Fiction
Cundamanik [4]

9 May 2012

<<cerita sebelumnya

Pada detik seperti itulah, akhirnya Cunda menyerah. Ia akan meminta Prajna untuk mengambil anak-anak itu demi rahimnya yang telah terangkat. Yah! Ia akan berbagi hidup dengan anak-anak yang sama sekali belum dikenalnya.

“Menyesal sekali ia tak bisa menyaksikan pertemuan ini. Menyesal sekali ia tak sempat bertemu dengan wanita sebaik hati Anda, Nyonya Danuarta.”

Di Taman. Pertengahan musim semi
Pupus-pupus pepohonan menggeliat segar, penuh semangat menarikan tarian musim semi nan cerlang. Hamparan rumput hijau mengabarkan bisikan cinta dan sabda alam. Sangat kontras dengan pemandangan sesosok perempuan yang berada di bangku sudut taman.
 Perempuan itu duduk sendiri. Menatap air mancur di tengah taman. Wajah tirus, rambut kusut tergerai menyentuh pundak. Matahari musim semi menyinari sosoknya. Dari jauh Prajna sudah menduga, ia adalah perempuan yang dicarinya. Tetapi, ia sendiri saja, tak bersama anaknya. Ah… anakku juga, bisik hati Prajna.
Ia melangkah Sedikit ragu, lebih karena ia mempertanyakan kesiapan hatinya. Iakah Sekar yang dulu rekah segar seperti mawar lengkap dengan duri-durinya di bebukitan Lawu? Iakah Sekar yang dulu gesit seperti kelinci, tetapi misterius seperti gagak? Iakah Sekar yang didekapnya di bawah sinar purnama jingga malam itu? Ah….
“Selamat siang.” Perempuan itu menoleh. Matanya sayu, tetap sayu, meski ada sekilat binar. Ia bergeming seperti patung di tengah taman itu. Terpaku seperti batu Lawu.

“Prajna… kau….”
“Ya. Aku Prajna,” katanya, sambil membentangkan tangannya. Ia memeluk perempuan itu. Kurus, betapa kurusnya Sekar dirasai Prajna.
“Kau begini kecil, Sekar.”
“Aku tak percaya kau ini Prajna, kekasihku yang kutinggalkan dulu.”
“Kejamnya kau, Sekar. Telah membuat keluargamu bingung, aku bingung, kawan-kawanmu bingung. Apa yang kaupikirkan waktu itu?”

Berdua mereka renggangkan tautan tubuh di bawah tatapan burung-burung liar yang bertengger di dahan pepohonan.
“Aku nekat pergi karena diperintahkan ambisiku. Aku tahu, jika kukatakan padamu, kau akan menentangku.”
“Baru aku tahu kalau ternyata aku tak lebih berarti dari segala mimpimu, aku tak lebih besar dari segala ambisimu. Aku hanya Prajna, lelaki yang memujamu, mencintaimu, dan mengharap kebahagiaanmu.”
“Maafkan aku, Prajna.”
“Aku tahu kau memang perempuan keras. Tetapi, tak menduga senekat itu.”
“Dan aku belajar tak menyesali setiap keputusan yang kuambil itu. Karena aku telah mempertimbangkan semuanya. Siap tidak siap risiko harus kutanggung. Tetapi, ada yang sangat mengganggu pikiranku. Anakku.”
“Anakku juga.”
“Aku tahu, maafkan aku. Tetapi, aku punya dua anak, Prajna.”
“Oh…”

Sekar menatap Prajna. Ia tahu keraguannya sangat beralasan. Ia kini janda dengan dua anak. Tengah kebingungan bagaimana harus bertahan dalam kancah kehidupan yang makin hari makin terasa ganasnya.
“Berceritalah!”
“Samba, anakku yang pertama. Laki-laki pendiam, namun cerdas seperti ayahnya. Dan Irenne, anakku yang kedua. Lincah, periang, dan….”
“Artinya, anakku laki-laki?”

Sekar mengangguk.
“Di mana dia? Kau tak membawanya kepadaku?”
“Kau tak akan pernah melihatnya, jika kau tak bersedia berjanji untuk mengambil keduanya.”
“Astaga! Apa maksudmu?”
“Maafkan aku. Mereka dua bersaudara yang sangat rukun dan rasanya sulit dipisahkan, meski mereka lain ayah. Aku yakin, kesulitanku akan berlipat-lipat, jika kau akan mengambil yang pertama.”
“Kau telah bertindak tidak adil kepada anakmu dan aku.”
“Aku minta maaf. Dan firasatku mengatakan, umurku tak cukup panjang untuk bisa merawat mereka berdua.”
“Yah! Kau menderita sakit. Begitu ceritamu. Tetapi, apa yang kauderita?”
“Sudahlah, itu tak penting. Aku hanya membutuhkan orang tua yang bersedia  mengasuh dua anakku.”
“Kau tahu, aku tak mungkin memutuskan persoalan ini seorang diri. Tetapi, kau harus berobat. Aku akan tanggung biaya pengobatanmu.”

