Fiction
Lelaki Pilihan [3]

19 May 2012

<< cerita sebelumnya

Nina membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Ia melotot pada Ilham dengan kesal. Sepertinya, Ilham tahu benar kartu apa yang harus digunakannya untuk memenangkan permainan ini.

“Kau sengaja, ‘kan? Kau pasti tahu aku tak bisa menyetop ibuku. Justru, aku ingin dari pihakmulah yang membatalkan hal ini, sehingga Bunda tak akan memaksaku lagi,” sahut Nina, kesal.

“Dari pihakku tak ada keinginan mundur, kenapa harus mundur? Kalau memang dari pihakmu yang ingin mundur, kenapa harus aku yang mengusahakan?” sahut Ilham, keras kepala.

Nina hanya menatap Ilham dengan marah. Dia kalah set sekarang. Dengan kesal dia langsung berdiri dari kursinya dan berjalan keluar dari restoran. Ilham, yang tak menyangka Nina akan pergi begitu saja, segera membayar minuman mereka, lalu bergegas mengejar Nina. Untung, Nina belum sampai ke jalan raya.

“Begini caramu menyelesaikan masalah?” desisnya marah, sambil mencekal tangan Nina.

“Aku mau pulang! Buat apa bicara pada manusia keras kepala,” jawab Nina, dengan ketus.

“Kau menuduhku keras kepala, lalu dirimu sendiri bagaimana? Oke, kalau kau mau pulang. Tapi, tak perlu pakai cara ngeloyor begitu saja,” desis Ilham, kesal. Dia langsung membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Nina masuk.

Nina langsung masuk tanpa berkata-kata. Sepanjang jalan dia hanya diam dan sibuk berpikir. Ilham yang sesekali melirik, membiarkan Nina dalam kebisuan. Namun, dia sama sekali tak menyangka, ketika sesaat kemudian Nina menengok ke arahnya dan mengamatinya secara terang-terangan. Bukan pandangan marah seperti tadi, tapi lebih ke arah penilaian.

Ilham yang belum pernah diperhatikan dengan cara demikian, agak kaget juga. Wanita ini benar-benar unik. Belum pernah dirinya diamati secara terang-terangan oleh seorang wanita. Kebanyakan wanita yang dikenalnya, jika ingin mengamatinya, akan melakukannya secara diam-diam. Tapi, wanita ini lain.

“Sudah selesai melakukan penilaian?” tanya Ilham akhirnya, sambil menengok ke arah Nina. Untuk sesaat pandangan mereka bertemu.

Nina bukannya bingung atau malu. Ia hanya mengangkat bahunya dengan cuek, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela di sampingnya. Dia masih bingung dengan motivasi Ilham untuk tetap ngotot melanjutkan perjodohan mereka. Jelas-jelas mereka tak saling mengenal. Dia tak percaya bahwa Ilham sangat menyukainya, hanya dengan satu kali mengobrol dengannya saat kunjung­annya di rumah ibunya. Pasti ada alasan lainnya. Inilah yang masih belum terungkap. Kalau dilihat dari sikapnya, Ilham bukanlah tipe penurut dan mau begitu saja dicocok hidung untuk melakukan hal-hal bodoh. Terlebih itu menyangkut masa depannya.

Dari samping, profil Ilham sangat menawan. Akan mudah bagi orang ini untuk mencari seorang istri yang tercantik sekalipun, terlebih dengan kesuksesan usahanya. Pasti akan banyak wanita yang antre dan bersedia jadi istrinya. Jadi, kenapa ia malah ngotot memilihnya? Wanita yang jelas-jelas tak mencintainya, yang pasti tak dicintainya pula. Jadi, apa motivasinya? Apa karena harga diri yang terluka? Ya, bisa jadi.

Manusia sombong ini pasti sangat menyadari ketampanan dirinya. Dia pasti tak pernah ditolak oleh teman-teman wanitanya. Dan, kini ia telah menolaknya mentah-mentah. Mungkin harga dirinya merasa telah direndahkan olehnya. Pasti ini yang membuatnya ngotot untuk melanjutkan perjodohan mereka. Baiklah, kalau begitu. Kita boleh uji, sampai di mana kesabaranmu. Jangan harap kau bisa menyeretku ke penghulu. Akan kubukakan matamu bahwa kau hanya membuang-buang waktumu! Pemikiran ini sedikitnya membuat perasaannya lebih tenang dan berhasil melontarkan senyuman di bibirnya.

