Fiction
Dua Takdir [4]

18 Apr 2013

<<< Cerita Sebelumnya

Ina B. Alasta

Bagian 4

Kisah Sebelumnya:
Setelah dua tahun bercerai, Gandhi kembali menghubungi mantan istrinya, Arika, dan mencoba memperbaiki hubungan mereka. Di tempat lain, Rarasati selalu merasa di bawah bayang-bayang kembarannya, seorang news anchor yang pintar dengan kecantikan sempurna, Larasati Prawira. Meski begitu, hanya kepada Rarasati, Larasati menyandarkan kepala ketika menghadapi badai dalam hidupnya. Demikian pula Gandhi, merasa hanya Arika yang membuatnya bahagia.

Arika & Gandhi
Dan sialnya pada hari H; hari Minggu yang kuputuskan; seluruh dunia seperti bersekongkol. Vicky memang tidak ada jadwal ke Surabaya. Tara katanya sedang sibuk dengan mertuanya yang datang berkunjung. Sedangkan Laila, entah kenapa kemarin mendadak memutuskan pulang ke Jakarta. Jadi cuma ada Darti yang sudah pasti akan menolak jika kuminta makan siang semeja denganku dan Gandhi. Tambahan lagi Gandhi muncul jauh lebih awal dari jam yang kuminta. Jam sembilan deru halus mobilnya sudah kudengar di depan. Tiga jam lebih awal. Dia muncul dengan kostum rumahannya: celana khaki selutut dan kaos oblong yang sudah melar kanan kiri.
    “Orang-orang kantor ada acara memancing di Pacet. Aku sudah bilang tidak ikut. Tapi seringkali mereka menjemput paksa. Jadi aku melarikan diri.”
    “Kau bisa pergi dengan mereka kalau kau mau. Kita tunda saja makan siangnya lain kali. Aku toh belum mulai memasak.”
    “Oh tidak, aku tidak mau. Seminggu penuh aku bersama mereka. Besok dan selanjutnya juga masih ketemu lagi di kantor. Jadi aku mau melakukan apa yang aku suka hari ini.” Dia mengacungkan kantong plastik putih di tangannya. “Lagipula dari kemarin aku sudah berencana membuat rujak manis untuk kita. Semuanya ada disini.”
    Aku ternganga. Dia berencana bersenang-senang di rumahku, melewatkan akhir pekannya.
    “Lagipula aku bisa mengantarmu jika kau belum berbelanja. Kau sudah berbelanja? Mau masak apa untukku?”
    Enteng sekali dia mengucap kata 'untukku'.
    “Cuma sayur asam dengan lauk pepes udang dan pepes bandeng. Ada bacem tahu tempe dan kerupuk udang. Cukup?”
    Matanya berkilau. Dia menjentikkan jarinya. “Great! Aku mau semuanya!”
    “Atau kau mau berganti menu dengan sop ikan? Ada kerapu di lemari es. Tapi aku tak punya apa-apa untuk padanan sop ikan.”
    “Tak perlu! Yang tadi sudah sempurna. Atau boleh juga kalau sop ikannya buat besok. Tak masalah bagiku untuk datang makan malam besok.” Senyumnya lebar sekali. “Ayo kita mulai memasak.” Dia mendahuluiku ke dapur, mulai mencari-cari cobek dan ulekannya untuk bumbu rujak manisnya. “Yik, asam jawa ada di mana?”
    Lalu cuma ada aku dan dia di dapur. Darti sudah menyingkir dari tadi tanpa kuminta. Gandhi meracik dan mengulek bumbu rujak manisnya sambil mengoceh macam-macam, bercerita ini itu. Aku tahu dia berusaha membuatku nyaman. Tapi aku telah terlanjur terlempar ke masa lalu. Memasak bersama dan saling mencicip adalah hal yang biasa kami lakukan. Dulu. Dan sekarang setengah mati aku menyembunyikan ngilu ketika dia mengulurkan sendok ke mulutku, meminta aku mencicipi bumbu rujak yang dibuatnya. Dan masih memberikan ngilu yang kedua dengan menolak memegang sendiri sendok yang kuulurkan. Dari sendok yang kupegang, dia mencicipi kuah sayurku. Persis sama seperti dulu, ketika kami saling menyuapi satu sama lain.
