Fiction
Larasati [2]

12 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

Raka seorang pria kebanyakan. Tanpa embel-embel gelar bangsawan di depan namanya. Tanpa aliran darah biru di urat nadinya. Ada ketakutan yang diam-diam menjalari dada Larasati, melihat binar mata Prawesti yang tengah jatuh cinta. Ia tak rela melihat kakak semata wayangnya menderita. Ia tak akan sanggup melihat air mata menggenangi pipi kakaknya. Ia terlalu menyayangi Prawesti.

Lalu, ketakutan Larasati menjelma nyata.

“Tinggalkan pria itu, Prawesti. Dia tak baik untukmu,” kata Ayah, suatu malam, setelah Prawesti nekat mengajak Raka ke rumah.

“Banyak pria yang sebanding denganmu, Prawesti. Kau harus mengerti, bagaimana seharusnya pria yang akan kau nikahi,” tambah Ibu.

Larasati mengintip dari pintu kamarnya dan melihat mata Prawesti berlinang. Gurat luka membayang di kedua bola mata itu.

“Tetapi, dalem mencintainya. Raka bisa membuat dalem bahagia,” kata Prawesti lirih, seolah pada dirinya sendiri.
Ayah mendengus, mendekatkan wajahnya ke wajah Prawesti. “Cinta seperti apa yang bisa dia berikan kepadamu? Apa sebanding dengan cintamu? Ayah tak ingin melihat mukanya lagi.”

Setelah memberi tekanan berat pada kata-kata ‘tak ingin melihat mukanya lagi’, Ayah meninggalkan ruang tengah. Ibu menghela napas, sambil mengikuti langkah Ayah ke kamar. Prawesti menundukkan kepalanya lebih dalam, seolah ada beban beratus-ratus ton di atas kepalanya. Terdengar isak lirih di antara napas yang tersengal.

“Sabar, ya, Mbak, sabar….”

Suara Larasati mengejutkan Prawesti. Serta-merta ia merangkul adiknya dan menurut saja ketika Larasati membimbingnya ke kamar. Dibiarkan Prawesti terus menangis. Sumbatan itu harus dibebaskan.

“Aku tak akan membiarkan mereka menghalangi cintaku, Laras. Aku akan bahagia bersama Raka,” kata Prawesti, tersengal-sengal.

Larasati mengelus perlahan bahu kakaknya dan menyodorkan segelas air putih.

“Aku akan memilih cara lain, jika mereka tak menyetujuiku menggunakan cara baik-baik. Dengan begitu, mereka terpaksa menyetujui hubungan kami.”

“Mereka orang tua kita, Mbak….”

“Tapi tidak berhak menghalangi kebahagiaanku,” potong Prawesti, dingin. ”Sudah cukup aku menuruti semua kemauan mereka.”

Larasati menatap kakaknya sedih. “Apa yang akan Mbak lakukan?”

“Sesuatu.”

Mata Prawesti berkilat.

Dan, ketakutan itu menyergap Larasati makin ganas. Sesuatu. Apa yang sedang direncanakan Prawesti dalam otaknya? Sesuatu yang buruk? Atau, sesuatu yang berbahaya? Apa benar cinta telah membutakan realitas-realitas di depan mata Prawesti? Ketakutan terhadap ‘sesuatu’ yang diucapkan Prawesti dengan mata berkilat itu, mengungkung hari-hari Larasati hingga lima bulan berikutnya. Lalu, Raka datang lagi untuk melamar Prawesti.

“Kau pikir, Ayah akan merestui pernikahan kalian setelah kehamilanmu, Prawesti?” suara Ayah menggelegar, beberapa saat setelah pipi Prawesti membiru, karena tamparan tangan bercincin mata akik. Pandangan mata Ayah membara, seolah hendak membakar apa saja yang ada di hadapannya.

Dari balik sekat ruang tengah, dada Larasati sesak. Prawesti hamil? Inikah rencana yang ada di kepala Prawesti tempo hari? ‘Sesuatu’ yang dipilih untuk mendapatkan cintanya bersama Raka? Duh, Gusti!

“Dalem mencintai Raka, Ibu…,” Prawesti mengiba kepada ibunya, berharap wanita itu memiliki belas kasih padanya. Tetapi, wanita lembut itu menggeleng dan justru menguatkan pendapat-pendapat ayahnya.

Rencana Prawesti berakhir kehancuran. Raka pulang tanpa membawa hasil. Setelahnya, Ayah memasang kawat berduri di atas tembok yang memisahkan dirinya dengan Raka. Prawesti merasa tak akan pernah sanggup melampauinya. Pelan-pelan ia membiarkan dirinya tenggelam. Raka tak terdengar kabarnya, hingga janin dalam kandungannya berkembang dan menendang-nendang perutnya. Ayah memindahkan Prawesti ke kota terpencil dan melahirkan bayinya di sana.

“Menurutlah kepada ayahmu, Prawesti. Dia pria baik-baik, keturunan darah biru seperti kita. Kau akan bahagia,” bujuk Ibu, sekembali Prawesti dari kota terpencil.

