Fiction
DENSEMINA [7]

15 Jun 2012


Harjoyo terkesima. Gadis itu adalah gambaran kebebasan sekaligus keluguan. Dinikmatinya sekali lagi kemudaan, keluguan, dan sikap apa adanya yang terpancar dari gadis muda itu. 


Sepertinya, saat pertama kali melihatnya, gadis itu terlihat dewasa betul. Waktu di hutan dulu, ia menebak umur gadis itu adalah enam belas atau tujuh belas tahun. Tapi, saat ini, melihatnya berenang dengan masih berpakaian lengkap dan mengisap daging siput dengan tawa yang begitu segar, membuat gadis itu terlihat sangat muda. Bahkan, dadanya tampak rata. Benar-benar belum tampak tonjolan-tonjolan berarti yang menunjukkan awal keremajaan seorang gadis. 

Harjoyo menoleh ke arah Albert, yang sedang mengarahkan kemudi perahunya menyamping. “Dense itu berapa umurnya?”

“Tiga belas. Oh, belum. Nanti Januari tahun depan baru tiga belas.”

Meski sudah memperkirakan sebelumnya, ia tetap kaget juga mendengar penjelasan Albert. Betapa mudanya gadis itu. 

Gadis itu kembali terjun ke air dan menghilang di kedalaman sana. Harjoyo terpana. Ke manakah gadis itu? Ditelusurinya permukaan air dengan matanya. Tapi, ia tak menemukan jejaknya. Muncul rasa cemas di dadanya. Jangan-jangan dia tenggelam di dasar laut sana.

Saat rasa cemas mulai memenuhi dadanya, tiba-tiba Dense muncul tepat di samping tiang di sisi selatan rumah mereka. Rupanya, ia kembali ke sana untuk mencabuti siput-siput yang menempel di sana. Dikumpulkannya sejumlah siput sebanyak yang bisa digenggam oleh tangannya. Setelah dirasakannya cukup, ia kembali berenang menuju beranda belakang dengan hanya menggunakan satu tangan.

Dense kembali berjongkok di beranda seperti tadi. Diperlihatkannya siput-siput mungil dalam genggaman tangannya kepada kakak laki-lakinya. 

“Kaka mau coba?”

Albert hanya melihat sekilas. Saat itu ia tengah sibuk menarik perahunya ke atas beranda belakang. “Ah, nanti saja.”

Setelah gagal menawari kakaknya, dengan malu-malu ia menyodorkan siput-siput dalam genggaman tangannya ke hadapan Harjoyo. 

“Kaka Yoyo mau coba?”

Pemuda itu serasa tersihir. Seolah tak percaya dengan penglihatannya. Sudah dua kali dalam satu minggu ini ia berada begitu dekat dengan gadis ini. Pertama, saat ia membantu gadis cilik ini menganyam keranjang. Ini kali yang kedua. Kesempatan yang langka.

Diamatinya gadis itu lebih cermat, seolah mengamati buangan solar dari Laut Kenjeran yang tengah ditelitinya di bawah mikroskop. Seluruh tubuh si gadis basah. Rambutnya juga basah. Tetes-tetes air mengalir dari ujung rambutnya yang keriting turun sampai ke pundaknya. Sementara setetes air yang lain mengalir turun melalui alisnya dan jatuh persis ke kelopak matanya. Dengan gerak refleks gadis itu mengerjapkan mata. Sehingga, bulu matanya yang panjang dan lentik itu menutup dan membuka dengan cepat. Sungguh pemandangan yang memesona.

Pemuda itu masih lelap dalam pesona sihir gadis muda di depannya, saat sekali lagi si gadis menyodorkan siput-siput di tangannya lebih dekat ke arah wajahnya. “Kaka..?”

Kesadaran pemuda itu kembali pulih. Dipandangnya Dense. Ia menangkap sorot mata lembut dari gadis muda yang belum lagi mencecap duka kehidupan. Sorot mata itu menawarkan kehangatan sekaligus rasa malu yang sangat, yang coba ia tahan.

Harjoyo cepat menurunkan matanya dan memusatkan perhatiannya pada siput-siput di tangan Dense. Uh, siput. Siput yang benar-benar hidup. Ingatannya melayang ke Surabaya, kota tempatnya menuntut ilmu. Sekali waktu ia dan Hendra, teman satu kampusnya, berkesempatan menikmati santap malam yang lezat di sebuah restoran Jepang. Waktu itu mereka hadir untuk merayakan ulang tahun salah satu paman Hendra yang memiliki sebuah showroom mobil mewah. Perayaan ulang tahun yang terbilang sederhana untuk orang sesukses itu. Karena, paman temannya hanya memesan tiga meja untuk santap malam keluarga besarnya.

