Fiction
Cundamanik [3]

9 May 2012

<<cerita sebelumnya

Bagaimanapun, yang dikatakan Cunda benar. Ia telah menyuapi Cunda dengan sepotong roti persoalan yang tentu pahit dan menyakitkan.  

Ah, tetapi, andai saja Sekar tak pergi meninggalkan Prajna, barangkali ia tak akan pernah bertemu dan menikahi lelaki itu. Lelaki yang amat ia cintai.

Memang, tanpa diminta Prajna pun, sejak awal Cunda sudah berniat melupakan penelepon itu. Tetapi, ketika ia melihat ada perubahan pada Prajna yang mulai murung dan suka merenung, Cunda mulai bertanya-tanya. Sebisa mungkin ia menjauhkan prasangka yang hanya akan membuat dirinya tersiksa dan tidak bahagia. Ia tetap berusaha memercayai suaminya.
Lalu, pada suatu pagi, ketika Cunda sedang memberesi cucian, tiba-tiba ia mendengar pintu dibuka. Ia bergegas datang dan melongo. Baru sepuluh menit lalu suaminya berangkat mengajar, sekarang sudah berada di depannya.
“Kenapa kembali lagi, Prajna? Ada yang ketinggalan?”
“Teleponku.”
“Oh, tunggu saja di sini, biar aku ambilkan,” kata Cunda, berlalu. Dalam hati ia berkata, tumben dia bela-belain pulang untuk mengambil teleponnya, biasanya cuek saja.
“Danke, Cunda.”
“Hati-hati di jalan,” pesannya, sambil tersenyum. Tetapi, sepergi suaminya, ia mulai menangkap gelagat, ada yang disembunyikan Prajna darinya. Kecurigaan Cunda makin menjadi ketika hari itu ia membereskan ruang kerja suaminya. Lukisan wanita berkebaya itu masih di tempat semula dan Cunda tak mempersoalkannya. Tetapi, ketika di atas tumpukan buku ia melihat gulungan lukisan lain dan ia membukanya, kening Cunda mengerut. Matanya langsung tertuju pada nama pelukis: Sekar. Ada tulisan tangan Prajna pada kertas kecil yang tertempel di kanvas di balik lukisan itu. Kesepian. Rupanya, Prajna sudah memberi judul sendiri lukisan ini, pikir Cunda.

Cunda tak diberi tahu tentang lukisan itu dan ketika ia begitu lama memandangi, menyelam dalam goresan cat itu, ia akan mengusulkan kepada Prajna bahwa lukisan itu pantas diberi judul Kematian. Warna gelap melingkar membuat pusaran-pusaran. Seperti gelap hati dan pusaran perasaan pedihnya ketika ia mengingat anak-anak yang belum sempat ia lahirkan. Kematian. Mengapa ia ingin mengganti judul Kesepian dengan Kematian? Apakah ini pun pertanda kematian dirinya? Pikiran Cunda mengusik.

Dari tiga lukisan Sekar yang dibeli Prajna, Cunda melihat lukisan itu yang paling buruk, tetapi justru lukisan itu yang sanggup menahannya, untuk merenung dan ia teringat tentang kematian. Hati Cunda mulai gelisah. Prajna tak menunjukkan padanya kalau ia membeli lagi lukisan karya Sekar. Apakah itu merupakan firasat kematian untuk dirinya? Batin Cunda terus gemuruh. Hatinya berkata: Sekar adalah wanita istimewa bagi suaminya. Sekali lagi ia memandangi lukisan dan ingatannya terus beralih sebentar pada telepon Prajna yang tadi tertinggal, wanita Indonesia yang meneleponnya tempo hari, dan lukisan itu. Tiba-tiba saja Cunda merasa seperti menemukan benang merah. Lalu, hatinya menjadi gelisah.  

Cunda tetap berusaha menggunakan akal sehat. Tetapi, firasatnya mengatakan, ia harus bersiap-siap menghadapi sebuah persoalan tak biasa. Tapi apa? Hanya satu kemungkinan yang melintas di benaknya: suaminya berselingkuh.

Tiba-tiba saja Cunda menuding rahimnya yang menjadi biang keladi semua persoalan ini. Kini ia gugup. Gugup menghadapi dirinya sendiri, antara ketabahan dan kengerian. Antara cinta dan kebencian. Belum tahu apa yang harus ia tanyakan nanti sore pada Prajna tentang lukisan Kesepian-Kematian.