Wajah bayi yang harus ditinggalkannya menari-nari di pelupuk matanya, menghiasi mimpi-mimpinya. Hidungnya mirip Raka, matanya mirip Prawesti, rambutnya, mulutnya…. Kapan kita bertemu lagi, Nak? Prawesti selalu berlinang air mata, setiap kali teringat rumah sakit tempat bayinya ditinggalkan, atas kehendak ayahnya.

Di mana kau Raka? Kenapa kau biarkan aku sendiri menyusuri jalan cinta yang menyakitkan ini? Tidakkah kau turut merasakan kepedihanku?

Prawesti terlalu letih untuk menentukan pilihannya, ketika diam-diam Ayah telah menyiapkan calon suami untuknya. Seorang pria paruh baya keturunan darah biru. Tak pernah terbayang dalam angan Prawesti untuk menjadi istri kedua. Tapi, ia tahu, tak ada gunanya memiliki keinginan yang lain. Sejak kecil ia selalu belajar untuk mengangguk. Meski tidak berkehendak, meski tidak bahagia.

Wanita harus selalu menunduk dan mengangguk.

Pernikahan itu akhirnya terjadi. Ayah dan ibunya bangga melihat Prawesti bersanding dengan pria keturunan darah biru. Segala aib yang pernah ditaburkan Prawesti, lenyap begitu saja. Hingga Prawesti diboyong ke rumah suaminya dan Larasati jarang berjumpa dengan kakaknya.

“Laras, suatu saat nanti, kau harus merasakan cinta yang pernah kumiliki bersama Raka,” kata Prawesti suatu sore, ketika mereka sibuk menyiapkan pernikahan Larasati.

Larasati berhenti meneliti gaun pengantinnya dan memandang Prawesti lurus-lurus. Sejak perpisahan dengan Raka dan bayinya, Larasati belum pernah melihat mata kakaknya berbinar. Bola mata indah itu selalu kosong tanpa sinar.

Apa yang bergumul dalam pikiranmu, setelah menjadi istri kedua pria paruh baya itu, Prawesti? Tidakkah kau mencoba bahagia bersamanya? Tidakkah kau berusaha melupakan cinta yang telah lebur dalam kehendak Ayah-Ibu?

“Aku tidak tahu bagaimana jatuh cinta,” kata Larasati pelan, kembali meneliti gaun pengantin itu. Mungkin pernah, tetapi aku tidak punya keberanian untuk menerima cintanya, lanjutnya, dalam hati.

Prawesti menghela napas panjang. “Aku hanya memiliki kepatuhan, kepasrahan, dan pengabdian pada suamiku. Dan kurasa itu bukan cinta.”

“Apa Mbak bahagia?” tanya Larasati perlahan.

Tawa Prawesti meledak. Larasati mengerutkan kening. Apa yang ditertawakan wanita itu? Tawa ini adalah tawa pertama setelah banyak hal menimpa Prawesti. Adakah yang salah dengan pertanyaanku?

“Kenapa Mbak tertawa?” kejar Larasati.

“Pertanyaanmu lucu. Aku tidak tahu lagi apa itu kebahagiaan. Yang kutahu sekarang adalah memasak makanan kesukaan suamiku, menunggu giliranku untuk dikunjungi tiba dan menemaninya sepanjang hari. Aku juga harus selalu menunduk dan mengangguk. Tidak sulit, hanya membosankan.”

Larasati menelan ludah susah payah. Bertahun-tahun Prawesti menghabiskan masa belajarnya di universitas, namun ia tak berhak menghirup kehidupan di luar rumah. Kehidupan seperti itukah yang akan aku jalani bersama Baskoro? Sanggupkah aku menjadi wanita yang menunduk dan mengangguk sepanjang hidupku? Bisakah Baskoro kuajak kompromi untuk kebahagiaanku?

Tak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Selesai pesta pernikahan, Baskoro menekankan keinginannya kepada Larasati untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Melayaninya dan menjaga anak-anaknya.

“Posisi terbaik wanita memang di rumah, Laras. Menjadi ibu rumah tangga akan membuatmu dicintai suami,” kata ibunya.

Larasati tidak dapat mendefinisikan perasaannya. Ia hanya ingin mengalir mengikuti sungai hidupnya. Dua bulan setelah pernikahannya, Ayah meninggal karena serangan jantung. Lalu, kabar itu datang. Prawesti minggat!
Tak ada petunjuk ke mana perginya wanita itu. Namun, bisik-bisik tetangga mengatakan, Prawesti pergi mencari anaknya yang ditinggal beberapa tahun lalu.

Apa yang kau cari Prawesti? Kebahagiaan? Aku juga tak tahu apa itu kebahagiaan dalam pernikahan hingga kandunganku tujuh bulan. Baskoro mulai gemar main wanita di luar rumah, dengan dalih urusan bisnis.

Kelahiran Galuh telah membuat Larasati menyimpan harapan. Galuh harus menjadi wanita yang tidak sekadar menunduk dan mengangguk seperti dirinya, tetapi ia harus bisa menggeleng dan memperjuangkan kebahagiaannya.




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?