Fiction
Lama Fa [7]

14 May 2012


Malam itu jadi malam yang rumit bagi Linda Bataona. Semalaman ini ia mencoba berpikir. Kejadian beruntun yang menimpanya masih saja sulit untuk dimengerti! Siapa sebenarnya yang sudah membunuh Papa Ora? Apa alasannya? Lalu, siapa yang mengirim surat dengan batu itu? Apa hubungan Ikke Mabengke dengan Stevanus Tanakofa? Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul berulang-ulang. 


Dan, Ikke Mabengke yang diharapkan dapat memberikan sedikit informasi, ternyata hanya diam, tak bersuara.
Linda menghela napas panjang. Semua pertanyaan itu menggantung di benaknya. Namun, ia tetap menyadari bahwa kunci kejadian ini tetap Ikke Mabengke.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Linda pergi ke rumah Ikke Mabengke. Semalam ia dan Marten mengantar wanita ini pulang sehingga ia tahu persis alamat rumah wanita itu. 

Ikke, yang baru saja bangun, tampak begitu terkejut mendapati Linda sudah muncul di depan pintu rumahnya pagi-pagi sekali. Sedikit ada sinar ketakutan ketika ia melihat Linda.

“Nona Ikke, maaf, saya mengganggu. Tapi, ada satu pertanyaan yang semalaman terus beta pikirkan.”

“Tidak!” teriaknya, ia berusaha menghindar dengan menutup pintu. Tapi, Linda sudah lebih dahulu menahannya.

“Beta sama sekali tidak melakukan apa-apa!” teriaknya.

“Nona Ikke, kau tahu siapa beta, ‘kan?” Linda memegang tangan Ikke. “Kau tak usah menghindar lagi. Beta tahu kau mengenali beta! Beta Linda Bataona.” 

Linda menarik tubuh kecil Ikke agar dapat langsung bertatapan dengannya, “Anak tunggal Ora Bataona!”

Ikke Mabengke, yang sedari tadi meronta, mendadak terdiam. Tiba-tiba ia tersedu. Linda mengangkat kepala wanita itu. “Nona Ikke, tolong, jawab pertanyaan ini, apa benar kau sudah merayu Papa Ora?”

Ikke Mabengke menggeleng keras.

“Benarkah?”

Tak ada sahutan.

“Tolong, jawab, Nona Ikke, ini penting sekali untuk beta! Sungguh, apa pun jawabanmu, beta tak akan menyalahkanmu!”

Ikke terlihat berpikir sebentar. “Beta memang mencoba merayunya.” Suaranya akhirnya terdengar di antara sedu-sedan.

Linda bertanya pelan, “Kau berusaha membuat Papa Ora melanggar pantangannya?”

Ikke Mabengke mengangguk. “Tapi, beta tak berhasil.”

Jawaban pelan itu seperti sebuah es yang mengalir di hati Linda. “Kau yakin, Nona Ikke?” tanyanya, meyakinkan.
Ikke Mabengke mengangguk. “Beberapa kali beta merayunya, tapi beta tak berhasil.”

“Lalu, siapa yang menyuruhmu?”

Ikke Mabengke terdiam lagi, kali ini lebih lama. Sepertinya, ia berpikir keras sebelum mengatakannya. “Beta tak kenal dia! Tapi, namanya Stevanus Tanakofa.”

Ketika pulang ke rumahnya, Mamae Tipa sudah menunggunya.

“Ada apa, Mamae?” Agak heran Linda melihat ekspresi wanita di depannya itu.

“Kau sudah menemukannya?” Mamae Tipa mendekat.

Kening Linda berkerut. “Menemukan apa, Mamae?”

“Bukankah beberapa hari ini kau mencari wanita itu? Kau sudah menemukannya, ‘kan?” Ada sedikit getar di nada suara Mamae. 

Linda langsung mengerti ke arah mana pembicaraan Mamae Tipa. Ia segera mendekat. Dipeluknya Mamae Tipa erat-erat.

“Beta sudah menemukannya, Mamae,” ujarnya, pelan.

“Berarti,” suara Mamae Tipa begitu bergetar, “memang benar, ada wanita lain.”

Linda menggeleng. “Tidak, Mamae, Papa Ora tidak melakukannya.”

Lalu, tak ada suara lagi. Hanya, kedua mata Mamae Tipa kini tampak berkaca-kaca. Entah mengapa, hal ini membuat Linda merasa sedikit lega. Papa Ora memang tidak melanggar pantangan. Ia meninggal sebagai lama fa sejati.

Siang begitu terik di Lamalera, ketika Linda Bataona berlari memasuki rumah Fotu Atakei.

“Paman,” ia berteriak, “beta sudah tahu siapa yang berniat membunuh Papa Ora!”

Paman Fotu tampak terkejut. Ia, yang tengah menyantap makanannya, buru-buru menenggak minumannya. “Benarkah itu, Linda?”

