Fiction
Hitam Merah Cinta [5]

22 May 2012

<< cerita sebelumnya

FIONA
Usianya delapan belas, baru masuk Jurusan Sastra Inggris. Fiona sangat aktif dan suka berorganisasi, ia langsung bergabung di senat, kelompok drama, dan klub pencinta alam. Dino dikenalnya saat bersama naik gunung. Cinta mereka tumbuh karena kesamaan minat dan hobi.

Kedekatan mereka membahayakan. Tali pertunangan itu menyesatkan. Fiona kelimpungan saat mendapati dirinya hamil. Tak mungkin ia putus kuliah, dan menjadi ibu di usia semuda ini. Ia belum siap. Meskipun, ia merasa sudah sangat siap menjadi Nyonya Dino.

Ia mendatangi ayahnya dengan muka pucat pada suatu malam.

“Papi… Yona mau bicara.”

“Kenapa, Sayang? Mukamu pucat sekali, kemarilah.”

“Papi… Yona… Yona terlambat… terlambat mens bulan ini.”

Ayahnya mendongakkan kepala, tapi berusaha menghilangkan ekspresi terkejut di wajahnya. Itulah ayahnya, selalu tenang di segala situasi.

“Terlambat adalah hal biasa,” katanya. “Terlambat berapa hari?”

“Emm… dua minggu,” Fiona menundukkan kepala.

“Kalau begitu, besok kita ke dokter.”

Fiona positif hamil.

“Yona sudah dewasa. Papi serahkan keputusan pada Yona sendiri. Yona mau cuti kuliah sampai bayinya lahir? Atau, Yona memikirkan keputusan lain? Atau, Yona perlu bicara dulu dengan Dino?”

Fiona tahu ia harus bertindak cepat, sebelum semuanya terlambat. Usia kandungannya sudah tujuh minggu.

“Yona yakin? Tidak akan menyesal?” tanya ayahnya.

Fiona mengangguk mantap. “Papi jangan bilang siapa-siapa, jangan bilang Mami, Dino juga. Yona takut mereka marah.”

Ayahnya memeluknya. Fiona tahu ayahnya akan memegang rahasianya. Ayahnya adalah pahlawannya. Ia yang mengantar ke dokter untuk menggugurkan kandungannya, menungguinya, dan tidak meninggalkannya sedetik pun, ketika Fiona menangis semalaman.

Tetapi, torehan pisau operasi itu menjadi terasa dalam sekali, ketika di suatu malam Fiona dikejutkan oleh dering telepon, mengabarkan Dino hilang di gunung. Dua malam sebelumnya, setelah wisuda kelulusannya, Dino berangkat naik gunung, meskipun diramalkan ada badai dan kabut tebal. Katanya, ia harus merayakan kelulusannya dengan satu kali lagi naik gunung, sebelum waktunya dipenuhi dengan jadwal pekerjaan.

Mimpinya untuk bersanding dengan Dino di pelaminan, mimpinya untuk membuai Dino-Dino kecil di pelukannya, pupus sudah. Fiona tak henti menyesali diri. Mengapa aku tidak punya fi rasat bayiku akan jadi peninggalan ayahnya? Kenangan yang akan tertinggal selamanya, bukti cinta kami berdua?

Dino ditemukan tiga hari kemudian. Tubuhnya membengkak karena air. Fiona merasa ikut mati. Di surga nanti, Dino akan bertemu anaknya, akan menyalahkanku karena tidak memberi mereka kesempatan bertemu di dunia.

Berkat ayahnya, Fiona tegar. Ia tidak membiarkan dirinya melamun. Dalam pertemuan antar senat fakultas, di suatu siang Fiona bertemu sahabat barunya, Anita dan Saras dari fakultas psikologi.

DARA
Dara baru saja tiba dari sekolah, ketika telinganya mendengar ibu dan ayahnya saling beradu kata. Karena sudah terbiasa, ia berlalu, menyimpan tasnya di kamar dan mengurung diri di sana. Dara masih kelas dua SMP. Ayahnya sangat suka mengatur, hidup Dara sangat disetir. Sebagai seorang pria yang merasa tidak mampu menguasai istrinya, ayahnya beralih mengatur hidupnya. Ibunya besar kepala, merasa sebagai pencari nafkah keluarganya, selalu mengatakan tidak pernah mencintai ayah Dara.