    “Enak! Ayo makan sekarang.” Dia membaui kukusan yang berisi pepes udang dan bandeng.
    Dan seperti dulu, dia menata meja, meletakkan dua piring di depan dua kursi yang bersebelahan. Lalu duduk sambil menggoyang-goyangkan kakinya, menungguku membawa semua makanan ke meja.
    “Aku lapar sekali.”
    “Kau tidak sarapan tadi pagi?”
    Dia menggeleng. “Aku jarang sarapan.”
    “Kenapa?”
    Dia tersenyum bergurau. “Aku kan anak kos sekarang, Yik.”
    Lalu dia makan lahap sekali.
    “Kau seperti orang jarang makan.”
    Dia terbahak. Mukanya agak bersemu merah. Tapi antusiasmenya menggerakkan sendok garpu tak berkurang.
    “Kau kan tahu aku paling cocok dengan masakanmu. Aku tidak bohong, Yik. Apapun yang kau buat rasanya pas di lidahku.”
    “Ehmmmmm...”
    “Ya. Tempo hari kepingin sekali makan sop buntut. Kata si Rudi, dia tahu penjual sop buntut paling enak di Surabaya. Tapi ternyata ya begitu-begitu saja. Masih jauh lebih enak buatanmu.”
    “Ehmmmmm... benarkah?”
    “Ya! Makanya sering-seringlah mengundangku makan. Kau tak akan pernah mendapat penolakan. Aku fans beratmu, Yik!”
    Mungkin ini pertama kalinya aku tertawa lepas dengannya.
    “Ayik, kau masih merasa tak nyaman denganku?”
    “Entahlah. Keadaan membuatku merasa canggung.”
    Dia mengangguk-angguk. “Tolong sedikit demi sedikit lepaskan semuanya. Seperti kau bilang dulu, kita tidak hidup di masa lalu. Kita bisa memperbaiki semuanya kalau kita mau.”
    “Maksudmu?”
    “Aku tahu kau tidak sangat membenciku, walau sangat marah. Kau bukan orang seperti itu. Jadi sebenarnya cuma perlu melepaskan semuanya, lalu jadi baik kembali. Aku yakin itu.”
    “Apa yang kau inginkan dariku, Gandhi?”
    Dia menaruh potongan buah di piring. Banyak bengkuang, sedikit nenas, banyak jambu air, dan sedikit mangga muda. Lalu bumbu di satu sisi, tidak dituang di atas tumpukan buah. Rujak  untukku. Dia masih ingat persis cara yang aku suka untuk sepiring rujak manis. Diulurkannya piring itu padaku.
    “Aku ingin kau bahagia, Yik. Lepas dari hal buruk yang telah kulakukan padamu. Aku ingin kau bahagia lagi, dengan atau tanpa aku.”
    Kupikir kalimat itu selesai disitu. Tapi ternyata belum.
    “Tapi jujur, aku ingin kau bahagia lagi denganku.”
     Lagi-lagi aku salah ketika berpikir kalimatnya selesai sampai di situ.
    “Aku ingin sekali, Ayik. Serius. Dua tahun bagiku tidak menghapus apa-apa tentang kita. Malah membuatku rindu pada begitu banyak hal. Dan bagiku itu jelas artinya.”
    “Gandhi, aku....”
    “Jangan kau jawab sekarang. Kan aku sudah bilang aku siap mengikis semuanya pelan-pelan. Aku sabar. Kau cuma perlu membiasakan diri dan pikirkan pelan-pelan. Jadi, masaklah sop ikan besok dan izinkan aku datang untuk makan malam. Selebihnya kita lihat saja nanti.”