Selekasnya Cunda pergi dari ruang kerja suaminya. Ia menekan diri untuk tidak mencari-cari jejak kemungkinan perselingkuhan suaminya. Ia ngeri jika ternyata harus menemui tanda dan hatinya akan menjadi remuk. Ia lebih memilih membicarakan langsung kepada Prajna tentang apa yang dipikirkannya. Dan sepanjang sisa hari itu, Cunda memilih menenggelamkan diri dalam buku-buku dan komputernya.

*****
Sial bagi Cunda, karena pada sorenya Prajna kembali terlambat pulang tanpa meneleponnya. Cunda gagal menahan kemarahan tatkala ia menghubungi Prajna, tidak juga diangkat. Ia tahu, dirinya telah kalah. Pertahanannya runtuh sudah. Tangisnya pecah, air mata tak tercegah. Dalam bayangannya Prajna sedang berada di sebuah ruang entah di mana, atau sedang berjalan-jalan, atau… banyak atau-atau yang lain mulai merasuk meracuni pikiran Cunda. Tangisnya makin tak terbendung hingga Prajna muncul membuka pintu kamarnya.

“Kau sakit, Cunda?”                                          
 Ia bungkam. Dan langsung membalikkan badan, menenggelamkan wajahnya dalam bantal. Dari punggung yang terguncang-guncang, Prajna tahu Cunda menangis. Ia datang mendekat, dan menyentuh punggung dan mengusap rambutnya.
“Maaf, aku terlambat pulang tanpa memberi tahumu.” Tak ada jawaban. Prajna bangkit berdiri dan meninggalkan Cunda. Ia mengganti baju, mengambil air dan kembali masuk ke kamar. Cunda masih seperti ketika ia tinggalkan.
“Minumlah, Cunda. Ayolah bangun!”

Ingin sekali Cunda menumpahkan kemarahan, tetapi marah pada sesuatu yang belum jelas adalah tindakan bodoh. Tetapi, untuk mencoba tenang dan wajar, rasanya tak sanggup. Sehingga, ia hanya membalikkan badan dan diam memandang Prajna.
“Jika melihat matamu begitu bengkak, sepertinya kau terlalu lama menangis. Kenapa?”
Semua sudah telanjur menjadi persoalan. Cunda harus menyelesaikannya.
“Ada yang kau sembunyikan dariku, Prajna. Firasatku berkata begitu.”
Prajna mendesah, tidak menolak, juga tak mengiyakan. Ia diam menatap Cunda begitu lama.
“Maaf, apakah kau sedang terlibat perselingkuhan?” tanya Cunda, tanpa basa-basi, tanpa tedeng aling-aling.

Prajna menggeleng. Cunda kaget karenanya. Ada rasa bersalah menjalari hati tatkala telah dengan sembrono menuduh suaminya selingkuh.
“Ya sudah, selesai perkara!” ucap Cunda, tanpa rasa puas, sambil memiringkan tubuh.      
 “Hanya saja…,” suara Prajna ragu-ragu. Cunda kembali telentang menatap Prajna. Mereka bersitatap. Ada keraguan terungkap.
“Aku ingin tahu, mengapa kau curiga aku telah mendua?”
“Barangkali aku terlalu kekanak-kanakan. Atau terlalu mendengar firasat. Setelah perempuan
Indonesia itu menelepon dan mengaku kawanmu, kau mulai aneh. Kau bela-belain mengambil teleponmu yang tertinggal, itu tak biasa kau lakukan, ‘kan? Dan hari ini, ada gulungan lukisan yang tanpa meminta pertimbangan padaku, kau memberi judul Kesepian. Ini yang menyesakkan. Apakah itu artinya kau kesepian sekarang ini? Dan ketahuilah, aku ingin mengganti judul itu dengan Kematian. Apakah kau akan memberikan kesepian untukku yang tentu akan segera menuju kepada kematian? Kematian yang sebenar-benarnya?”
“Tentu saja tidak, Cunda! Aku masih Prajna yang kemarin dan dulu. Aku tak kesepian, dan tak akan dengan sengaja kuberi kau kematian.”   
“Kalau begitu apa?”
“Entah bagaimana jadiku tanpa dirimu, Cunda.”      
“Apa maksudmu?”
“Aku memohon pengertianmu. Sejak awal aku tahu, tak mungkin aku sanggup sembunyikan semua ini darimu.”
“Jadi?”
“Kau benar. Ada hubungan penelepon itu dengan dua lukisan yang kutunjukkan padamu, ditambah satu lukisan lagi yang kautemukan sendiri. Penelepon itu memang… Sekar..”
Hati Cunda mencelos. Tetapi, ia terus mengekang diri untuk tidak membabi-buta. Hanya, ia tak menyangka, prahara ini akan datang ke dalam bahtera rumah tangganya tepat pada saat ia telah sanggup menerima cacat sebagai perempuan. Tak bisa melahirkan. Tak bisa memberi keturunan. Sekarang Cunda ragu-ragu. Haruskah ia menyerah dan melepas Prajna?   
Tiba-tiba dingin dan ngelangut mencekam hati dan jiwa Cunda. Ia merasa kalah.
“Aku mengenal dan bersama-sama dengan dia jauh-jauh sebelum aku mengenalmu, Cunda. Ia perempuan pertamaku.”
Cunda memandang sayu pada suaminya.
“Dan anak yang ada dalam gendongan pada lukisan itu anakmu?” tuduh Cunda, tanpa menimbang rasa suaminya juga perasaannya sendiri.
“Entahlah.”
“Entahlah?!!” Cunda meradang. Sontak ia bangun dari rebahnya. “Artinya kalian memang pernah dengan sengaja mengadakannya!” Prajna membuang pandang, ingatannya melayang pada gubuk dengan purnama di atasnya.

