Fiction
Lama Fa [8]

14 May 2012


Tiba-tiba sesosok tubuh muncul dari kerumunan. Sosok Stevanus Tanakofa!


“Nah, kebetulan sekali pembunuhnya datang!” Paman Fotu sudah mengeluarkan parangnya. “Ayo, tunggu apa lagi! Buat dia mengaku! Bila tidak, bunuh dia!”

“Tunggu!” Seseorang yang datang bersama Stevanus, salah seorang tetua adat, mengangkat tangannya. “Jangan gegabah. Jangan asal menuduh. Sebaiknya, kita semua dengarkan dulu suara orang ini!” 

Paman Fotu melirik ke belakang, melihat seseorang yang muncul dari kerumunan itu. Ignatius Sarra.

“Sekarang, ceritakanlah semuanya, Sarra!” perintah Paman Fotu.

“Paman Ignatius, ada apa?” Linda, yang makin tak mengerti, maju perlahan.

“Tunggu,” tetua adat menahan langkah Linda, “sebaiknya, kau juga dengarkan dulu cerita pamanmu ini.”

Paman Ignatius maju perlahan. Sesaat ia tampak tak tenang mendapati dirinya ditatap puluhan pasang mata. “Beta…” ia menelan ludah, “sebenarnya ini sudah ingin beta ceritakan saat kita bertemu di warung itu, Linda. Tapi, waktu itu beta masih ragu. Tapi, sungguh, ketika koteklama mengempas tubuh Papa Ora, Papa Ora tak langsung meninggal. Ia sempat muncul ke permukaan. Beta sempat melihat itu. Tapi, Fotu sudah menyuruh yang lain membalikkan pledang. Dia bilang, Papa Ora sudah mati. Tapi, beta yakin sekali, Papa Ora saat itu masih hidup.”

“Berengsek!” Paman Fotu berteriak, “Sarra, kau juga berniat menjebakku!” Paman Fotu menghunus parangnya.

“Tidak ada yang menjebakmu, Atakei!” Suara Stevanus terdengar. “Selama ini semua orang sudah tahu bahwa kau selalu ingin menjadi lama fa. Kau kecewa karena anak wanita Bataona ini yang terpilih. Bukankah selama ini kau merasa lebih mampu? Mungkin, tanpa kau sadari, saat kau mabuk, kalimat-kalimat itulah yang selalu keluar dari mulutmu. Banyak yang sudah mendengarnya. Apa perlu beta memanggil mereka satu per satu?”

Paman Fotu melirik sekelilingnya. Ia merasakan tatapan tajam dari semua orang. Tiba-tiba ia menjadi kalap, ia sudah mengayunkan parangnya ke arah Stevanus. Tapi, belum sempat ia menerjang, penduduk desa segera menghalaunya. Beberapa orang menubruknya, membuat parang di tangannya terlepas. Lalu, beberapa orang yang lain segera membantingnya dan memitingnya.

Makian Paman Fotu masih terus terdengar, meski sudah diseret penduduk menjauh dari rumah Linda.

Sore itu pemandangan tampak muram. Angin sore terasa lebih kencang. Beberapa garis hitam sudah mulai tercipta di barat.

“Beta masih tak menyangka….” Linda Bataona seperti bicara pada dirinya sendiri.

|“Paman juga, Linda!” Stevanus Tanakofa, yang berdiri di sampingnya, berpaling sesaat. “Tapi, ia memang sudah lama sekali ingin menjadi lama fa. Paman sendiri sebenarnya tahu itu dari Papa Ora. Sekilas, secara tersirat, papamu pernah bicara tentang ini. Paman juga pernah melihat Fotu bicara dengan Ikke Mabengke di Dosana. Dan, beberapa hari kemudian Paman lihat Ikke bicara dengan papamu. Sepertinya, suatu kebetulan yang aneh. Apalagi, ditambah cerita-cerita orang yang mendengar omongan saat Fotu mabuk. Sejak saat itu, Paman hanya bisa menduga-duga, menghubung-hubungan kebetulan-kebetulan itu. Makanya, Paman mengirimi surat dugaan itu padamu. Tapi, Paman tak bisa langsung mengatakannya. Karena, Paman sendiri tak memiliki bukti.”

“Berarti, Paman yang mengirim surat itu?”

Paman Stevanus mengangguk.

“Padahal,” suara Linda memelan, “awalnya, beta kira Paman yang berusaha membunuh Papa Ora. Apalagi, ketika beta melihat Paman memukul Ikke.”