****

Rarasati & Larasati
    Lalu kembarku datang lagi. 30 Desember 2006. Aku menjemputnya di bandara. Badannya sedikit lebih berisi. Dadanya juga lebih maju.
    “Bagaimana?” tanyaku dengan cemas.
Tangannya mengelus perut. Mestinya umurnya sebulan lebih sekarang.
    “Haris?”
    Dia melengos. Itu jawabannya untuk pertanyaanku. Jadi Arjuna itu masih menolak.
    Dia mengangkat bahunya. “Tidak siap. Bukan waktu yang tepat.”
    Lirih sekali suaranya. Mungkin sang Dewi Larasati mulai kehilangan respek pada Arjuna. Aku berharap dia mengangkat busur dan mengarahkan anak panah pada sang Arjuna.
    “Kau sudah mendesaknya?”
    “Sudah.”
    “Lalu, jawabannya apa?”
    “Ya itu tadi, tidak siap, bukan waktu yang tepat! Mungkin tahun depan paling cepat.”
    “Bagaimana kalau aku yang bicara padanya?”
    “Apa bedanya aku atau kau yang mendesaknya?”
    Dia benar, tidak ada bedanya. Justru seharusnya desakan dari Laras lebih mujarab daripada desakanku.
    “Lagipula aku tidak suka dinikahi dengan terpaksa. Aku ingin dinikahi dengan penuh cinta, Ra. Aku cinta sekali padanya.”
    Naif sekali dia. Atau kehamilan membuat wanita jadi lebih melankolis daripada logis?
    “Lalu apa rencanamu?”
    Endikan bahunya berarti tak tahu, berarti tidak ada rencana. Tak ada plan A, apalagi plan B.
    “Haris tahu kau di sini?”
    “Ya. Dia sedang di Manado. Senin nanti aku menemui dia di sana.”
    “Untuk apa?”
    “Kepingin lihat Bunaken.”
    Aku seperti dihantam palu godam karena jawaban itu. Kembarku benar-benar tak bisa lagi menggunakan lipatan-lipatan yang ada di otaknya.
    “Setelah kau lihat Bunaken terus mau apa?” gemas sekali aku padanya.
    “Ra, aku capek. Tiap hari kami bertengkar soal ini.”
    Kini dia meletakkan kepalanya di pangkuanku. “Kau tidak bilang ke Ibu Bapak soal ini kan, Ra?”
    Ahhhhhh... mengapa dia tak juga sadar bahwa masalah sebenarnya bukanlah itu. Masalahnya ada pada Arjuna itu. Dan perutnya yang akan terus menggunung.
    “Aku akan mengadu pada Bapak kalau kau tidak bisa memaksa Haris bertanggung jawab!”
    Dia diam lama, sampai pahaku kesemutan.
    “Ra, apa pendapatmu tentang aborsi?”
    Kudorong dia hingga bangun dan menghadapkan wajahnya padaku. Kutampar pipinya. Dia cuma diam, lalu air matanya mengalir turun satu-satu. Aku jadi menyesal.
    Malamnya kami berbaring berhadapan, saling menekuk lutut. Mungkin seperti inilah posisi kami ketika ada di perut ibu kami dulu.
    “Bagaimana rasanya hamil?”
    Dia menghela nafas. “Percaya atau tidak, sebenarnya aku mulai mencintai bayi ini. Karena itu sampai sekarang masih kutolak permintaan Haris untuk mengaborsinya.”
    “Bagaimana dia bisa berpikir soal aborsi? Kau bilang dia cinta sekali padamu. Kau bisa mati karena aborsi.”
    “Katanya ada dokter kenalan keluarganya yang bisa melakukan dengan aman dan bisa dipercaya pula.”
    “Dan kau mau?”
    Dia diam.
    “Bagaimana kalau kau lahirkan dia diam-diam dan kita besarkan diam-diam pula?”
    Tak ada jawaban.
    “Kita bisa sewa orang yang bisa merawatnya. Mungkin di sini, mungkin di Jakarta. Kita bisa mengunjunginya. Pasti dosanya akan lebih kecil daripada jika kita membunuhnya.”
    Dia tak menjawab walau seperti menyimak semua kalimatku. Lalu disentuhnya pipiku.
    “Ra, bagaimana kau bisa jadi seperti ini?”
    Aku tak mengerti.
    “Bagaimana kau bisa jadi begitu baik dan begitu lurus?”
    “Baik dan lurus?”
    Dia mengangguk. “Seandainya aku bisa sepertimu....“
    Tak tahukan dia, aku habiskan nyaris seumur hidupku untuk bisa menjadi sepertinya? Tak tahukah kau nyaris seumur hidupku aku cemburu terhadapmu?