“Ah, mengapa aku begitu lambat menginsyafimu, Prajna!” Cunda mengeluh kecil. Lalu menjatuhkan kepala di atas kedua lututnya yang tertekuk.

“Semua sudah lampau.  Api itu sudah padam. Kini aku hanya melihat asap yang tersisa. Dan aku butuh kamu untuk menemaniku. Maka, temani aku untuk menghadapinya, Cunda!”

“Siapa perempuan itu?”
“Perempuan Solo, sepertimu. Kekasih semasa kuliah dulu. Dia di ISI Yogya mengambil seni rupa. Dan memiliki mimpi bisa ke Paris, ke Louvre melihat mahakarya Leonardo da Vinci. Ternyata, ia nekat pergi meninggalkan Indonesia tanpa sepengetahuanku untuk mengejar mimpi itu. Ia pergi kepada kenalannya, seorang wartawan di Perancis. Lalu ia berada dalam kesulitan hidup di negeri asing itu, ketika lelaki Prancis yang akhirnya dinikahinya, tewas saat meliput konflik di Jalur Gaza. Saat panik itulah ia menciptakan lukisan Mencari Hingga Ujung Dunia. Dan, ia pergi ke sini, ke Jerman.”
“Menyusulmu?”
“Tidak! Ia tak tahu aku ada di sini. Jadi, kebetulan saja.”
“Kapan kalian bertemu dan saling cerita tentang kisah kalian?” Cunda mencecar dengan pertanyaan, seperti polisi menangkap pencuri.
“Kami belum pernah bertemu. Dia meneleponku. Bahkan, aku tak diberi tahu di mana ia tinggal dan berapa nomor yang bisa kuhubungi. Ia selalu menelepon dengan telepon umum.”
“Kebohongan apa yang kau katakan, Prajna? Coba kau cari kalimat bohong yang lebih cerdas!
Apakah kau pikir aku sudah terlalu tolol untuk kaukelabuhi? Bagaimana mungkin kalian belum pernah bertemu, dari mana perempuan itu mendapatkan nomor teleponmu?”
“Dari penjual lukisan itu. Dan kuharap kau percaya bahwa aku belum pernah bertemu dia, meski hanya sekali.”
“Sekarang aku tahu, berada di mana jika kau terlambat pulang.”
“Yah! Aku memang pergi ke lapak si Spanyol penjual lukisan itu di Stuttgart. Aku berusaha mencari informasi tentangnya. Dan kurasa, minggu depan aku akan ke sana lagi. Kuharap kau tak keberatan. Syukur-syukur kau mau menemani.”  
“Aku belum bisa memutuskan apakah aku akan menemani atau tidak.” Suara Cunda berubah ketus.     
“Sekar tidak mendapatkan uang bantuan sosial dari pemerintah karena ia bukan warga negara Jerman. Ia pendatang. Dan saat ini aku menduga ia kesulit….”
“Kesulitan hidup!” potong Cunda segera. “Lalu kau akan membawa perempuan itu ke sini? Ke rumah ini?” Cunda naik pitam. Emosinya lepas kendali. Ingin sekali ia memuntahkan segala kemarahan, tetapi urung ketika mengingat tubuh  keperempuanannya tak mendukung. Ia telah kehilangan rahim. Dalam kondisi seperti itu, Cunda memaksakan diri belajar untuk tidak menjadi egois. Maka, dalam kemurungan ia berkata:
“Terserah kau, Prajna. Jika memang kau akan mengambil perempuan itu, silakan. Aku akan pulang ke Indonesia secepatnya.”
“Apa yang kaukatakan, Cunda? Kau tak akan beranjak dari sini tanpa aku. Hanya….” Prajna ragu melanjutkan kalimatnya.
“Kubilang terserah kau!”
“Aku ingin kau menemani aku, mencari dan menemui perempuan itu.”
“Apa? Aku tak mau!”
“Itu satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalan ini. Jika aku sendirian yang mencari dan menemui, kau akan terus-menerus memikirkan yang bukan-bukan, dan itu akan membuatmu tersiksa, lalu berimbas pada kesehatanmu.” Cunda bergeming.
“Maafkan aku karena telah membawamu pada kondisi yang menyakitkan. Tetapi, inilah sepotong roti hidup kita, yang menunggu kita untuk mengunyah dan menelannya. Kau ingat apa yang aku katakan ketika kita rayakan ulang tahunmu?”
“Yah! Kau menyuapi aku sepotong roti, persis seperti saat ini, kau menyuapi aku dengan sepotong persoalan.”

