Fiction
Dua Sisi [6]

4 May 2012


Andari bertanya-tanya, siapa di antara mereka yang menangis menyaksikan keruntuhan menara kembar di kota ini, siapa yang kehilangan sanak-saudara, siapa yang tidak peduli, siapa yang sempat menawarkan bantuan kepada paramedis yang bertugas, siapa yang ikut mendonorkan darah untuk para korban, dan siapa yang muak akan kekejian yang tak kunjung reda. 

Andari mengeluarkan telepon genggamnya dari dalam saku, masih tidak ada sinyal. Ia menyelipkannya kembali ke dalam saku, seraya berpegangan erat pada batangan besi di atas kepalanya. 

Menjelang pukul sebelas malam, Andari pamitan pada Aysha dan turun di pemberhentian di bilangan Brooklyn. Ia mampir ke sebuah toko serba ada di seberang apartemennya untuk membeli kartu telepon yang akan digunakannya untuk menelepon ke Jakarta. 

Kunal Patel, pria kebangsaan India, si empunya toko, menegur Andari dengan ramah. Mereka bercengkerama selama beberapa menit, sebelum Andari menyampaikan niatnya untuk membeli kartu telepon internasional.

“Mau mengabari pada orang tuamu bahwa kau baik-baik saja, ya?” tanya Kunal, sambil membungkuk untuk mengambil segepok kartu telepon yang biasa dibeli pelanggannya. Ia menyisihkan selembar kartu untuk Andari. “Beberapa hari ini saluran telepon sedang terganggu. Untung saja masih ada e-mail. Ngomong-ngomong, apa kau juga akan kabur dari sini? Istriku sempat minta pulang ke Jaipur kemarin. Tidak tahan dengan situasi perang katanya.” 

Kunal menggelengkan kepalanya, menyesali keputusan istrinya itu. “Menurutku, di mana pun kita tinggal, pasti ada saja perang yang timbul. Betul tidak?”

Andari tersenyum, tidak punya keinginan untuk berkomentar lebih jauh. Diambilnya kartu yang tergeletak di atas counter pembelian, dan diletakkannya di sana selembar uang bernilai lima dolar sebagai bayaran. Ia mengucapkan terima kasih pada si empunya toko, dan lekas memohon diri dari sana.

Di tengah jalan, melewati deretan toko lain yang sudah tutup, Andari mengamati telepon genggamnya lagi. Beberapa baris sinyal mulai terlihat di atas layar. Ia menggosok bagian kecil di belakang kartu telepon dengan ujung kuku untuk melihat nomor pin yang harus ia gunakan untuk menelepon ke luar negeri. Empat belas angka. Andari menekan setiap digit yang tertera di teleponnya, kemudian menekan serentetan digit lain yang dihafalnya luar kepala. 

Nada tunggu. Tidak ada jawaban.
Andari mematikan telepon genggamnya, sambil terus melangkah menuju kompleks apartemen yang ia tinggali. Sendi-sendi tubuhnya meronta.

“Hei,” tiba-tiba suara itu mengejutkannya. Andari menoleh ke belakang, mendapati Aysha sedang berdiri dengan dua tangan tersembunyi di balik badan. “Maaf kalau aku membuatmu terkejut.”

Andari melirik ke kiri dan kanan, kalau-kalau saja wanita muda itu tidak datang sendirian. “Kukira tadi kau langsung pulang,” celetuk Andari.

Aysha menggeleng, tersenyum simpul. “Aku ingin tahu di mana kau tinggal.” 

Andari menatap gedung apartemennya yang bertingkat tiga. “Di sini.”

Aysha menengadahkan kepalanya, menatap ke atap gedung. “Lumayan.”

Andari mengeluarkan sebuah kunci dari saku kemejanya, mendorongnya ke dalam lubang kunci. “Kau mau masuk?” 

Aysha mengangkat bahu. “Mungkin,” bisiknya. 

“Mungkin?”

“Kalau kau tidak keberatan,” lanjut Aysha. 

Andari mendorong pintu dengan telapak tangannya dan mempersilakan wanita muda itu masuk. Apartemennya berukuran studio, tidak terlalu besar, hanya cukup untuk ditempati oleh single occupant dengan satu kamar tidur, satu kamar mandi, dan sepetak kecil dapur yang tergabung dengan ruang tamu. Andari bahkan tidak mempunyai perabotan memadai. 

Di kamar tidurnya hanya ada sebuah ranjang dan meja tulis sederhana. Di dapurnya, sebuah kardus pindahan yang biasa ia gunakan sebagai tempat duduk. Di ruang tamunya, sebentuk kursi lipat dan selembar selimut sebagai alas berbaring. Tidak ada televisi, radio, atau media hiburan lainnya. Hanya seonggok buku, koran, dan laptop, yang kabelnya masih tercolok di dinding. Banyak barangnya yang masih tersimpan rapi di dalam kardus. 

“Minimalis, ya?” goda Aysha. 

Andari melepas jaket yang dikenakannya, lalu mengempasnya ke atas ranjang. Ia beranjak ke dapur, mengambil dua buah gelas yang digunakannya untuk menadah air ledeng. Salah satunya ditawarkan kepada Aysha. 

“Maaf, hanya ini yang aku punya,” tutur Andari, pipinya merona merah karena malu. “Aku belum sempat belanja.” 

Aysha meneguk air itu sampai habis, lalu meletakkan gelasnya ke dalam bak cuci piring. “Sudah berapa lama kau tinggal di sini?” ia bertanya.

“Oh, entahlah,” jawab Andari, menghitung bulan dan tahun di dalam kepala. “Sekitar dua tahun.”

“Dua tahun?” Aysha terbelalak. “Dan kau belum beli perabotan sama sekali?”

Andari terkekeh. “Biasanya aku sibuk bekerja sampai malam, lalu pulang untuk tidur. Aku selalu menunda untuk membeli perabotan, karena aku pikir bisa dilakukan besok, besok, dan besoknya lagi. Siapa yang tahu, ‘besok-besok’ itu berlangsung sampai dua tahun?” Andari tergelitik memikirkan kebiasaan buruknya. “Lagi pula, aku jarang ada di sini.”

“Bagaimana dengan pacar-pacarmu?” selidik Aysha, setengah bercanda. “Mereka tidak keberatan?”

“Oh, itu…,” Andari berusaha menjawab dengan lelucon, tapi tidak ada yang terlintas di kepalanya. “Entahlah. Kau sendiri bagaimana?”

Aysha menggedikkan pundaknya, seolah membiarkan topik itu berlalu. “Kau lapar?” tanya Aysha tiba-tiba, seraya membuka-buka kabinet di dapur Andari, mengecek bahan-bahan yang ada.

“Lapar juga, sih,” Andari mengangguk, menatap jam tangannya. Lewat tengah malam. “Mau pesan delivery?”

Sambil membelakangi Andari, Aysha menggeleng. “Tidak usah. Aku bisa menyiapkan sesuatu untukmu.”

“Jangan repot-repot,” tolak Andari dengan halus. 

“Setelah apa yang kulakukan padamu hari ini, setidaknya aku bisa memasak untukmu,” bantah Aysha, diiringi tawa renyah.

                                                                                          cerita selanjutnya >>


Penulis: Maggie Tiojakin


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?