****

Arika & Gandhi
    Sebuah buzz menggoyang monitorku. Gandhi. Aku lupa memasang mode invisible. Bersembunyi dari Gandhi adalah hobby yang sedang kutekuni sekarang. Merasa perlu membuat jeda. Dia membuat hidupku mulai 'hiruk-pikuk'. Aku takut dengan 'hiruk pikuk' itu. Juga tak cukup yakin.
    gandhi-hasan    : mengapa tiba-tiba ke Mataram?
    Aku tak mungkin memberikan jawaban sebenarnya.
    arikakusuma        : kebetulan ada yang memberikan voucher hotel, kebetulan dapat tiket murah, kebetulan belum pernah melihat Gili Trawangan, dan kebetulan Nurmala sedang cukup longgar untuk menjadi guide-ku.
    Gandhi memunculkan icon sedih.
    gandhi-hasan    : ehmm .... padahal aku sudah berencana menghabiskan malam tahun baru denganmu. Aku di Surabaya sekarang.
    arikakusuma        : kau tidak menerima SMS-ku? Aku mengirimkan pesan sebelum berangkat kemarin.
    gandhi-hasan    : iya, aku terima. Tapi aku juga sudah terlanjur pesan tiket Jakarta-Surabaya juga Surabaya-Manado. Aku harus ke Manado tanggal 1 Januari.
    arikakusuma        : maaf.
    gandhi-hasan    : adakah yang harus kucemburui di Mataram sana?
    arikakusuma        : tidak ada. Aku cuma menemui Nurmala.
    gandhi-hasan    : ada yang perlu aku khawatirkan?
    arikakusuma        : tidak ada. Aku cuma ingin libur sebentar.
    gandhi-hasan    : OK .... kau baik-baik saja?
    arikakusuma        : ya. Kau?
    gandhi-hasan    : agak sakit perut.
    arikakusuma        : kenapa? Sudah ke dokter?
    gandhi-hasan    : mungkin masuk angin. Mungkin juga karena kangen kau.
    Ada icon wajah dengan pipi semburat merah di belakang kalimat itu.
    gandhi-hasan    : jadi nanti malam kau ke Gili Trawangan?
    arikakusuma        : tidak, mungkin besok atau lusa, masih banyak waktu lain. Mungkin cuma ke ikut makan malam di rumah Nurmala.
    gandhi-hasan    : ehmm.... aku ada kado kecil untukmu. Ingin kuberikan sendiri sebenarnya. Tapi kau tak ada di sini. Besok kutitipkan ke Laila sebelum aku ke bandara.
    arikakusuma        : kado apa?
    gandhi-hasan    : lihat sendiri nanti waktu kau pulang. Kapan pulang?
    arikakusuma        : tanggal 5 nanti.
    gandhi-hasan    : Ayik, tolong jangan marah kalau kau tidak suka kadoku.
    arikakusuma        : ehmm.... OK. Terima kasih, Gandhi. Maaf aku tidak mempersiapkan kado apa-apa untukmu.

