Fiction
Larasati [3]

12 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

Sudah sebulan Larasati merasakan geliat makhluk dalam tubuhnya. Makin hari makin kuat saja. Makhluk itu meminta Larasati untuk membebaskannya.

Duh, Gusti! Apa yang harus kulakukan? Apakah aku hanya bisa menyimpan harapan melihat kepala Galuh menggeleng suatu saat nanti? Bagaimana dengan kepalaku sendiri? Tidakkah aku juga ingin menggeleng untuk sesuatu yang tidak kusukai? Menggeleng untuk aturan-aturan yang tak masuk akal?

“Mama, kenapa orang-orang itu berkerumun di depan rumah kita?” tanya Galuh, menghamburkan lamunan Larasati malam itu.

Larasati bangkit dari duduknya dan mengintip dari balik tirai jendela. Berpuluh wartawan media cetak dan elektronik berkumpul di depan rumahnya. Setelah status Baskoro dinaikkan jadi tersangka, makin banyak saja wartawan yang menyambangi rumah Larasati. Bahkan, beberapa orang memasang tenda di seberang jalan. Larasati merasa terganggu. Berkali-kali Larasati menjelaskan bahwa dirinya tak tahu apa-apa. Tetapi, wartawan itu tetap saja berkerumun dan bertanya.

“Pakaian yang tertinggal di kamar hotel menjadi bukti bahwa suami Anda saksi kunci dari pembunuhan itu. Bahkan, sekarang statusnya naik menjadi tersangka. Bagaimana pendapat Anda?”

“Apa yang akan Anda lakukan jika kemungkinan suami Anda masuk penjara?”

“Ada feeling di mana suami Anda berada sekarang?”

Larasati merasa letih oleh pertanyaan-pertanyaan itu.

“Ma, kenapa mereka selalu mencari dan bertanya tentang Papa?” tanya Galuh lagi.

“Mereka penggemar Papa,” kilah Larasati, sambil menuntun anaknya meninggalkan jendela. “Malam ini, bagaimana kalau Mama mendongeng tentang putri yang pandai bermain seruling?”

Galuh mengangguk, tersenyum. Eyang pulang ke Solo tiga hari lalu dan Galuh kembali meminta Larasati mendongenginya tentang putri-putri hebat. Mereka baru saja merebahkan tubuh di pembaringan, ketika telepon di ruang tengah berdering. Tak lama kemudian seorang pembantunya mengetuk pintu kamar.

“Dari Pak Baskoro, Bu…,” kata pembantunya.

Larasati terkejut. Baskoro menelepon? Apa yang dia inginkan dariku dengan statusnya sebagai buronan polisi? Setelah meminta Galuh menunggu, Larasati berjalan ke ruang tengah.

“Ini Baskoro, Laras. Apa pun yang terjadi, kau jangan mencariku,” kata Baskoro, tanpa kata pembukaan yang lebih manis di telinga.

Sesaat Larasati terdiam beku.

“Aku tahu polisi mencariku. Karena itu, aku tak bisa pulang. Percayalah, semua akan baik-baik saja.”

“Apakah Mas melakukan apa yang mereka tuduhkan?” pertanyaan Larasati meluncur begitu saja, tanpa dapat dibendung.

“Itu urusanku dan kau tak perlu tahu.”

Sambungan terputus begitu saja. Larasati tercenung sambil masih memegang gagang telepon. Terdengar suara Galuh memanggil-manggil dari kamar. Benaknya dipenuhi pertanyaan ketika menyeret langkah ke kamar.

Di mana sekarang Baskoro berada? Apa yang dilakukannya? Mengapa dia selalu merahasiakan sesuatu dari istrinya?

Tetapi, Larasati tidak bisa bersikap masa bodoh untuk urusan yang melibatkan Baskoro ini. Karena esoknya, polisi berdatangan ke rumah untuk menggeledah. Telepon semalam telah disadap pihak kepolisian dan mereka mencurigai keterlibatan Larasati dalam kasus ini.

Melewati pintu keluar kantor polisi, dunia Larasati terasa menyempit. Pertanyaan-pertanyaan penyidik kepolisian yang menekan beberapa jam lalu membuatnya terpojok. Larasati ingin menjerit sekuat tenaga.

Kenapa kau menginterogasiku seolah aku pelaku pembunuhan itu? Aku memang istri Baskoro, tapi aku tak tahu apa-apa dengan urusan Baskoro di luar rumah. Dan, aku tidak peduli siapa wanita-wanita yang menjadi teman dekat Baskoro!

Suasana hatinya yang tertekan tak membuat senyumnya surut. Ia tetap tenang melangkah di antara kerumunan wartawan yang mendesaknya dengan berbagai pertanyaan.

“Maaf, saya tidak tahu apa-apa. Polisi lebih tahu perkembangan kasus ini. Terima kasih.”

Wartawan terus menyerbu dengan berbagai pertanyaan. Larasati tetap tenang dan tersenyum. Tetapi, ketika kerumunan wartawan itu mulai mencegat dan memaksanya untuk menjawab, dada Larasati terasa sesak. Beban yang memberati kepalanya beberapa minggu terakhir serasa mau meledak. Buru-buru ia masuk ke dalam mobil dan meminta sopirnya melaju. Larasati menarik napas lega, saat mobil telah jauh meninggalkan halaman kantor polisi.

“Pak, tolong turunkan saya setelah perempatan,” kata Larasati, ketika mobil berhenti di perempatan lampu merah.
Sopir pribadinya mengerutkan kening dan melirik melalui kaca spion. “Ibu mau ke mana?”

