Fiction
Hitam Merah Cinta [6]

22 May 2012

<< cerita sebelumnya

FIONA
Hidup di negeri orang, apalagi dengan visa turis, tidak seindah di negeri sendiri. Fiona benar-benar harus berjuang dari bawah, kembali ke titik nol. Ia mulai dengan menjadi waitress di coffee shop, staf housekeeping kontrak di hotel saat musim liburan datang, sampai menjadi pengantar brosur ke rumah-rumah. Ia, seorang sarjana, yang di Indonesia bisa bekerja kantoran di gedung tinggi, sekarang harus berjuang mengais dolar dari kerja yang dihitung per jam. Di Indonesia ia bisa naik-turun mobil, di sini ia berjalan kaki.

Tapi, Fiona tidak menyesal, ia merasa inilah saatnya mencari makna hidup, justru saat sedang sendiri, tanpa bahu siapa pun untuk disandarinya. Fiona tidak mengeluh. Ini adalah jalan pilihannya.

Hari ini cerah sekali, musim gugur sudah lewat, musim dingin baru saja mulai. Hari ini para pekerja mendapat gaji mingguannya. Biasanya, toko-toko buka lebih larut dari biasanya. Auckland tidak seperti Indonesia. Toko-toko biasa tutup paling lambat pukul tujuh malam. Tapi, sekali seminggu, pada hari Kamis, toko-toko akan buka hingga pukul sembilan malam. Akan banyak pengunjung memesan espresso panas, demi melawan hawa dingin malam. Fiona harus siap berdiri sepanjang hari.

Tempatnya bekerja terletak di Mission Bay yang menghadap ke laut. Warga Auckland biasa menghabiskan waktu di sini saat akhir minggu. Fiona suka melihat betapa sederhana dan damai kehidupan mereka. Fiona bahkan berpikir mungkin yang dimaksud surga dalam Injil adalah New Zealand. Di sini kehijauan rumput masih menutupi tanah, udaranya segar bersih dan airnya yang jernih, tingkat kejahatan hampir nol, susu dan madu berlimpah.

Fiona pernah berkencan dengan Raj, seorang warga India. Sayang, cerita romantis mereka tidak berlanjut karena Raj kemudian pindah ke Sydney. Ia juga pernah merajut kasih dengan Harten, pria Jerman yang bekerja sebagai penjaga di Dermaga Davenport. Namun, Harten meninggalkannya untuk seorang gadis Mexico. Ada lagi Manuel dari Filipina. Tapi, tak berlanjut karena Manuel pulang ke Filipina karena sudah lulus kuliah.

Fiona haus akan cinta. Hidup sendiri di negara asing, meskipun sudah ditekadinya kuat-kuat, tetap terasa sangat berat tanpa bahu tempat bersandar, dan Fiona terus mencari-cari kasih sayang sejati. Hari menunjukkan pukul enam sore. Sudah ada pengunjung memasuki coffee shop. Sebentar lagi coffee shop akan penuh dan Fiona tidak punya waktu, bahkan untuk menekuk kakinya sebentar.

“Hi, one espresso, please.”

Fiona melihat seorang pria berkulit gelap memandangnya. Kelihatannya orang Asia, mungkin Thailand atau Malaysia. Matanya besar dan dalam, perawakannya tinggi kurus, senyumnya simpatik sekali. Kaki Fiona sudah lemas dibuatnya. Beginilah kalau haus cinta. Aku mudah sekali takluk pada setiap pria yang kutemui, keluhnya dalam hati.

“Pakai gula?” kata Fiona, sambil berusaha memalingkan wajahnya.

“Tidak usah.”

Ketika Fiona meletakkan cangkir di hadapannya, pria itu bertanya, “Dari Asia? Jepang?”

“Indonesia, Jakarta.”

“Wah, sama, dong,” katanya, sambil tertawa.