****

Rarasati & Larasati
    Tahun baru. Di hari pertama 2007 kuantar kembarku ke Juanda. Aku benci Arjuna itu dan aku tak suka dia pergi kepadanya. Tapi kembarku tetap ingin menemuinya. Cinta. Ah, cinta macam apa yang menolak buahnya? Arjuna itu bukan siapa-siapa lagi di mataku. Tak bernilai. Bahkan tak lagi kupandang lebih berbobot dibanding Yanuar. Ah bahkan seorang Yanuar yang jauh dari posisi putra mahkota telah memintaku memikirkan pernikahan dengannya. Dengan embel-embel ‘kalau bisa secepatnya’ pula. Dan aku adalah Rarasati yang sedang melambung.
    “Hei, jangan mau kalau dia tetap memintamu aborsi.”
    Kembarku yang layu cuma diam. Dia malah mengalihkan pandangannya ke arah laki-laki yang baru saja turun dari taksi. Laki-laki itu menyeret kopornya dengan tangan kanan memegangi perutnya.
    “Lihat laki-laki itu, Ra! Sepertinya dia kesakitan.”
    Aku juga melihatnya. Tapi bukan hal penting. Kualihkan mukanya hingga menghadapku.
    “Kau tak boleh mengaborsi bayimu!”
    “Ra ....”
    “Tidak, pokoknya tidak boleh! Kita akan urus dia sama-sama!”
    Dia menghela nafas panjang. Matanya kembali menatap laki-laki yang masih memegangi perutnya itu.
    Kembali kualihkan wajahnya padaku. “Berjanjilah, kau tidak akan melakukannya!”
    Dia merangkulku erat-erat, seakan berusaha menimpakan semua bebannya padaku.
    “Berjanjilah!”
    Dia mencium kedua belah pipiku.
    “Aku tak akan melakukannya, Ra.”
    Lalu dia pergi menyeret kopornya. Tak lama kemudian lambung pesawat menelannya. Tak terpikir olehku kalau itulah terakhir kali aku melihatnya.