Sekar terperanjat. Lalu menggeleng cepat.
“Aku tak mau. Aku hanya butuh kepastianmu, apakah kau mau mengambil kedua anakku. Emm… boleh aku tahu, berapa anak kau miliki dari pernikahanmu?”
“Maaf, aku tak akan mengatakan itu.”
“Oh…,” hanya itu yang didesahkan Sekar. Ia tak menyangka akan jawaban Prajna. Kini ia mulai ragu sehingga selekasnya ia ingin menyudahi pertemuan itu.
“Baiklah, Prajna. Kurasa ini sudah cukup. Maafkan aku telah….”
“Duduklah kembali, Sekar,” pinta Prajna, sambil meraih tangan kurus perempuan itu. “Beri alamatmu, aku akan datang bersama istriku, meski belum tahu apa yang akan kami lakukan untuk anak-anakku.”
“Hanya satu anakmu!” tegas Sekar, dengan setengah suara.
“Bukankah anakmu pun harusnya anakku juga?”
“Semua sudah lalu, Prajna. Aku tinggal punya hari ini. Hari depan pun rasanya aku tak berhak mengangankan.”
“Beri alamatmu!”
“Tidak, kau hanya bisa menghubungiku di nomor ini. Dan kita akan mengadakan janji temu.”
“Kau masih sekeras dulu,” kata Prajna, sambil menerima kertas kecil bertuliskan nomor telepon yang rupanya sudah disiapkan Sekar.
“Nomor telepon sahabatku, tetanggaku. Dia tak akan keberatan.”

Prajna menatap perempuan di hadapannya. Hampir delapan tahun ia tak bertemu. Pada paras Sekar ia ingin membayangkan seperti apa putranya. Adakah ia mirip dengannya ataukah mirip perempuan keras itu?
“Berapa usia anakku?”
“Tujuh tahun, sudah sekolah. Ia pintar, sepertimu.” Senyum Sekar merekah sedikit payah. Tapi, Prajna tahu, pada senyum itu ada kebahagiaan. Dengan sendirinya, Prajna pun membalas senyum itu. Dan ia meraih tubuh Sekar sekali lagi.
“Terima kasih, kau telah merawatnya untukku.”
“Sekarang aku harus pergi. Sudah terlalu lama aku meninggalkan mereka. Kutitipkan pada tetangga sekaligus sahabatku itu.”

Prajna melepas tangan perempuan masa lalunya, dan terburu ia mengambil sesuatu di dalam saku jaketnya.
“Untuk anak-anakku,” katanya, menyodorkan amplop.
“Tidak, Prajna.”
“Ini hanya uang saku yang seharusnya diterima Samba dariku. Ini bukan untukmu. Aku tahu kau terlalu keras untuk menerima hal sepele seperti ini,” kata Prajna, melengos.
“Kau masih Prajna yang dulu juga,” kata Sekar lirih, sambil mengambil amplop dari tangan Prajna. “Terima kasih banyak,” katanya kemudian, dan berlalu.

Prajna menggigit bibir. Hanya seperti ini pertemuan yang ia nanti-nantikan? Yang ia bayangkan setiap hari dan setiap jelang tidur malam? Sekar terlalu liat untuk dicegah. Kalimat-kalimatnya dari dulu tak terbantah. Bahkan, untuk mengantar sampai di stasiun kereta pun, Sekar tak mengizinkan. Kini ia hanya memandangi punggung Sekar yang kerontang. Makin mengecil, mengecil, dan hilang di tikungan. Disembunyikan pepohonan dan gedung-gedung di dekat taman.

Prajna tepekur sendiri. Memikirkan apa yang akan ia katakan pada Cunda tentang pertemuan itu. Ia mulai ragu, adakah anak-anak itu adalah jawaban doa? Adakah itu jalinan karma terhadap dirinya yang menurut kata hatinya ia telah merebut Cunda dari kekasihnya semasa KKN dulu? Ia tahu ada seorang lelaki bernama Wisnu. Tetapi, di dunia, semua persaingan adalah wajar, bahkan harus. Dan Cunda adalah perempuan yang pantas ia perjuangkan. Dan barangkali memang karma. Karma dirinya karena ia telah merenggut sesuatu yang berharga milik Sekar pada malam itu. Ah….

