Fiction
Lelaki Pilihan [4]

19 May 2012

<< cerita sebelumnya

Sesuai kesepakatan, Ilham akan datang ke Jakarta setiap Sabtu dan Minggu. Tentu saja, karena jarak dari Cirebon ke Jakarta sangat jauh, Ilham akan menginap. Sabtu sore ini Ilham pun datang. Dan, seperti yang diduganya, sambutan Nina padanya tak terlalu ramah. Dia memperlakukannya dengan sopan, layaknya pada seorang tamu, tapi terasa ada jarak di antara mereka.

“Sepi sekali, mana pembantumu?” tanyanya, mencairkan suasana.

“Dia sedang ke rumah cucunya di Condet. Dia jarang minta libur. Tapi, kesempatan itu hanya kadang-kadang saja digunakannya. Jadi, kuizinkan dia berlibur untuk beberapa hari. Biar dia puas bermain dengan cucunya. Tapi, mungkin nanti malam dia pulang. Kalau mau mandi-mandi dulu, handuk bersih ada di rak di atas wastafel.”

“Terima kasih.”

“Oya, kuingatkan padamu, terkadang aku tak punya banyak waktu untuk mengobrol santai denganmu karena harus bekerja. Jadi, jangan tersinggung jika aku mengabaikanmu,” kata Nina, dengan sedikit ketus.

Ilham tersenyum geli melihat keketusan Nina muncul lagi. Melihat senyum Ilham, Nina tambah sebal. Dia lalu beranjak ke arah kulkas. “Mau makan apa kita untuk makan malam?” tanya Nina bingung, sambil meneliti isi kulkasnya. Tak ada sayuran apa pun. Hanya ada daging sapi, ayam, dan beberapa ikan di freezer, serta buah dan soft drinks di bagian bawah.

Ilham ikut melongok isi kulkas Nina. “Bagaimana kalau kita buat sate atau ayam panggang?” usulnya.

“Bolehlah,” ujar Nina. Dibukanya lemari, mencari-cari bumbu sate siap pakai. Yang dijumpainya hanya kacang tanah. Tapi, tusuk sate ada banyak.

“Kita buat sate ayam saja. Aku akan siapkan bumbunya dulu,” ujar Nina.

“Oke, kalau begitu aku siapkan dagingnya,” ujar Ilham, sambil dengan luwes mencairkan daging ayam di microwave. Nina melongo.

“Kenapa bengong?” tanya Ilham.

“Kau bisa masak?”

“Tentu saja bisa. Aku lama merantau di Mesir. Harus bisa masak kalau tak ingin kelaparan di sana. Mau bukti?” tantang Ilham.

Nina hanya mengangkat bahu. Dibiarkannya Ilham memotong-motong daging ayam dan memasukkannya dalam tusukan sate. Selanjutnya, mencari pembakaran sate dari arang. “Kau punya panggangan sate dari arang? Atau, kita bakar di kompor ini saja?”

“Di bawah kitchen sink ada pembakaran sate. Arangnya juga ada di situ, termasuk kipas bambunya,” sahut Nina, sambil sibuk menggoreng kacang tanah, lalu menggerusnya bersama cabai dan bahan lainnya. Untuk beberapa saat mereka bekerja dalam keheningan.

“Sudah selesai bumbunya. Sini satenya, celupkan dulu ke bumbu kacangnya, baru dibakar,” ujar Nina, sambil menghapus peluh di kening gara-gara asap panas dari kompor saat menggoreng kacang.

Dengan gerakan tanpa maksud, Ilham membetulkan letak beberapa rambut poni Nina yang menutup matanya ke belakang telinga. Nina tertegun dengan sentuhan tangan Ilham. Rasanya, kulitnya jadi terbakar dan dadanya berdenyut dengan kencang. Ada apa ini? Kenapa tubuhku bereaksi demikian atas sentuhannya? Ia jadi bingung akan perasaannya sendiri.

Ilham sendiri tak tahu bahwa apa yang dilakukannya telah mengguncang batin Nina. Dia asyik mengipasi sate di atas panggangan.

Nina segera menata meja. Dibiarkannya Ilham kena peluh asap sate. Ia sendiri masih terguncang oleh sentuhan Ilham. Tak disangkanya, setelah sekian lama, kulitnya bereaksi atas sentuhan seorang pria. Kenyataan ini benar-benar membuatnya terpana. Ini bukan pertanda baik, pikirnya. Sambil mengupas buah untuk selada, otaknya sibuk memikirkan hal tersebut.

“Hai, jangan melamun. Berikan piring itu padaku, satenya sudah matang, nih,” ujar Ilham, melihat Nina melamun.
“Kenapa tak ambil sendiri?” sahut Nina, ketus. Ilham terkesiap. Namun, dia tak berkomentar apa-apa, langsung berdiri mengambil piring dan menata satenya. Ketika dilihatnya Nina belum menyiapkan sambal, tanpa berkomentar dia langsung membuatnya. Nina hanya meliriknya sekilas.