****

Breaking News 1 Januari 2007
    Pesawat Boeing 737-400 itu lepas landas di Bandara Juanda pada pukul 12.55 WIB tanggal 1 Januari 2007. Dijadwalkan akan mendarat di Bandara Sam Ratulangi, Manado pada pukul 16.14 WITA. Namun pesawat tersebut hilang kontak dengan Pengatur Lalu Lintas Udara Bandara Hasanuddin, Makasar setelah kontak terakhir yang terjadi pada pukul 14.53. Pesawat yang mengangkut lebih dari sembilan puluh orang penumpang itu dinyatakan hilang.
*
Arika & Gandhi
Inilah pertama kalinya aku begitu lega melihatnya. Gandhi sedang tidur pulas. Ada selang infus di tangan kirinya. Nafasnya terdengar teratur. Wajahnya tenang. Laki-laki dengan wajah inilah yang dua tahun lalu menjungkirbalikkan hidupku. Kemarin dia nyaris melakukan hal yang sama, dengan cara yang berbeda. Kemarin bumi yang kupijak terasa seperti langsung ambles ketika berita pesawat hilang itu kudengar. Segalanya seakan tercerabut dariku dan tidak menyisakan apapun termasuk hatiku.
Dan entah berapa lama aku menangis dalam kondisi linglung. Duniaku baru pulih separuh ketika Laila memastikan bahwa Gandhi tidak jadi masuk ke lambung pesawat naas itu dengan menemukannya tergeletak di rumah sakit karena usus buntu yang nyaris pecah. Sekarang, kurasakan duniaku utuh kembali hanya dengan kelegaan melihat wajah pulas itu.
    Manusia memang bisa berubah. Tapi seringkali tak benar-benar berubah. Seperti juga perasaanku pada Gandhi. Sudah pernah berubah dulu. Tapi rasanya tidak pernah benar-benar berubah total. Ada inti yang mungkin tak terpengaruh oleh marah atau benci. Kemarin adalah pembuktian dari premis ini.
    “Ayik?”
    Kutatap mata laki-laki yang pernah begitu kucintai sekaligus pernah menorehkan sakit hati yang sampai detik ini pun tak dapat kulupakan. Aku teringat kepanikanku kemarin. Kepanikan yang munculnya begitu spontan dan membuktikan banyak hal.
    “Hei ... kapan kau sampai? Aku tidak mendengarmu.”
    “Sekitar setengah jam yang lalu. Tidurmu pulas sekali.”
    Dia mengangguk. “Kau pulang lebih cepat?”
    “Ya.”
    Dia menunjuk koper yang tak jauh dari kakiku. “Dari bandara langsung kemari?”
    Aku mengangguk. Kulihat ada sesuatu yang putih berkilat di jari tangannya.
    “Woww ..... aku tersanjung. Kau mengkhawatirkanku ya?” Senyumnya lebar.
    “Kau nyaris saja masuk ke pesawat yang hilang itu.”
    “Ya, nyaris saja. Untung perutku melakukan aksi penyelamatan, walau aku harus kesakitan dalam aksi itu.”
    Dengan tangan kanan dia menepuk perutnya. Ternyata benda yang berkilauan tadi adalah cincin polos.
    “Kau tahu, Yik, aku sempat bertemu dengan penyiar televisi itu di bandara.”
    “Penyiar televisi?”
    “Ya, Larasati Prawira, penyiar berita yang juga jadi penumpang itu. Dia sedang berbicara dengan seorang perempuan ketika aku turun dari taksi. Ternyata dia satu pesawat denganku. Dia juga yang meminta petugas mengantarku ke rumah sakit ketika aku kesakitan dan nyaris pingsan di ruang tunggu. Baik sekali dia. Berarti sebenarnya secara tidak sengaja dia menyelamatkanku ya? Kasihan dia tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri....”
    Aku tak sepenuhnya menyimak cerita itu. Pikiranku malah melayang ke kado Gandhi yang tadi kuminta Laila membukanya untukku. Sebuah cincin polos dari emas putih dengan nama Gandhi di sisi dalamnya.
    “Kau belum sempat membuka kadomu ya?”
    “Sudah, tadi pagi Laila kuminta membukanya.”
    “Lalu ....?”
    Entahlah.....
    “Mungkin terlalu cepat ya? Tapi sungguh aku tak merasa aman sampai kau mau memakainya. Tempo hari aku ingin menanyakan padamu perihal cincin pernikahan kita dulu. Tapi aku tak berani. Aku takut kau sudah membuangnya, Ayik.” Dia mengangkat telapak tangannya, menunjukkan tepat ke arahku. “Aku selalu menyimpan cincin ini, walau sempat melepaskannya dulu. Minggu lalu kuputuskan untuk memakainya kembali dan membeli pasangannya untukmu. Tolong simpan sampai kau mau mengenakannya lagi.”
    Cincin yang ada di jarinya memang cincin lama, aku mengenalinya.
    Kuraih koporku. Baru sekarang kurasakan badanku lelah sekali. Aku perlu pulang dan tidur.
    “Ayik, kau belum menjawabku.”
    Tak ada yang perlu dibantah atau diingkari. Jawaban hatiku sudah jelas.
    “Gandhi, lima tahun yang lalu kau berikan satu cincin untukku. Lalu sekarang kuterima satu lagi, juga darimu. Walau jari tanganku lengkap sepuluh tapi dua cincin sudah lebih dari cukup untukku. Tolong pastikan bahwa tidak akan pernah ada cincin ketiga!”
    “Ayik, kupastikan aku tidak akan sebebal itu.” Wajahnya berseri-seri. “Jadi ini berarti kau setuju?”
    “Ya, kecuali kau mau menarik kembali tawaranmu.” Kuseret koporku melewati ambang pintu.
    “Tentu tidak! Hei ...jangan pulang dulu! Kita belum menentukan tanggalnya.”
    Dia berusaha bangkit untuk mencegahku. Tapi aku terlanjur menutup pintu.
    “Ayikkkk.... aku mau kita menikah lagi besok!” teriaknya dari dalam. “Ayikkkkk...!!!!”
    Masih tertangkap oleh telingaku girang dalam suaranya.