***

Sesiap apa pun Cunda untuk menghadapi persoalan yang mereka sebut sebagai asap, nyatanya tetap membuat Cunda tumbang. Berhari-hari waktu terlewat hanya dengan melamun. Bagaimanapun juga, pemberitahuan Prajna tentang perempuan itu telah membuat hatinya terpukul. Dan, yang membuat ia tersungkur adalah ketika Prajna justru menyerahkan keputusan itu di tangannya. Bahkan, nomor telepon Sekar pun, telah diserahkan Prajna kepada Cunda.  

Seperti juga hari ini. Ia duduk di teras rumah menghadap jalan kecil. Kini ia akan menelan sepotong lagi roti persoalan yang disuguhkan Prajna baginya: anak-anak itu. Rasional dan emosionalnya teruji. Tengah berperang dalam kancah realitas. Jika rasionalnya berkata bahwa anak-anak itu tak ada hubungan darah dengan dirinya, maka untuk apa Cunda harus pusing memikirkannya, turut menanggung tindakan-tindakan masa lalu yang tak pernah ada campur tangannya.

Tetapi, ketika emosionalnya berkata, bahwa anak-anak itu tak pernah meminta untuk dilahirkan, dan anak-anak itu tak pernah diberi pilihan untuk memilih akan dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua seperti apa, maka hati Cunda luluh. Dan ia mulai menangisi rahimnya. Menangisi bayi-bayinya. Anak-anak yang sungguh ia kehendaki, tetapi tak bisa memenuhi kehendak itu. Bukan salah anak-anaknya, tetapi yang salah adalah tubuhnya. Kembali pikiran-pikiran itu memojokkan dirinya.

Pada detik seperti itulah, akhirnya Cunda menyerah. Ia akan meminta Prajna untuk mengambil anak-anak itu demi rahimnya yang telah terangkat. Demi anak-anaknya yang tak sempat tumbuh besar. Demi air susunya yang tak pernah menghidupi tubuh-tubuh mungil. Yah! Ia akan berbagi hidup dengan anak-anak yang sama sekali belum dikenalnya.

Ketika keputusan itu telah bulat, ia melangkah masuk ke dalam rumah. Menguatkan hati untuk menelepon seseorang. Seseorang yang telah mendesakkan kepenatan dalam dirinya. Enam hari telah lewat. Enam hari telah dihabiskannya untuk menimbang dan akhirnya kini terputuskan.

Berdebar Cunda memutar nomor telepon. Dan,
“Alow…,” suara di seberang sana. Logat Indonesia.
“Ibu Sekar, saya Cunda. Istrinya Prajna….”
“Oh, maaf Ibu, saya bukan Sekar. Saya kawannya. Bagaimana, apakah Anda berdua bersedia mengasuh anak-anak manis itu? Emm… maaf, karena persoalan ini telah diserahkan Sekar kepada saya.”
“Saya ingin bicara dengan Sekar.”
“Sebaiknya kita bicara langsung saja di taman tempat suami Anda bertemu dengan Sekar.”

Oh… ternyata kemarin mereka berbicara di taman. Sedikit gemas, namun tetap menahan kesabaran, Cunda mengatakan bahwa ia adalah ibu yang akan mengasuh anak-anak Sekar. Jadi, ia tetap minta izin untuk bicara dengan Sekar.
“Ibu, mohon maaf. Kita akan menyelesaikannya di taman itu dua hari dari  sekarang. Saya akan mengaturnya.”
“Baik, terima kasih.”

Sambungan terputus ketika belum sempat Cunda bertanya siapa nama perempuan tadi. Mengapa ia tak boleh bicara dengan Sekar? Apakah Sekar tak memiliki nyali untuk bicara dengan perempuan yang telah dengan sah memiliki laki-laki yang pernah atau bahkan masih dicintainya?

Pada sorenya, Cunda melaporkan semua dengan dingin dan sedikit tersinggung karena sambutan di telepon tadi.
“Terima kasih, Cintaku. Sudah kuduga kau akan mengambil keputusan itu. Kau lebih indah dari yang kusangka selama ini.”
Cunda tetap dingin.
“Sekar dalam kondisi sakit, Sayang. Siapa tahu ia memang tak diperkenankan bicara. Yang pasti, mari kita bersiap untuk menemui dia.”
Dua hari rasanya terlalu cepat. Ingin rasanya Cunda mengulur waktu ketika merasai hatinya masih membiru. Siapkah ia menerima kehadiran dua bocah yang akan ia sebut sebagai anak-anaknya? Sanggupkah ia menjadi ibu bagi anak-anak yang terlahir bukan dari rahimnya? Cunda membiarkan air matanya tumpah. Ia tahu, apa yang akan sanggup menghentikannya. Sang Cinta.
    
