Fiction
Ketika Dayu Memilih Cinta [5]

25 Feb 2012

<<Cerita Sebelumnya

“Ya, sudah, kalau begitu. Ikan bakar tadi enak, Dayu?”

Belum sempat Dayu menjawab, Ida Bagus Suamba sudah meneruskan kata-katanya lagi. “Sudah pasti enak, ’kan? Itu memang kafe langganan Aji. Lain kali, kalau Dayu ingin makan di situ lagi, pakai saja kartu nama Aji, pasti akan dapat diskon,” kata Dagus Suamba, sambil menyerahkan kartu nama Dagus Mantra.

Dayu mengambil kartu nama Dagus Mantra dengan malas. Rasanya, tidak mungkin dia makan di situ lagi, pikirnya. Aji bukan tipe orang yang suka makan di luar. Lagi pula, mereka sekeluarga biasanya ke luar rumah hanya pada Manis Galungan (hari setelah Galungan) saja. Saat itu, mana ada kafe yang buka, kecuali warung makan Jawa, pikirnya.

“Atau, kapan-kapan Dagus yang ajak Dayu ke situ lagi, bagaiman? Besok Dagus ke griya Dayu lagi. Dagus ingin memberi sesuatu pada Dayu.”

Dayu mulai kesal. Kamarnya sudah penuh dengan boneka, frame foto, dan buket bunga dari Dagus. Seakan-akan Dagus hanya tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghargai orang adalah dengan memberikan barang-barang yang bagus.

Awalnya, Dayu memang senang karena Dagus Suamba romantis dan perhatian. Berbeda dari Dharma. Ia juga sempat merasa senang, karena berkat Dagus Suamba, ia jadi sering jalan-jalan. Ia dibawa ke tempat-tempat indah yang jarang sekali ia kunjungi. Tapi, lama-kelamaan ia merasa bahwa jiwanya tetap hampa.

Yang dapat mengisi kekosongan hati Dayu hanya Dharma, bukan Dagus Suamba. Ia sangat rindu pada Dharma kini.

“Dayu melamun?” Dagus Suamba menyadarkan lamunan Dayu.

Dayu menelan ludahnya.

“Ada yang ingin Dayu katakan pada Dagus.”

Dagus Suamba tersenyum. “Apa itu, Dayu? Bilang saja.”

“Dayu... Dayu...,” suara Dayu bergetar. Ia sangat gugup. “Dayu tidak mencintai Ida Bagus.”

Dagus Suamba tersentak.

Dayu mulai menangis. “Dayu hanya ingin bersikap jujur. Dayu sudah memiliki seseorang yang Dayu cintai.”

Dagus Suamba menampakkan wajah kesal.

“Lalu, kenapa Dayu memberi harapan pada Dagus?”

“Dayu pikir, Dayu bisa mencintai Dagus seiring berjalannya waktu. Tapi, ternyata tidak. Dayu tidak bisa.”

Dayu menundukkan kepalanya. Perasaannya bercampur aduk. Antara sedih dan bingung.

Dagus Suamba menjadi sedikit iba melihatnya. Ia memberikan saputangannya. Dayu menyeka air matanya.

“Sekarang apa yang Dayu inginkan?”

“Sebelumnya, Dayu minta maaf. Dayu ingin Dagus Suamba sendiri yang menolak perjodohan ini.”

“Tapi, Dayu tahu sendiri kan bahwa Dagus cinta sekali pada Dayu? Dagus tidak mungkin bisa berbohong pada Aji.”

“Dagus pasti bisa,” kata Dayu, ngotot. “Karena, Dagus mencintai Dayu. Dayu yakin bisa.”

Hati Dagus Suamba sakit. Ia mencintai Dayu. Selama beberapa hari jalan bersama Dayu, ia bertambah yakin dengan perasaannya.

“Akan Dagus coba,” katanya, dengan berat hati.