Ilham meliriknya dengan heran, ketika dilihatnya Nina tersenyum dengan puas. Namun, dia tak berkomentar apa-apa. Nina pun tetap tenang sesampainya di rumah. Ibunya sampai heran. Ketika dipancing tentang apa yang dilakukannya saat pergi dengan Ilham, Nina hanya mengangkat bahunya dengan cuek. Akhirnya, ibunya menyerah dan menganggap memang dirinya telah berhasil ‘dilunakkan’ Ilham. Hatinya pun lega, sehingga dia pun banyak tertawa dan mengobrol selama makan malam.

Ketenangan Nina yang luar biasa ini membuat Ilham juga heran. Wajah Nina sangat tenang. Bahkan, hampir tak terlihat riak apa pun. Berbeda dari gadis yang marah-marah tadi siang. Benar-benar gadis yang tak bisa diduga, batinnya. Ia memilih untuk tak berkomentar dan menunggu langkah apa yang akan diambil Nina selanjutnya.

“Bagaimana? Aku setengah mati ingin tahu. Tak tahan rasanya menunggu,” seru Rini, keesokan harinya di telepon.
Nina yang telah seharian memendam kesal karena ‘kekalahannya’ dan terpaksa setuju dengan perjanjian Ilham, seakan menemukan tempat untuk memuntahkan kekesalannya. “Aduh, Rin, mungkin, kalau bisa membunuh, aku akan membunuhnya!” ujarnya, gemas.

“Kayaknya, gawat. Semuanya berada di luar kontrolmu, ya?” tebak Rini.

“Dia benar-benar manusia yang tak bisa diberi pengertian. Coba, aku mesti bilang apa lagi padanya? Lelaki yang normal pasti akan bersedia mundur bila calon istri telak-telak menyatakan tak mau menikah dengannya. Entah terbuat dari apa hatinya!” seru Nina, tak mengerti.

“Seperti apa dia?”

“Manusia angkuh yang keras kepala! Yang tidak bisa diberi pengertian sama sekali.”

“Berarti, dia benar-benar jatuh cinta padamu.”

“Impossible! Menurutku, bukan karena cinta, tapi lebih karena egonya yang terluka. Dia malu dan tersinggung karena aku menolaknya mentah-mentah. Makanya, dia pun ngotot mempertahankan.”

“Bisa jadi. Kamu tak pakai cara diplomatis?”

“Saat itu aku sudah kadung marah padanya. Aku tak menyangka bahwa hasilnya makin rumit. Dia benar-benar manusia psikopat, yang senang melihat orang lain menderita.”

“Dia pakai cara apa hingga kamu mati kutu?” tanya Rini, penasaran.

“Ibuku. Dia pasti tahu bahwa titik kelemahanku ada pada ibuku. Dia menyuruhku ngomong langsung pada ibuku. Kalau memang bisa, sejak kemarin-kemarin sudah kulakukan.”

“Lantas, apa yang hendak kamu lakukan selanjutnya?”

“Belum tahu. Saat ini aku belum bisa berpikir apa-apa. Tapi, jangan dikira aku akan tunduk begitu saja untuk digiring ke penghulu bersamanya.”

“Wah, runyam juga! Aku rasa lebih baik kamu endapkan dulu masalahnya. Tenangkan pikiranmu. Juga, berdoa yang banyak biar diberi jalan keluar. Baru sesudahnya kamu tentukan langkahmu. Toh, dia tak akan mengawinimu dalam waktu dekat, ‘kan? Kamu masih punya waktu untuk bikin siasat baru.”

“Pasti! Aku tak mau kalah lagi lain kali. Akan kubikin dia menyadari bahwa dia manusia yang hanya membuang-buang waktu,” seru Nina, berapi-api.

“Sudah, sudah. Singkirkan dulu perkara itu dari pikiranmu. Nanti kamu malah frustrasi. Kita hang out nanti sore, yuk. Biar kamu tidak stres,” ajaknya, mengalihkan persoalan.

“Kita lihat saja nanti. Hari ini aku ada rapat dengan klien. Aduh, aku sudah hampir terlambat. Sudah dulu, ya,” jawab Nina kaget, ketika melihat jam.

“Jangan banyak dipikirkan, ya,” pesan Rini, sebelum telepon ditutup.

Untunglah, siang itu Nina benar-benar disibukkan oleh kliennya, yang agak rewel dengan naskah pidato yang telah dibuat Nina untuk pembukaan kantor cabangnya. Mau tak mau, Nina harus membuat ulang naskah tersebut. Hal ini sedikit banyak menyita pikirannya, sehingga dia pun agak lupa dengan masalahnya sendiri.


                                                                            cerita selanjutnya >>


Penulis: Indah Kunarso


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?