“Nah, sekarang sudah selesai. Ayo, kita makan, mumpung masih panas,” ujar Ilham. Dia duduk di depan Nina, yang sedang menyendok nasi.

“Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Ilham, sambil menerima piring nasi yang diberikan Nina kepadanya.
“Apa?” tanya Nina, tak mengerti.

“Kerutan di dahimu ini sangat kentara. Apa yang mengganggu pikiranmu?” ujar Ilham, sambil menunjuk kerutan di dahi Nina. Nina kembali tertegun mendapat usapan yang tak diduganya, karena kembali otot-otot tubuhnya mengejang atas sentuhan Ilham. Aduh, kenapa dia jadi demikian? Namun, dengan cepat dia segera menguasai diri. Ditepiskannya tangan Ilham. “Singkirkan tanganmu! Aku tak suka kau pegang-pegang,” sentaknya, kasar.

Ilham hanya mengangkat bahu. “Aku hanya menunjukkan kerutan di dahimu. Keriput itu akan cepat keluar kalau kau sering mengerutkan dahi dengan tajam begitu.”

“Ini wajahku, mau kuapakan, itu terserah aku. Kau mau makan atau tidak? Aku sudah lapar.” Lalu, tanpa menawari Ilham, Nina langsung mengambil beberapa tusuk sate ke piring nasinya.

“Coba dengan sambal ini, rasanya akan tambah enak,” ujar Ilham, sambil menyendokkan sambal buatannya pada piring Nina. Nina mengerutkan kening sejenak, tapi lalu ia memutuskan untuk tidak protes atas apa yang dilakukan Ilham. Dia meneruskan makannya dalam diam.

Ilham mengamati wajah Nina. Dia tahu, pikiran Nina tak terfokus pada makanan. Di wajah Nina terpampang jelas semua gejolak pikirannya. Kadang-kadang kesal, kadang-kadang merenung, se–muanya transparan. Hanya, Ilham tak tahu bahwa semua itu karena sentuhan tangannya.

Acara makan mereka terganggu oleh deringan telepon. Nina tersentak dari lamunannya dan beranjak ke ruang tamu untuk mengangkat telepon. Ternyata, dari Bi Jah yang mengabarkan tidak bisa pulang malam itu karena cucunya sangat rewel dan tak mau ditinggal pergi. Nina pun mengizinkan Bi Jah untuk menginap di rumah cucunya kembali.

Mendengar pembicaraan Nina, tak urung seulas senyum ter–sungging di bibir Ilham. Benar tebakannya. Pada dasarnya, Nina punya hati lembut dan baik hati. Tak seburuk yang digambarkannya minggu kemarin.

“Habis ini aku mau belanja ke supermarket. Kau mau ikut?” tanya Nina, sambil menyingkirkan piringnya ke pinggir dan mulai menyendoki seladanya.

“Mau belanja apa?”

“Sayuran dan bahan makanan.”

“Boleh juga jalan-jalan.”

Melihat Ilham sudah selesai makan, Nina membereskan meja makan. Dia diam saja ketika Ilham ikut-ikutan membantunya, bahkan membantu mencuci piring. Setelah selesai, Nina mengelap tangan, lalu mengambil dompetnya, dan keluar. Ilham yang keheranan mengikutinya dari belakang.

“Kita langsung berangkat?”

“Ya, memangnya kenapa? Ada yang ketinggalan?”

“Tidak. Aku cuma heran melihat kau tak merasa perlu merias wajah atau merapikan rambut dulu sebelum pergi. Kebanyakan wanita akan merasa tak percaya diri jika keluar rumah tanpa merias wajah dulu,” ujar Ilham, sambil menyalakan mesin mobil. Nina segera mengunci rumahnya, lalu duduk di sebelah Ilham.

“Apanya yang lain? Aku juga wanita. Yang berbeda mungkin karena mereka punya rambut yang tak praktis dan kulit wajah yang berbeda jenisnya denganku. Aku memotong pendek rambutku agar tak perlu repot mengurusi rambut. Lain ceritanya kalau aku punya rambut panjang. Kalau tak disisir, tentu akan terlihat tak rapi. Sementara bagi rambut pendek, disisir dengan jari saja sudah oke. Begitu juga dengan wajah, kalau kulit wajah mereka berminyak, tentunya perlu dibedaki. Sementara, aku dikaruniai kulit yang halus dan mulus. Jadi, buat apa dipoles segala macam. Bibirku juga sudah merah. Mataku? Aku tak suka merias mata, kecuali saat pergi ke pesta,” terang Nina, sambil mengenakan sabuk pengaman.