Setelah mengantar Dayu pulang, Dagus Suamba baru sadar bahwa dirinya tanpa sengaja telah berjanji pada Dayu. Sepanjang perjalanan, ia berpikir keras, mencari cara paling tepat untuk mengatakannya pada Aji.

Esok hari, sepulang Dayu dari kampus, Dagus Brama memanggil Dayu.

“Dayu, Aji lihat Dayu sudah mulai dekat dengan Dagus Suamba.”

Dayu terdiam, tak mampu menjawab.

Dagus Brama menarik napas berat. “Aji minta maaf. Barusan Aji mendapat telepon dari Dagus Mantra. Katanya, dengan berat hati Dagus Suamba menolak perjodohan ini.”

Dayu terkejut, tapi tersenyum dalam hati. Ia baru sadar, Dagus Suamba memang baik dan mencintai Dayu dengan tulus. Rasa bersalah kepada Dagus Suamba muncul lagi. Ia merasa telah memanfaatkan kebaikan hatinya itu. Namun, sesaat kemudian, dia bersorak dalam hati. Karena, inilah waktunya mengejar kembali cinta yang sempat menghilang.

Melihat anak gadisnya diam saja, Dagus Brama melanjutkan, “Tapi Aji harap, Dayu tidak marah pada Dagus Mantra, karena ia sendiri sudah meminta maaf pada Aji. Ia sendiri merasa tidak enak pada Aji. Ini gara-gara Dagus Suamba! Kata Dagus Mantra, anaknya itu tidak cocok bersanding dengan Dayu. Karena, ternyata selama ini hati Dagus Suamba bercabang dua, ia berkencan dengan wanita lain di belakang Dayu.”

Dayu terkejut. Dagus Suamba rela menjadi ‘kambing hitam’. Ia mengaku bersalah atas kesalahan yang sama sekali tidak ia perbuat. Sayang, Dayu tidak dapat mencintai Dagus Suamba, seperti Dayu mencintai Dharma. Dayu merasa siap sekarang. Dayu berjanji dalam hati akan mengatakan sejujurnya kepada Dagus Brama tentang hubungannya dengan Dharma.

“Aji, sebenarnya Dayu....”

Tapi, belum selesai Dayu berbicara, Ni Luh Sari muncul di antara mereka, menyela pembicaraan mereka.

“Dayu, kamu baru pulang dari kampus? Cuci muka dan ganti baju dulu, ya.” Ni Luh Sari mengajak Dayu masuk ke dalam kamar.

“Biang, Dayu hampir saja mengatakan semuanya pada Aji,” kata Dayu pada Ni Luh Sari, dengan nada kesal.

“Ada yang ingin Biang bicarakan pada Dayu.”

Dayu terdiam, baru kali ini ia melihat wajah Ni Luh Sari yang begitu serius. “Tanpa sepengetahuan Dayu, Biang menemui Tut Dharma.”

Dayu terkejut. “Apa yang Biang katakan padanya?!”

“Maaf Dayu, Biang pikir Dayu dan Dagus Suamba bisa hidup bahagia. Jadi, Biang menyuruh Tut Dharma menjauhi Dayu.”

Dayu terduduk di tempat tidurnya, lemas. Tetes demi tetes air mata membasahi pipinya.

“Biang, teganya....”

Dayu baru maklum, kenapa beberapa hari ini Dharma tidak bisa ditemui. Ternyata, Dharma memang sengaja menghindar darinya.

“Maafkan Biang, Dayu.”

Ni Luh Sari memeluk Dayu, air matanya ikut mengalir, merasakan kepedihan yang dirasakan anak semata wayangnya itu. “Tapi, Biang rasa belum terlambat. Biang lihat dari matanya, Biang sangat yakin bahwa ia sangat mencintai Dayu. Ia pasti mau menerima Dayu kembali.”


Cerita Selanjutnya>>

Penulis: Tang Annisa Inocentia Husna



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?