Paman Stevanus tertawa. “Tak bisa disalahkan. Tapi, soal Ikke, ia memang menjengkelkan. Aku bertanya padanya baik-baik. Tapi, ia tak pernah mau mengaku. Dan, ketika ia akhirnya mengaku, ia menyebut namaku sebagai orang yang menyuruhnya. Saat itu Paman benar-benar kaget dan marah.”

Linda mengangguk-angguk. “Tapi, ternyata semuanya ulah Paman Fotu. Sungguh, beta masih sulit menerimanya. Bila Paman Fotu memang ingin menjadi lama fa, kenapa ia tidak langsung menjadi lama fa saja, Paman? Beta yakin, Paman Fotu mampu.”

“Ya, mungkin saja,” Stevanus menerawang, “tapi, tradisi kita memang sudah seperti itu, Linda. Kita tak punya kemampuan untuk mengingkarinya.”

Linda Bataona terdiam. Entah mengapa, ia merasa kasihan terhadap Paman Fotu.

“Tapi, ada satu yang ingin beta tanyakan pada Paman!” ia berpaling, “mengapa selama ini Paman begitu jahat pada beta?”

“Jahat?” Paman Stevanus tertawa. “Sepertinya, kau terlalu melebih-lebihkannya, Linda. Paman ini memang bukan orang yang ramah. Tapi, yang pasti, Paman adalah pengagum papamu, Ora Bataona. Sejak dulu seperti itu. Jujur saja, ia merupakan lama fa terbaik yang Paman kenal. Walau kami jarang menghabiskan waktu bersama, sesekali ia bercerita tentang kau.” 

“Bercerita tentang beta?”

“Kau tahu, Papa Ora sebenarnya ragu padamu. Mungkin, karena kau wanita. Tapi, yang pasti, ia ingin kau menjadi lama fa, sesuai keinginanmu, bukan karena apa pun, termasuk bukan karena tradisi. Maka itu, Paman hanya ingin mencoba sekeras apa keinginanmu menjadi lama fa. Bila hanya dengan sikap Paman saja kau sudah mundur, kau memang tak pantas menjadi lama fa….”

Linda terdiam. Tak disangkanya, begitu dalam tujuan orang yang beberapa hari ini begitu dibencinya.

“Linda,” Marten tiba-tiba muncul, “oh, kau sedang sibuk rupanya. Kalau begitu biar nanti beta ke sini lagi.”

“Sudahlah, kau temani dia saja.” Paman Stevanus menepuk punggung Marten. “Paman rasa, ini waktunya untuk kalian berduaan. Sudah saatnya bagi Paman untuk pulang.”

“Paman Stevanus,” suara Linda menahan langkah Paman Stevanus, “terima kasih banyak….”

Stevanus Tanakofa hanya tersenyum.

Epilog
Lima tahun kemudian, masih di tempat yang sama….

Linda Bataona sedang mengasah tempuling-nya, ketika Anna Kora dan Yuli Samafa, tetangganya, menghampirinya.

“Wah, sibuk sekali kau pagi ini, Linda?” tegur Anna. “Bagaimana perburuan semalam? Kudengar, kau mendapatkan seekor koteklama?”

Linda tersenyum. “Kami bersama-sama menangkapnya. Bukan hanya beta!” Ia berusaha merendah. Padahal, cerita tentang sepak terjangnya di musim berburu tahun-tahun kemarin, masih terus dibicarakan orang-orang di Lamalera. Terutama, oleh anak-anak perempuan Lamalera, yang kerap mendengarkan cerita tentangnya dari ibu-ibu mereka.

“Linda!” Tiba-tiba Marten berteriak kencang, sambil berlari-lari ke arahnya. “Koda…,” suaranya terdengar di antara deru napasnya.

“Ada apa dengan Koda?” Linda meletakkan tempuling-nya.

“Ia menceburkan diri ke…,” Marten melirik ke arah Ana Kora dan Yuli Samafa, “ke tebing kita.”

“Tebing kita?” Sedetik setelah kalimatnya meluncur, Linda tertawa.

“Kenapa kau malah tertawa? Harusnya, kau panik. Koda kan masih kecil! Dan, dia… dia belum bisa berenang!” Marten benar-benar bingung, sama seperti Ana Kora dan Yuli Samafa, yang hanya memandang Linda dengan pandangan tak mengerti.

Linda masih tertawa, dipeluknya tubuh Marten yang penuh keringat. “Biarkan saja dia, Sayang! Kau tidak lupa kan bahwa dia keturunan Bataona? Dia akan bisa berenang dengan sendirinya….” Tamat


Penulis: Yudhi Herwibowo
Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber femina 2005



 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?