Kadang-kadang, Dara ingin kedua orang tuanya bercerai saja. Mana cinta yang katanya dasar untuk membangun rumah tangga. Dara tidak habis mengerti.

Masa kecil Dara tidak indah. Tak ada ingatan menyenangkan. Hampir setiap hari, di atas pukul satu siang, ibunya sudah menghilang, bergabung dengan teman-temannya untuk berjudi. Ibunya menguasai segala permainan judi. Ayahnya sering mengamuk, bahkan pernah mendobrak tempat ibunya berjudi, membalikkan mejanya. Tapi, judi sudah menjadi darah daging ibunya.

Ayahnya sering menjanjikan hal, yang pada akhirnya hanya khayalan, karena tak bisa memenuhinya. Ketika SD, Dara dijanjikan mendapat sepeda, jika ia bisa juara kelas. Saat Dara meraih prestasi itu, ayahnya belum punya uang. Begitu juga tahun-tahun selanjutnya. Sepeda itu kemudian hanya menjadi bunga mimpinya.

Masuk SMP, ayahnya berkata, “Kalau Dara tetap berprestasi baik, Ayah akan menabung supaya Dara bisa kuliah di luar negeri.”

Tapi, tabungan ayahnya tidak pernah cukup membiayainya kuliah ke luar negeri. Dara jadi kebal pada janji-janji ayahnya. Ia terus belajar dengan baik, hanya karena tak mau terjebak dalam kemiskinan selamanya.

Suara keributan itu belum juga reda. Kehidupan keras membuat kepala Dara membatu, tapi hatinya sebenarnya lembek seperti agar. Dara merindukan kasih sayang yang tidak pernah dirasakannya. Dara pernah terbangun di tengah malam, melihat ayahnya tertidur letih di sofa. Dara menangis melihatnya. Ayahnya bukan tidak pernah berusaha, tapi apa mau dikata jika nasib belum berpihak padanya? Meskipun mengatur hidupnya, Dara tahu, ayahnya selalu menginginkan yang terbaik.

Ayahnya yang mengajarkannya untuk suka membaca, ayahnya pernah berkata, “Ayah tidak bisa memberi harta, maka Ayah akan berusaha memberi ilmu, supaya kamu punya modal untuk mencari harta sendiri.” Dara tidak pernah membenci ayahnya, meskipun tertekan karena harus selalu berusaha mematuhinya. Maka, ketika ayahnya menolak keinginannya masuk sekolah pariwisata dan menyuruhnya masuk SMA, Dara menurut. Bude -nya yang kaya bersedia membantu biaya sekolahnya di Bandung.

Dara berpikir, kelak ingin kuliah hukum pidana. Ia terobsesi memberantas perjudian, ingin memenjara teman berjudi ibunya.

ANITA
Anita melirik jam tangannya lagi. Ini sudah yang ketiga kalinya.

“Kamu ada janji lain, Nit?” Dara bertanya.

Anita tergagap. “Oh, Duncan sebentar lagi pulang, persediaan makanan di rumah sudah habis, di kulkas cuma tinggal telur.”

“Dia kan bisa belanja sendiri. Lagi pula, siapa yang memenuhi kebutuhannya saat dia belum bersamamu? Dia sendiri, bukan?”

“Ya, tapi aku yang biasanya bertugas belanja.”

“Oke, kita pulang,” kata Dara, tersenyum, padahal hatinya jengkel setengah mati. Dara tidak tahu, Anita harus pulang, karena tadi Anita minta izin Duncan untuk bertemu Dara hanya dua jam. Jika Duncan pulang dan Anita belum kembali, Duncan akan marah.

Ini tahun ketiga mereka bersama, masa bulan madu sudah lewat. Semua bermula pada suatu hari di tahun lalu. Waktu itu malam Natal, Duncan sedang menghadiri makan malam di rumah koleganya, seorang diri. Anita tak bisa hadir di acara resmi seperti itu. Hubungan mereka tidak terbuka untuk umum.

