Fiction
Keinginan Sederhana [5]

23 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Aku meneruskan membaca novel Melia. Permadi sedang gelisah dengan masa depannya. Kondisinya sebagai homoseksual membuatnya ketakutan akan terus sendiri sampai tua dan mati. Rasanya, memang sangat menyedihkan, jika tak ada seorang pun di sisi kita, saat tua dan tak berdaya. Hidup yang sungguh sunyi. Dia ingin membuat satu keluarga, kecil saja, yang penting ada cinta yang kuat di dalamnya. Padahal, jangankan untuk membuat keluarga, untuk membuka rahasia hidupnya kepada keluarganya saja, dia tak punya cukup keberanian. Bukan takut akan dicampakkan, tapi lebih karena takut dipandang aneh dan dikasihani seumur hidup, takut membuat orang tuanya menderita sepanjang sisa hidupnya.

Tanpa membuat pengakuan pun, dia merasa sudah menggiring orang tuanya ke pintu neraka kelak. Pengakuan hanya akan menciptakan neraka di dunia bagi mereka, terlebih bagi ibunya, yang selama ini sangat membanggakannya. Cuma ada satu hal yang membuat dia merasa agak beruntung: dia dilahirkan bukan sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga. Berarti, tanpa dia pun, garis keturunan tidak menjadi garis putus di tengah jalan.

Permadi yang merasa merana dan tidak beruntung, membandingkan dirinya dengan makna namanya. Permadi adalah nama lain dari Arjuna, salah satu anggota Pandawa, tokoh pewayangan. Permadi, alias Arjuna asli, adalah tokoh sakti yang penuh keistimewaan, anugerah para dewata. Dia adalah jagoan yang lengkap, dalam artian dia sakti, bangsawan yang mempunyai kerajaan, berbudi luhur, dan berpenampilan fisik sempurna. Konon, begitu banyak wanita yang dengan suka hati disuntingnya dan rela pula dimadu.

Permadi yang manusia biasa; bukan tokoh pewayangan; merasa semua itu adalah sebuah perbandingan terbalik dengan dirinya. Dia hanya manusia biasa, dengan kemampuan biasa, dan satu lagi, dia tidak tertarik pada wanita. Ironis sekali. Padahal, orang tuanya memberikan nama itu tentu bukannya tanpa maksud. Mungkin, saat itu mereka lupa bahwa dalam pertunjukan wayang orang, tokoh Arjuna selalu diperankan oleh wanita. Karena, konon, di balik kesaktiannya, Arjuna adalah pria yang sangat lembut. Tutur katanya selalu kalem. Wajahnya pun tampan yang cantik, bukanlah tampan yang macho. Mungkin, ini sebenarnya adalah firasat.

Lalu, Permadi yang manusia biasa itu bertemu seorang wanita, Sekar namanya. Keduanya segera akrab. Ada sesuatu dalam diri wanita itu, yang membuatnya bisa begitu dekat. Mungkin, kesepian yang sama. Mungkin juga perasaan terdiskriminasikan, walaupun alasannya berbeda. Ibu Sekar adalah istri muda, yang dinikah siri oleh bapaknya yang seorang tokoh masyarakat. Status ibunya sebagai istri muda, wanita yang datang terlambat, membuat Sekar tidak pernah mendapatkan pengakuan dari keluarga bapaknya. Di mata keluarga besar bapaknya, Sekar dan ibunya hanyalah dua tamu yang tidak perlu disambut dengan ramah. Terlebih, sang bapak juga memberlakukan diskriminasi tersebut. Lengkap sudah, Sekar tak diharapkan.

Pada Sekar, Permadi pertama kali membuat pengakuan akan dirinya. Sikap simpati dan penerimaan tanpa syarat dari gadis itu, membuatnya merasa ada di rumah yang hangat. Dia betah ada di dalamnya. Dia menjadikan Sekar sebagai tempatnya untuk pulang. Rumah tempatnya membuka jati dirinya, seperti membuka seluruh pakaian yang dikenakannya hingga telanjang. Dia merasakan sesuatu yang jauh dari nafsu. Hanya hangat yang menyenangkan, membuat dia betah, dan selalu mencarinya.

Sedangkan Sekar merasa berarti, karena ada seseorang yang membutuhkannya. Seseorang yang sedikit banyak bergantung padanya, tanpa melihat siapa dirinya, hanya dia. Fakta bahwa Permadi memercayakan rahasia terbesar dalam hidupnya adalah sesuatu yang sungguh besar artinya bagi Sekar. Seumur hidupnya, belum pernah ada yang menghargainya seperti itu. Hidupnya jadi penuh dengan Permadi. Dia mulai membuat rencana besar: menjadikan Permadi normal dan membawanya ke dalam kehidupan yang wajar, tanpa perlu mengenakan topeng atau menyembunyikan, karena tidak akan ada lagi yang perlu ditutupi atau disembunyikan. Permadi akan menatap dunia, bersamanya.