****
Di taman itu, delapan hari lalu, Prajna duduk bersama perempuan berwajah  tirus yang telah dipaksa untuk menandatangani kontrak hidupnya dengan suatu penyakit. Dan sekarang ia duduk bersama seorang perempuan anggun. Ratu yang telah mengambil keputusan, Cundamanik. Perempuan pelabuhan terakhir tempat Prajna bersauh.

Sudah hampir satu jam mereka menunggu. Berdua gelisah. Terlebih Cunda, ia tengah merancang bagaimana harus bersikap pada perempuan yang pernah atau masih mengisi hati suaminya. Pada anak-anak yang barangkali mulai satu jam ke depan sudah menjadi anak-anaknya. Tetapi, di mana mereka? Apakah mereka termasuk orang yang tak bisa menghargai waktu? Hati Cunda mulai dijalari rasa jengkel.

Cunda berdiri, ingin berjalan-jalan seorang diri. Tetapi, tiba-tiba terhenti. Ada seorang perempuan menuntun dua anak, berjalan menuju ke arahnya. Perempuan Indonesia. Satu anak lelaki Indonesia menggandeng anak perempuan berambut pirang. Dan pandang mata Cunda buram oleh air yang pelan mulai menggenang. Mereka melangkah pasti. Prajna mengerut kening. Siapa mereka?  

Cunda mencermati perempuan itu. Tak ada tanda-tanda sakit. Ia baik-baik saja. Tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa.
“Halo… benar Anda berdua suami-istri Prajna Danuarta?”
“Ya, benar. Siapa Anda?”
Sandiwara apa ini? Cunda bingung dengan pemandangan itu. Dua bocah itu terus menatap Cunda dan Prajna bergantian.
“Saya Aida, kawan Sekar. Saya mendapat amanat untuk mengantar anak-anak manis ini kepada keluarga Prajna Danuarta. Ah… perkenalkan. Dia yang ganteng ini, Samba, dan ini si cantik, Irenne. Ayo, dong, beri tangan kalian untuk….”
“Papa dan Mama,” sahut Cunda, cepat. Dan ia segera mengambil tangan dua bocah itu. Merunduk dan mencium kening keduanya. Cukup wangi. Ia telah mengambil alih dua bocah itu dari tangan Aida, lalu membawanya duduk sebelah bersebelah di bangku taman.
“Di mana Sekar?” tanya Prajna, tak sabar.
“Menyesal sekali ia tak bisa menyaksikan pertemuan ini. Menyesal sekali ia tak sempat bertemu dengan wanita sebaik Anda, Nyonya Danuarta. Sekar sudah meninggal dua hari setelah pertemuan itu,” jawab Aida, lebih seperti geraman. “Paru-parunya telah keropos. Mengalahkan tubuh dan kemauannya untuk hidup mendampingi anak-anaknya.”

Hening seketika. Prajna tergugu mengingat saat terakhir ia menatap perempuan yang pernah menjadikan hatinya sebagai tawanan. Menjadikan pikirannya seolah daerah jajahan.
Cunda menggigit bibir. Ia tak tahu, apakah sedih atau bersyukur karena ia tak sempat bertemu dengan perempuan Prajna di masa lalu. Dan dua bocah itu, mereka meluruhkan tangan di pangku. Menunggu orang-orang dewasa berbicara. Melihat itu, Cunda tersadar seketika.
“Sekarang aku mama kalian,” katanya, berjongkok di depan bangku, di hadapan anak-anak itu. “Mulai saat ini panggil aku Mama. Mama kalian sudah ada di surga. Bukankah menyenangkan punya banyak mama?” Tak ada jawaban.
“Dan dia papa kalian.”
Dua bocah itu menatap Prajna, ada senyum ragu.
“Kalian takut padaku?”

Dua bocah itu menggeleng dan turun dari bangku. Samba melingkarkan tangan memeluk Cunda dan Irenne bergelayut manja di lengan Prajna.
“Mereka sudah diberi tahu setiap hari, bahwa saat seperti ini akan tiba. Ketika mereka harus berpisah dari mamanya. Entahlah, bagaimana bisa Sekar begitu yakin kalian akan menerima anak-anak ini. Dan….”
“Terima kasih Anda telah menjaganya selama ini. Dan membawa mereka kemari. Bisakah Anda mengantar kami ke makamnya?”
“Tentu.”

Mereka melangkah. Berlima melangkah meninggalkan taman yang  makin ramai di akhir pekan. Prajna melirik Cunda, betapa ia  makin kagum pada Sang Ratu yang merajai hati dan cintanya. Dan ia membisikkan syair baginya:
 
   Kautempuh sepanjang jalan hidupmu
   Di atas ribuan jalanan
   Kau, Cundamanik, perempuan tercinta.

(Tamat)

Penulis: Indah Darmaningsih
Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber femina 2010



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?