“Saya ingin jalan-jalan.”

Sopirnya mengangguk. “Nanti dijemput jam berapa, Bu?”

“Tidak usah dijemput. Saya pulang naik taksi saja.”

Tepat di depan perempatan, mobil menepi dan berhenti. Larasati memasang topi dan mengenakan kacamata sebelum turun. Ia tak ingin dikejar-kejar wartawan.

Keramaian Jakarta lenyap begitu saja, ketika kaki Larasati menapaki halaman museum. Banyak orang melupakan museum setelah pusat perbelanjaan dan kafe menjamur. Tempat yang menyimpan berbagai kenangan bersejarah itu kian hari kian lapuk dimakan waktu. Hanya sedikit orang yang sudi singgah ke sana. Salah satunya Larasati.

Mengunjungi museum adalah hobi Larasati sejak remaja. Ia memang menyukai sejarah, meski kemudian studi yang diambilnya tidak ada hubungannya dengan sejarah. Bukan hanya koleksi-koleksi langka setiap museum yang membuat Larasati terpikat, melainkan juga selasarnya yang sepi, membuat Larasati merasa nyaman untuk menepi. Ia suka duduk di selasar museum dan memandang hamparan rumput di depannya. Seperti yang dilakukannya sore ini.

Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Makhluk itu menggeliat hebat dalam dirinya. Mendesak-desak dadanya. Mengajukan berbagai pertanyaan dan meminta jawabannya segera.

Apakah kau akan menghabiskan hidupmu untuk menunduk dan mengangguk? Kenapa kau biarkan dirimu menjadi burung bodoh yang terbelenggu dalam sangkar emas? Sebenarnya kau memiliki pendidikan bagus dan bisa melakukan apa saja yang kau sukai, kenapa tidak kau lakukan? Sampai kapan kau akan menelan rasa hambar dalam kehidupan pernikahanmu?

Tiba-tiba air mata Larasati meleleh. Ia merasa sangat malang dan putus asa. Ia tidak tahu harus bagaimana. Dadanya terasa sesak dan sempit. Pandangannya mengabur dalam linangan air mata. Duh, Gusti! Apakah aku sanggup mengejar kebahagiaanku? Bagaimana caranya?

“Selamat sore!”

Suara berat itu mengejutkan Larasati. Ia mengusap air mata dan berdiri dari duduknya. Seorang pria berambut gondrong dengan sorot mata lembut berdiri di sampingnya. Larasati memutuskan untuk pergi, melihat kamera di tangan pria itu.

Ia wartawan dan aku tidak ingin terganggu sore ini.

“Hei, tunggu! Mau ke mana?” cegah pria itu.

Larasati mengembangkan senyumnya. “Maaf, saya tidak ingin diganggu wartawan sore ini. Sedang ingin sendiri.”

“Oh, jangan khawatir. Saya memang wartawan, tetapi tidak bermaksud mengganggu Anda. Ada banyak objek yang lebih menarik di museum ini.”

Tiba-tiba Larasati merasa malu. Mungkin dia paranoid terhadap wartawan yang akhir-akhir ini memperlakukannya seperti selebriti. Lagi pula, jangan-jangan wartawan ini tidak mengenal dirinya? Larasati geli sendiri.

“Saya juga suka duduk di selasar museum. Nyaman dan tenang rasanya,” kata pria wartawan itu, tanpa memandang Larasati.

Larasati mengangguk dan kembali duduk di samping pria itu. Bertemu teman baru yang tepat memang menyenangkan. Tak lama kemudian, mereka sudah terlibat percakapan-percakapan hangat.

“Kau seperti sedang bersedih?” tanya pria itu.

“Mungkin ya, mungkin juga tidak,” jawab Larasati, tersenyum. Wartawan ini benar-benar tidak tahu siapa diriku.

“Kalau ya, kau harus berani mendengarkan kata hatimu untuk mengatasi masalahmu. Kau tahu? Wanita itu sesungguhnya makhluk yang kuat, jika tidak menganggap dirinya sendiri lemah.”

Larasati tertegun mendengar kata-kata yang diucapkan dengan berat itu.

Benarkah pria ini mengatakan tentang kelebihan seorang wanita? Apakah di bumi ini ada pria yang menghendaki istrinya tidak sekadar menunduk dan mengangguk? Ah, mungkin banyak di luar sana. Hanya, selama ini aku hidup dalam sangkar Baskoro yang menghendaki seorang wanita menunduk dan mengangguk.

“Sudah petang, saya harus kembali bertugas. Senang bisa ngobrol dengan Anda,” kata pria itu, seraya menjabat tangan Larasati. “Oh, ya, kita belum berkenalan. Saya Andris Maulana.”

“Saya….”

“Larasati alias Nyonya Baskoro, ‘kan?” Andris menyahut cepat.

Ada sedikit kecewa merambati dada Larasati mendengar kata-kata Andris.

“Jangan khawatir, ada objek yang lebih menarik ketimbang Anda,” kata Andris, menunjuk patung di halaman museum dan siap memotret. “Sungguh, dia lebih menarik bagi saya.”

Tiba-tiba Larasati tertawa. Tawa yang lepas.

Senja hari. Sebulan kemudian.

“Kau harus selalu mendampingi suamimu yang tertimpa musibah, Laras,” suara ibunya di telepon penuh tekanan.


Penulis: Tary


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?