Lalu, tiba-tiba muncul Frans, mahasiswa yang dikenal sewaktu iseng-iseng chatting di room chat tertentu, yang sudah lama ditinggalkannya sejak ada Sekar. Awalnya, Permadi menolak permintaan Frans untuk bertemu. Tapi, kemudian dia luluh dan menemui Frans di sebuah resto, dengan janji bahwa ini adalah pertemuan terakhir. Ternyata, dia salah. Dia seperti mengalami cinta pada pandangan pertama terhadap pemuda itu. Celakanya, Frans juga mengalami hal yang sama.

Cinta adalah sesuatu yang menyusup diam-diam, seperti udara bebas masuk ke dalam lubang hidung tanpa kita punya cukup daya untuk menyaringnya. Aku suka pada pemaknaan itu. Jadi, kesimpulannya, keduanya tersusupi cinta. Cuma, bedanya, yang satu bebas tanpa rasa bersalah dan menikmatinya sebagai cinta biasa yang indah, lainnya merasa berat karena dibebani rasa bersalah.

Permadi merasa telah berbuat salah terhadap Sekar. Dia merasa sebagai pembohong dan pengkhianat. Kenyataan bahwa sebenarnya tidak pernah ada kata yang keluar dari mulutnya tentang posisi Sekar untuknya, tidak cukup kuat untuk meringankan rasa salah itu. Ironisnya, dia juga tidak punya cukup kemampuan untuk menghindar dari Frans. Frans sungguh indah dan dia terkapar dalam cintanya.

Awalnya, setiap kali berkencan dengan Frans, Permadi merasa seperti seorang pria tengah baya yang mengencani daun muda, karena umur mereka berjarak delapan tahun. Juga merasa bersalah. Karena, menurutnya, dengan usia Frans yang semuda itu, seharusnya dia membantunya untuk keluar dari dunia itu, bukan malah mengencaninya. Seharusnya, Frans masih punya kesempatan. Tapi, pemuda itu sama dengan dirinya, yang terbentuk bukan karena lingkungan atau pergaulan yang salah. Mereka sama-sama terlahir seperti itu. Juga sama-sama tak kuasa. Mereka senasib, dan lebih parah lagi, mereka saling jatuh cinta. Dan, Permadi mulai pontang-panting untuk menyembunyikan Frans dari Sekar.

Membaca kisah Permadi dan Frans ini membuatku kagum pada Melia. Dia dapat begitu detail menuliskan bagaimana kedua anak manusia sesama jenis itu menjalin satu hubungan. Melia menggambarkannya dengan gamblang, sehingga pembaca awam sepertiku serasa mendapat pengetahuan baru tentang dunia yang selama ini dianggap gelap. Entah riset panjang macam apa yang dilakukan Melia sebelum menulis.

Melia sedang di teras menggendong bayi itu, ketika aku datang. Si kecil mungil itu menyedot dengan rakus sebotol susu yang disodorkan ibu angkatnya itu. Pipinya tampak ranum.

“Sudah berkenalan? Dia sudah punya nama sekarang.”

“Siapa?”

“Nailah Izah. Panggilannya Izah. Tapi, Mama malah sudah mulai menyebutnya Chacha. Nama sayang yang lucu, ’kan?” Senyum Melia lebar sekali.

Nama yang indah.

“Nailah artinya karunia, sedangkan Izah berarti mulia. Jadi, dia adalah karunia yang sungguh mulia. Bukankah anak memang benar karunia yang mulia bagi orang tuanya, walau hanya orang tua angkat sepertiku?” Dia mencium ubun-ubun bayi mungil, yang masih saja asyik dengan dot susunya itu. “Kau tahu, aku baru sekarang tahu betul rasanya jadi ibu. Dia membuatku begadang setiap hari. Mengganti popok dan membuat susu ternyata bukan pekerjaan enteng. Terlebih di malam hari. Cukup untuk membuat muka pucat dan mata cekung. Kau akan merasakannya juga nanti.” Dia menunjuk wajahnya.

Hatiku ngilu, teringat myom yang pernah tumbuh di rahimku.

“Kau beri susu apa?”

Melia menyebut satu jenis susu merek terkenal berkualitas tinggi. Ah... bayi yang beruntung. Ibu angkatnya ini benar-benar mencintainya dengan penuh, sehingga untuk susu pun dia memberikan yang terbaik.

Seorang wanita muda keluar. Wajahnya cantik polos dan kulitnya kuning sekali. Rambutnya lurus dan dikucir tinggi, sehingga tengkuknya pasti akan terlihat jelas andai saja dia berbalik. Dia tersenyum kikuk padaku. Di pundaknya tergantung tas kulit warna merah yang agak besar.

“Kenalkan, ini Fia. Fia, ini Rosida, teman SMA-ku dulu.”

Kujabat tangannya. “Dari Jakarta? Sedang berlibur?”

Fia mengangguk. “Ya, aku sudah dua hari menginap di sini dan sekarang mau pulang ke Jakarta lagi.”

“Dia fotografer, Ros, punya studio sendiri.”


Penulis: Ina B. Alasta


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?