagian mana dari kata-kataku yang tak ia mengerti. Bagian mana pula dari kata-kataku yang bisa dikategorikan sebagai kata-kata super? Aku sedang bicara dengan siapa sebenarnya? Rasanya, bahasaku sangat ringan dan mudah dimengerti.

Mendadak aku tersadar. Aku bukan sedang bicara dengan pria seusiaku, melainkan dengan seorang remaja. Seorang pria muda yang dikelilingi oleh lingkungan dan dunia yang memanjakannya.

Jonathan kembali bicara. Kali ini topik yang ia pilih adalah tempat-tempat makan terbaik, yang pernah ia kunjungi bersama pamannya. Bukan hanya di mal, namun juga di pinggir jalan.

Aku berusaha memotong pembicaraannya dan mulai membicarakan hal lain. Kuceritakan pengalamanku makan di sebuah tempat yang cukup murah dan enak, setelah pergi ke sebuah scholar­ship expo untuk program master, yang ingin sekali kudapatkan. Lalu, pembicaraanku melebar mengenai teman yang berhasil masuk universitas di Italia, tanpa diminta memasukkan nilai tes bahasa Inggris. Aku mengatakan, itu merupakan keberuntungan yang luar biasa dan aku iri oleh keberuntungan temanku itu.

Kulihat, dahi Jonathan mengernyit. Ia tak begitu paham akan pembicaraanku. Lagi-lagi, aku seperti bicara pada udara. Akulah yang kemudian merasa sangat bodoh.

Lalu, kami mulai lagi dengan pembicaraan tentang tradisi pe­nguburan masyarakat Tionghoa yang masih dilakukan nenek-ka­kek Jonathan dulu. Kami juga membicarakan tentang tradisi kremasi. Namun, ketika pembicaraan itu selesai, entah mengapa, aku ingin sekali mendengar sebuah visi atau pandangan akan kehidup­an di masa depan, meminta solusi akan masalah pelik di kantor dan tentang sikap teman kantor yang kurang menyenangkan. Tapi, hal-hal yang ingin kudengar, tak kudapatkan sama sekali.

Kemudian, banyak sekali pembicaraan-pembicaraan ringan, yang awalnya sangat menyegarkan, namun lama-kelamaan terasa membosankan. Rasanya, beberapa minggu ini aku terlalu dimanjakan oleh sebuah kenyamanan, yang pada akhirnya tak berujung pada apa pun. Hanya sebuah kesenangan sementara, tanpa diimbangi sedikit keruwetan, yang akhirnya membuatku kembali lagi pada titik yang sangat tidak nyaman. Jauh lebih tidak nyaman daripada sebelumnya.

Mungkin, bukan ini yang kucari. Bukan pembicaraan-pembicaraan santai yang terlalu sering ini yang ingin kudapatkan. Bukan Jonathan sebagai pelabuhan atau bahkan persinggahan. Mungkin, akhirnya, aku sudah merasa tak terlalu penasaran dengan kehidup­an masa remaja, yang pernah hilang dari dimensi waktuku dulu.
Aku hanya ingin kembali pada kehidupanku, kembali pada diriku yang sedang kuhadapi sekarang dan hari ini.

Di hari Senin yang tak begitu cerah itu, akhirnya semua kembali bekerja, beraktivitas. Kereta tampak penuh, seperti hari-hari biasa. Aku tak menemukan Jonathan di gerbong kereta api mana pun. Karena, ia telah kembali sekolah seperti biasa. Aku sendiri telah kembali pada rutinitas. Masa-masa tahun baru, yang mengundang banyak kemalasan dan keterlenaan, sudah berakhir. Aku kembali bertemu dengan bos, rekan kerja, dan lingkungan kerja yang begitu-begitu saja. Belum ada perubahan menyenangkan.

Sepulang kerja pun aku masih bertemu dengan Sisi dan Fina, masih membicarakan hal yang sama: Jonathan.
“Gila… akhirnya kamu sering pergi dengan Jonathan? Kamu bilang, tidak ingin berlanjut sampai jauh,” tanya Sisi.
“Terus terang, dia adalah pria pertama yang mengajakku jalan-jalan, nonton, makan. Memang, aku sempat merasa senang karena ada yang memerhatikan. Tapi, lama-kelamaan, aku tidak merasakan adanya chemistry atau kebahagiaan yang berlangsung lama. Dan, hari itu, aku hanya ingin keluar rumah. Kebetulan, dia juga sedang ingin jalan-jalan. Jadi, kami pun janjian untuk bertemu,” jawabku, dengan sedikit penyangkalan. Aku tak mau mengakui bahwa aku pernah dibutakan oleh cinta terhadap seorang remaja. Memalukan.

“Berhubungan dengan pria seumur memang berbeda dibandingkan dengan pria yang jauh lebih muda. Walaupun hubungan kita dengan pria yang seumur itu tidak terlalu serius, tetap masih ada harapan untuk bisa berlanjut. Paling tidak, kita bisa membayangkan atau memikirkan sebuah pernikahan, keluarga, dan masa depan. Positifnya, kita jadi rajin menabung untuk bisa mengadakan pesta pernikahan, seperti yang kita impikan. Bukankah begitu, Si?” kata Fina, serius.

Sisi mengangguk.

“Dan, semua usaha yang kita lakukan, pengorbanan yang kita tumpahkan untuk menjaga hubungan itu, terasa tidak sia-sia, mes­kipun akhirnya menemukan kebuntuan,” kata Fina, melanjutkan.

“Mungkin, kita baru akan menyadari bahwa kita sudah dewasa ketika mengenal cinta di usia seperti ini,” begitu teoriku akan hubungan resmi sesama orang dewasa yang belum pernah kurasakan.

Sisi mengerutkan dahi.

“Begini, ketika bertemu Jonathan, hatiku tergetar. Merasa mene­mukan cinta sejatiku. Aku kemudian berpikir, pria seperti Jonathanlah yang aku inginkan. Pria yang bisa membuat aku merasa senang, tanpa beban yang membuat pusing. Ia membuatku merasa bisa membayar penyesalan, karena aku tidak sempat menikmati masa-masa remaja. Terus terang, aku juga mencoba membuktikan bahwa sebenarnya dulu aku juga bisa mendapatkan pria yang tampan di sekolah, pria yang menjadi incaran banyak wanita.”

Sisi dan Fina masih mendengarkan ucapanku.


Penulis: Marisa Agustina



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?