Hidangan yang dipesan bermacam-macam. Hanya, ketika itu, sang paman memaksa keponakannya dan teman yang diajaknya untuk bertualang mencicipi hidangan yang begitu segar: sashimi. Oh, betapa girangnya saat sashimi itu datang. Tampak berbagai iris­an daging aneka warna tertata rapi di sebuah piring lonjong lengkap dengan hiasan dedaunan entah apa. 

Penataan yang eksotis. Penataan yang artistik. Penataan yang menggugah selera makan. Dengan antusias Harjoyo mengangkat sumpitnya dan menyorongkannya ke depan untuk mengambil seiris daging sashimi di piringnya. 

Tepat pada saat itu Hendra berbisik, “Har… itu daging mentah. Tidak apa-apa kalau kamu suka.”

Dor. Seperti ada peluru yang menghantam kepalanya. Daging mentah? Uh, perutnya terasa mual saat membayangkan daging-daging mentah itu menggelontor melewati kerongkongannya dan turun ke ususnya. Tidaklah. Masih banyak makanan Jepang lain yang enak di atas meja. Maka, dengan menyerah kalah disingkirkannya piring sashimi dari hadapannya, tanpa sekali pun menyentuh isinya. Meski, sebagai akibatnya, yang berulang tahun tertawa terbahak-bahak sebagai tanda kemenangan. Tawa itu seolah-olah berarti, betapa e­naknya mengalahkan anak sekolah yang sok intelek tapi kampungan.

Sementara kini? Sekali lagi daging mentah itu disodorkan di hadapannya. Bahkah, kini lengkap dengan cangkangnya. Apakah ia akan mengalami kekalahan untuk kedua kali? Diliriknya Dense sekali lagi. Senyumnya begitu segar. Sorot matanya yang hangat menawarkan ketulusan. Berbeda dari paman temannya di Jawa, yang suka mempermainkan orang, gadis di hadapannya ini hanya ingin menyajikan sesuatu yang dianggapnya pantas untuk disajikan.

“Enakkah?” Harjoyo coba mengulur-ulur waktu, sambil mencari akal untuk berkelit.

“Enak, tentu. Kaka mau coba?” 

Dense menyilangkan kakinya dan duduk bersila di hadapannya. Roknya yang basah mencetak celana dalam berwarna hitam yang tengah dikenakannya. Tapi, gadis ini tampak tidak peduli. Diletakkannya siput-siput di permukaan kayu di depannya. Melihat Dense duduk, Harjoyo ikut duduk pula.

Dense memperlihatkan seekor siput kecil ke hadapan Harjoyo. Ditunjukkan celah terbuka di ujung rumah siput yang berbentuk limas. Setelah itu, dibawanya siput itu ke mulutnya dan diisapnya daging lezat di dalam sana, melalui celah terbuka di ujungnya dengan sebuah isapan yang kuat. Sudah. Daging siput itu bahkan tidak sempat dikunyahnya. Sesaat kemudian, Dense tertawa-tawa, sambil memperlihatkan rumah siput yang isinya telah kosong.

Harjoyo, sekali lagi, terkesima. Beranikah ia? Kenapa tak dicoba. Dengan ragu, diambilnya seekor siput dan diangkatnya ke mulutnya. Tapi, gerakannya terhenti saat itu juga. Bau amis menyerang hidungnya. Perutnya mual. Pengalamannya dengan sashimi dulu muncul lagi, membuat rasa mualnya menjadi dua kali lebih hebat.

Sebelum jatuh pingsan akibat serangan amis, Harjoyo menyerah kalah. “Ah, Kaka tidak biasa makan ini.”

Dense mengerti. Dikembangkannya senyum manisnya sekali lagi, sebelum menyingkirkan siput-siput itu. 

Hari beranjak malam. Tapi, keduanya belum ingin pergi. Masih asyik membahas siput-siput yang berkembang biak dengan subur di tiang-tiang rumah panggung
 

                                                                                          cerita selanjutnya >>


Penulis: Nunuk Y. Kusmiana
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2007


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?