****

Rarasati & Larasati
    Mungkin ini yang disebut antiklimaks. Minggu kedua. Ucapan bela sungkawa masih mengalir walau tak lagi ada karangan bunga. Televisi masih sesekali menayangkan fotomu. Ibu sudah berhenti menangis. Mungkin air matanya sudah kering terperas dari kemarin-kemarin. Bapak sudah tampak lebih mengumpul rohnya, walau kadang padangannya seperti sedang berada di tempat lain.
Dan aku? Hampa. Kosong yang aneh, juga tak enak. Separuhnya terasa seperti tak seimbang. Tapi tak terdefinisi dengan mudah.
    Arjunamu itu datang, Kembarku. Entah apa yang membuatnya menunggu hingga dua minggu. Tak tahu juga bagaimana dia menemukan rumah ini. Yang pasti tak ada yang mengenalinya. Dia sendiri bingung bagaimana harus mengenalkan diri kepada orang tua kita selain dengan menyebut nama.
    “Saya Haris. Saya teman dekat Laras.”
    Agaknya tak ada yang menangkap dengan sempurna maksud 'teman dekat' yang diucapkannya. Dalam kondisi normal 'teman dekat' merupakan titik awal untuk menuju seribu pertanyaan lain yang perlu jawaban detail. Tapi kondisi sudah tak normal. Jadi pernyataan itu pungkas begitu saja.
    Arjuna itu minta waktu bicara berdua denganku. Tak ada ruang yang cukup pribadi, jadi aku masuk ke mobilnya. Tapi tak segera keluar kata dari mulutnya. Sampai akhirnya,“Apa Laras cerita padamu?”
    “Cerita soal apa?”
    Dahinya berkerut tak percaya. “Soal... soal ...”
    Lalu diam lagi bermenit-menit. Jujur aku marah dengan Arjuna ini. Walau bukan dia penyebab kembarku pergi, tapi dia telah melakukan penolakan di detik terakhirnya.
    “Laras hamil. Tak ceritakah dia padamu?”
    “Ya.”
    “Kau cerita pada mereka?”
    Mereka. Bapak dan Ibu kita. Jangan bilang Ibu Bapak. Partner in crime. Itu yang dimintanya juga di detik terakhir.
    “Kami kadang-kadang menyimpan rahasia dari mereka.”
    Dia menatapku tanpa makna. Mungkin lega.
    “Dia juga cerita kau tak suka.” Aku sedang menghujamkan belati ke hatinya. “Dia juga cerita soal rencana aborsi itu. Bagaimana akalmu bisa berpikir seperti itu sementara Laras mencintaimu dengan seluruh hatinya ……”
    Kini dia mengeluh lirih, tak jelas.
    “Kenapa menolaknya? Tidak punya alasan lain selain sibuk dan tak siap?. Atau kau pikir Laras tak sepadan untukmu?!”
    “Bukan begitu! Ini cuma waktu yang tidak tepat. Demi Tuhan aku merasa tak siap! Tak siap! Tak siap bukan berarti tak cinta! Aku cuma butuh penangguhan waktu, tidak sekarang.....”
    Sekarang yang di depanku tak tampak lagi sebagai Arjuna yang dulu. Gestur tegap yang kulihat waktu keluar dari kamar kembarku dulu tak tampak lagi. Sekarang air mata meleleh-leleh di kedua belah pipinya. Mulutnya menceracaukan kalimat yang cuma kutangkap sepotong-sepotong karena banyak tertelan oleh sedannya. Seandainya. Entah berapa 'seandainya' keluar dari mulutnya sebelum kepala itu tertunduk di kemudi. Sedunya masih menjadi.
    Kembarku, apa yang lebih ditangisi oleh Arjuna itu? Hilangmu? Zigot kalian? Atau penolakan tak bermoral yang  sudah kadung terlontar hanya sesaat sebelum maut menjemput? Aku tak tahu dan tak cukup peduli untuk meredakannya.
    Lalu aku ikut menangis. Mulanya cuma air yang meleleh-leleh tanpa suara. Lalu mulai bersuara, bersedu-sedan mirip dengan Arjuna itu. Karena sekarang kutahu jawaban dari pertanyaanmu waktu itu.
    Kini aku tahu mengapa aku jadi begitu baik dan lurus, Kembarku. Karena aku adalah bayangan. Aku yang menjadikanmu subyekku dan aku pula yang menjadikanku sosok hitam dalam lakumu. Karena itu aku selalu awas dalam setiap gerikku, karena tak mau menjadi yang lebih buruk.
    Kembarku, kemarin-kemarin kukutuki kau karena adamulah yang mengecilkan adaku. Sehingga ketiadaamu semestinya membuatku lega. Ternyata aku keliru.... Kini kutangisi banyak hal, termasuk waktu yang tak pernah bisa diputar lagi seperti pergimu yang tak pernah kembali. Kembarku, betapa sekarang aku mengerti arti bersamamu, hal seumur hidupku seakan tak pernah kuingini.

(Tamat)




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?