Dia memang lain. Kepercayaan dirinya mengagumkan, batin Ilham.

“Sebenarnya, mereka juga punya kulit mulus. Menurutku, yang mereka tak punya adalah kepercayaan diri setinggi dirimu. Mereka tak yakin kalau dirinya bisa tampil cantik, walau tanpa bantuan make up,” timpal Ilham.

“Mungkin.”

“Ngomong-ngomong, tentang kepercayaan diri, apakah sejak kecil memang punya rasa percaya diri seperti ini?” tanya Ilham.

“Entahlah. Rasanya, aku begini sejak dulu. Aku justru baru tahu bahwa PD-ku dinilai tinggi oleh orang lain.”

“Tapi, bagiku itu sangat mengagumkan.”

Nina agak tertegun mendengar pujian Ilham. “Kau ternyata suka terus-terang juga, ya,” ungkapnya.

“Mungkin, ketularan dirimu,” ujar Ilham, sambil meliriknya.

Ketika mereka berbelanja, Nina dikejutkan oleh sebuah panggilan. Rini. Mau tak mau, Nina memperkenalkan Ilham pada Rini, yang asyik mencuri pandang pada Ilham. Kali itu Ilham memang tampak memikat.

Tampaknya, Rini terpikat pada Ilham. Nina mendengus sebal. Sebelum Rini sempat berkomentar, Nina mengajak Ilham ke tempat ikan. “Sudah dapat sausnya, Mas? Yuk, kita ke tempat ikan. Aku mau bikin rempeyek teri. Rin, kami duluan, ya,” ujarnya, separuh mengusir Rini.

“Aku juga mau ke sana. Bareng saja,” usul Rini.

“Mari,” jawab Ilham, sambil meminggirkan keranjangnya, lalu dengan lembut menarik bahu Nina ke pinggir dan melindunginya ketika ada keranjang orang lain yang hendak lewat dan menabrak Nina. Semua itu tak luput dari pengamatan mata Rini yang tajam.

“Nin, sepertinya dia lembut dan sayang padamu. Apa lagi yang kurang?” bisik Rini, saat mereka berdua agak jauh dari tempat Ilham berdiri.

“Sudah, ah. Besok saja aku ceritakan. Sudah sana, katanya mau beli ikan. Aku mau ke tempat ikan kering di sana.”
Setelah Rini pergi, Ilham menghampiri Nina.

“Tadi kalian bicara apa sampai berbisik-bisik segala?” bisik Ilham.

“Katanya, kamu lumayan menawan juga. Puas?”

“Wah, itu sebuah pujian. Terima kasih. Menurutmu sendiri?”

“Huh!” Nina hanya mendengus sebal melihat nada kepuasan di suara Ilham. Melihat sikap Nina, Ilham hanya tertawa geli. Seakan wajar terjadi, tangannya lantas menggandeng tangan Nina.

Awalnya, Nina tak menyadari kalau tangannya berada dalam genggaman Ilham. Tapi, ketika menyadarinya, dia segera menyentakkannya. “Lepaskan! Memang kenapa harus pakai pegang-pegangan tangan segala,” bisiknya, marah.

Lalu, Nina berjalan lebih dahulu. Ilham hanya tersenyum sambil mengekor di belakang Nina. Perempuan ini makin lama makin menarik. Sayang sifat keras kepalanya tak mau luntur, batinnya.

Nina tak pernah bisa memendam amarah lama-lama. Saat melewati rak kerajinan tangan, dia sudah melupakan kekesalannya pada Ilham. “Lihat topi ini, coba kau pakai. Persis nelayan. Oh, bukan, seperti orang Meksiko!” ujarnya, sambil mengenakan topi itu pada kepala Ilham. Ilham menurut saja sambil berpura-pura jadi orang Meksiko. Nina geli melihatnya. Kali ini tawa renyahnya meluncur. Ringan dan bening, seperti tawa khas anak-anak.

Ilham tertegun. Wajah Nina tampak berbeda jika tertawa. Dia berjanji akan membuat Nina tertawa lebih sering lagi. Ia hanya perlu memilih tombol yang tepat agar tawa itu bisa sering keluar dari mulut Nina. Tanpa sadar, diusapnya pipi Nina dengan sayang. Ganti sekarang Nina yang tertegun dengan sentuhan Ilham. Rasanya, kepalanya jadi ringan dan jantungnya bertalu dengan keras. Megapa aku selalu bereaksi berlebihan begini? Aduh, jangan sampai aku tergoda olehnya, batinnya. Ia tak sudi membiarkan perasaan itu berkembang. Digelengkannya kepalanya dan segera menjauh dari Ilham dengan berpura-pura memilih anyaman lainnya.


                                                                          cerita selanjutnya >>


Penulis: Indah Kunarso


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?