Fiona kaget, lalu ikut tertawa. Tapi, Fiona harus meninggalkan pria itu sebelum tahu namanya. Pengunjung sudah ramai dan ia harus melayani semuanya. Tapi, alangkah terkejutnya Fiona, ketika coffee shop sudah tutup dan ia bersiap pulang, pria itu masih bersandar di dinding samping coffee shop.

“Saya Arie. Kamu tinggal di mana? Saya antar, ya?”

“Aku Fiona. Rumahku tidak jauh. Terima kasih.”

“Jangan begitu, aku kan perlu tahu rumahmu, kalau Sabtu aku main,” katanya, sambil nyengir. “Ngomong-ngomong, punya pacar?”

Fiona tersipu, pria ini menarik sekali. Mirip Dino.

“Tidak, tidak ada pacar.”

“Kalau begitu, aku boleh datang kan hari Sabtu ini, Sabtu minggu depan, Sabtu minggu depan lagi?” Arie memandangnya dengan sorot harap.

Fiona mengangguk resah. Belum pernah ia dibuat tersipu-sipu begini. Hari-hari sesudah itu, tiada kata kelabu di hati Fiona. Rasanya, pencarian dan kehausan jiwanya sudah terpuaskan.

SARAS
Saras tertidur lelap sekali, dadanya naik-turun dengan napas teratur. Om Denis memandanginya di sisi tempat tidur, lama sekali. Saras berhak mendapat yang lebih daripada Jan, karena ia wanita istimewa. Dari tahun ke tahun, Om Denis melihatnya tumbuh. Dari seorang gadis kecil yang lucu, beranjak menjadi remaja tomboy yang tidak menarik karena keranjingan olahraga, menjelma menjadi kupu-kupu kecil, dan kini wanita matang yang menawan.

Om Denis duduk di tepi ranjang, membelai anak rambut di dahi Saras. Menundukkan kepalanya, dan mencium bibirnya.

DARA
Dara punya kekasih. Sebuah kesalahan fatal yang dilakukannya karena terdorong hati kecilnya yang ingin memberontak. Pria itu putus sekolah, suka berkelahi dan minum. Dara tahu bahwa dia juga suka memakai obat. Pria itu, Tommy, sangat terobsesi padanya. Mereka dikenalkan pada sebuah pesta ulang tahun 21, oleh teman Dara yang juga teman Tommy. Semula Dara takut melihatnya. Tapi, di balik kekasarannya, Tommy juga bisa romantis. Sebuah kombinasi yang dirindukan Dara, pemberontakan dan kehangatan cinta.

Ibu Tommy langsung jatuh hati pada Dara. Apalagi, kemudian tingkah laku Tommy berubah menjadi lebih baik. Ibu Tommy berpikir, Dara membawa pengaruh positif buat putranya yang liar, sehingga ibunya ikut terobsesi ingin menjadikan Dara menantunya.

Siapa menyangka bahwa perubahan sikap Tommy itu hanya untuk menjerat hati Dara. Ketika mereka ribut besar, bahkan Tommy sempat menyakiti Dara secara fi sik, keesokan harinya Tommy datang meminta maaf, sambil membawa bunga, terkadang malah bersujud di kakinya.

Kelulusan adalah alasan paling tepat untuk menyudahi hubungan. Namun, Dara tak ingin mengatakannya secara langsung karena akan ada sujud lagi, bahkan derai air mata dari ibu Tommy. Dara mengirim surat putus dari kota asalnya.

Reaksi Tommy bisa diduga. Ia menelepon Dara di tempat kosnya, bahkan mengunjunginya ke kantornya. Dara tidak bersedia menemuinya. Namun, Dara tidak yakin Tommy akan menyerah begitu saja. Entah dengan cara apa ia harus menyampaikan padanya. Apa pun yang terjadi, ia tak akan pernah kembali. Perasaannya sudah lama mati dan tak mungkin tumbuh lagi.


Penullis : Dela Tan


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?