Anita sedang menunggu Duncan, sambil menonton acara televisi. Malam sepi sekali. Anita menaikkan kakinya sambil menarik selimut, ketika dering telepon memecah kesunyian. Anita mengangkatnya. Suara seorang wanita memasuki gendang telinganya.

Anita menutup telepon. Gemetaran. Melirik jam di dinding, dan melihat jarumnya menunjukkan pukul sebelas malam. Telepon berdering dua kali lagi sesudah itu. Anita hanya memandanginya.

Duncan pernah memberitahunya untuk tidak mengangkat telepon di atas pukul sepuluh malam, berjaga jika keluarganya dari London yang menelepon. Ia datang satu jam kemudian. Wajahnya kemerahan. Anita menduga ia terlalu banyak minum sampanye. Tapi, rupanya bukan.

“Kamu tadi angkat telepon?” Itu kata-kata pertamanya.

“Saya pikir itu kamu.”

“Bukankah saya sudah bilang jangan terima telepon di atas pukul sepuluh? Kalau saya bilang jangan, berarti selamanya jangan, sampai saya mengubah aturan. Kamu tidak mengerti perintah sederhana itu? Dasar bodoh.”

Anita kaget, tapi mengerti kemarahan Duncan. Anita berpikir, Duncan marah karena panik. Jika semuanya terbuka, Duncan harus kehilangan dirinya. Anita bahagia memikirkan itu, merasa sudah memenangkan hati Duncan.

Keesokan harinya, Duncan memberinya kado yang indah. Gelang emas berliontin malaikat-malaikat kecil. Malam itu mereka bercinta berkali-kali. Anita merasa dunia hanya miliknya.

Satu bulan kemudian, Anita menemukan hasil pemeriksaan kesehatan di file Duncan. Sebagai kepala personalia, semua data  karyawan akan masuk data banknya. Anita terpaku. Duncan baru melaksanakan pemeriksakan bebas AIDS. Mengapa harus memeriksakan  bebas AIDS jika tidak ada keluhan atau kecurigaan? Setahunya,  Duncan tidak pernah jadi donor darah, apalagi menggunakan obat terlarang. Jadi, satu-satunya kemungkinan….

“Saya lihat kamu periksa AIDS. Ada keluhan?” tanya Anita.

Duncan menoleh. “Kamu mengaduk-aduk file saya?”

“Saya kebetulan melihatnya. Saya khawatir. Jika kamu sakit, kita  bisa bicara, bukan?” Anita mencoba mendinginkan hatinya.

“Alasannya bukan itu. Pasti kamu curiga! Kamu tidak berhak  curiga! Hidup saya adalah milik saya sendiri. Seharusnya, kamu senang karena saya bersih. Berarti, kamu tidak perlu mempermasalahkan itu lagi.”

Dua hari kemudian, Duncan membawakannya vas kristal yang sudah lama diincarnya, lengkap dengan rangkaian bunga mawar superbesar yang hampir memenuhi ruang tidur mereka. Anita merasa hidupnya sudah lengkap.

Suatu pagi, Anita menyadari ia kehabisan pil. Duncan sangat tegas soal satu itu. Anita harus disiplin dan tidak boleh kebobolan. Ketika Anita bercerita padanya, Duncan marah besar.  “Saya sudah bilang, kamu harus hati-hati. Kebodohan sebesar itu yang akan menghancurkan hidup keluarga saya. Kamu harus tahu, saya tidak akan melepaskan keluarga saya. Saya tidak akan menceraikan istri saya, dan tidak akan kehilangan anak-anak saya.”

Seperti biasa, seminggu kemudian Duncan membawanya pesiar dan belanja di Singapura. Ketika berjalan di samping Duncan di sepanjang Orchard Road, Anita tidak menginginkan apa-apa lagi. Betapa sempurna dunianya.

Anita tidak sadar, itu suatu bentuk pelecehan mental. Malah, setiap kali Duncan mengecamnya, Anita merasa memang dirinyalah yang salah. Anita bersyukur karena Duncan selalu memaafkannya, mau menerima kekurangannya, bahkan membanjirinya dengan hadiah. Anita kian takut kehilangan Duncan.


Penullis : Dela Tan


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?