“Benar, Paman!” Linda menyahut cepat. “Stevanus Tanakofa yang berniat melakukannya. Ia menyuruh seseorang untuk menggagalkan pantangan Papa Ora!”

Paman Fotu bangkit. ”Berengsek, ternyata memang Stevanus biang keladinya!” 

Paman Fotu mengambil parang yang biasanya disampirkan di dinding. “Biar sekarang Paman laporkan ke tetua adat. Paman yakin, Stevanus pasti sudah menyadari keadaan ini. Dia pasti akan membunuh saksi utama.”

Linda Bataona tertegun. “Saksi utama?”

“Ya, ia pasti akan membunuh Ikke Mabengke!”

Lalu, Paman Fotu segera beranjak keluar. “Kau pulang saja, Linda. Biar masalah ini Paman yang mengurus.”

Lalu, Paman Fotu berlari.

Sejenak Linda terdiam. Ia hanya berdiri mematung. Sepertinya, ia mencoba mengingat-ingat sesuatu. Bagaimana mungkin Paman Fotu bisa mengetahui nama Ikke Mabengke? Selama ini, bukankah ia belum pernah menceritakan kepadanya?

Linda berlari kembali ke rumah Ikke Mabengke. Sepertinya, ini adalah larinya yang tercepat. Sebuah karang sempat melukai kakinya tadi. Tapi, luka kecil itu tak dihiraukannya.

Baru setengah jam kemudian Linda tiba di rumah Ikke. Dan, ia sudah terlambat. Rumah Ikke Mabengke sudah porak-poranda. Pintunya terbuka dan barang-barang di dalamnya tampak sudah tercecer di sana-sini.

Seseorang jelas-jelas sudah mendahuluinya kemari.

Dengan lemas Linda pulang. Betapa terkejutnya Linda ketika Mamae Tipa sudah menyambutnya di depan pintu.

“Linda….”

“Ada apa, Mamae?”

Mamae Tipa tak menjawab. Matanya hanya memberi tanda, ada sesuatu di belakangnya.

Linda melangkah masuk. Ia makin terkejut ketika melihat Ikke Mabengke ada di ruangan itu.

“Ikke?” tanyanya, tak percaya. “Bagaimana kau ada di sini? Beta mencarimu seharian ini.”

“Orang besar itu yang membawa beta ke sini! Katanya, seseorang akan membunuh beta.”

“Orang besar?” Linda mengerutkan kening.

Namun, belum sempat ia berpikir, tiba-tiba pintu diketuk. Linda segera beranjak membukanya.

“Linda, Stevanus menghilang.” Paman Fotu sudah muncul di depan pintu. “Kau sebaiknya berhati-hati! Jangan pernah membiarkan ia mendekatimu. Kami akan segera mencarinya.“

Linda tak menyahut. Di belakang Paman Fotu, dilihatnya beberapa orang desa sudah siap dengan parangnya masing-masing.

“Tapi, Paman,” tanyanya tak mengerti, “mengapa sampai membawa begini banyak orang? Dan, untuk apa parang-parang itu?”

“Kami takut ia melawan, Linda. Kau tahu sendiri bagaimana tabiat Stevanus. Kalau ia sampai melawan, akan kami habisi dia!”

Tiba-tiba, dari belakang pundak Linda, Ikke muncul dengan langkah ragu.

Agak kaget Linda melihatnya. Tubuh wanita di sampingnya itu mendadak bergetar hebat. Ia menatap Paman Fotu dengan tajam.

“Dia….” Ia menunjuk ke wajah Paman Fotu dengan gemetar. “Dia Stevanus Tanakofa! Dia yang menyuruh beta menggagalkan pantangan Papa Ora.”

Linda terkejut. “Apa maksudmu, Ikke? Dia bukan Stevanus. Dia Fotu Atakei!”

Paman Fotu segera maju. “Jangan kalian dengarkan omongan pelacur ini! Dia dan Stevanus pasti sudah berencana untuk menyudutkan seseorang. Dan, beta-lah orang yang mereka pilih.”

“Tidak!” Ikke Mabengke berteriak. ”Beta yakin, dialah yang menyuruh beta merayu Papa Ora. Dia juga yang memberikan uang untuk beta.”

“Tapi, ia bukan Stevanus, Ikke!” Linda berusaha menyadarkan. ”Stevanus adalah orang yang menamparmu di Dosana.”

Ikke Mabengke terkesiap. “Bukan! Orang besar itu yang membawa beta ke sini dan menarik beta dari rumah, sebelum ia datang merusakkan isi rumah. Waktu itu kami berdua melihat semuanya dari balik pohon besar.”

“Omong kosong!” Paman Fotu berteriak. “Beta ke sana karena ingin menyelamatkanmu.”


                                                         cerita selanjutnya >>


Penulis: Yudhi Herwibowo
Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber femina 2005


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?