Prajna menghela napas. Bagaimanapun, yang dikatakan Cunda benar. Ia telah menyuapi Cunda dengan sepotong roti persoalan yang tentu pahit dan menyakitkan.  Bukan manis nikmat seperti cokelat.
“Aku yakin kita sanggup mengatasinya, Cunda. Kita tak mungkin terus- menerus hidup dalam kecurigaan dan prasangka. Mari kita urai persoalan ini satu per satu.”
Air mata Cunda berurai, mengingat pada malam ketika perayaan ulang tahunnya. Ia dan Prajna saling menyuap potongan-potongan roti yang menurut Prajna lambang hidup yang harus dinikmati sepotong demi sepotong. Dan kini ia tahu bahwa potongan roti hidup harus ditelan.
“Apa yang harus aku lakukan, Prajna?”
Susah payah Prajna meyakinkan Cunda bahwa ia tetap menjadi ratu di hatinya. Susah payah juga Cunda mengumpulkan puing-puing hatinya yang berkeping untuk memercayai Prajna, bahwa ia tetap lelaki terbaik yang telah dipilihnya. Lalu, semua badai teredam dalam damai ketika mereka sepakat semua akan diatasi bersama. Membangun dunia baru dari puing-puing bintang yang hancur.
“Ajari aku untuk terus memercayaimu, Prajna. Meski terkadang aku ragu. Tetapi,  bukankah itu perlu?”
***
Ruang tengah,
Di dekat lukisan Rembulan pada suatu petang
“Sekar meneleponku tadi siang.”
Cunda tenang mendengar suaminya bicara. Ringan mengambang.
“Dia ingin bertemu denganku,” lanjut Prajna, ketika Cunda membawa cangkir kopi itu padanya.
Prajna terus meneliti, adakah perubahan pada paras Cunda ketika mendengar pengakuannya. Biasa saja.

“Aku ingin kau ikut denganku.”
“Untuk apa?” suara Cunda datar tanpa pergolakan. “Bukankah aku sudah memberimu kesempatan penuh untuk menyelesaikan utang masa lalumu itu? Menghapus asap dari api yang pernah kalian buat. Jadi, kupikir….”
“Kau tidak ingin bertemu dengannya?”

Cunda menghela napas, duduk di sofa menyebelahi suaminya.
“Apakah menurutmu itu perlu?”
“Agar semua menjadi jelas.”
“Bagiku semua sudah jelas. Jadi, pikirkan sekali lagi, pertimbangkanlah apakah keterlibatanku diperlukan. Aku percaya padamu.”
“Ah, Cunda. Betapa bijaksananya engkau, istriku tercinta.”
“Aku adalah istrimu, bukan perampokmu. Jadi, biarlah aku dengan berbagai-bagai perasaan yang aku rasakan untuk terus belajar menjadi istrimu.”
“Baiklah, lima hari ke depan aku pulang terlambat, usai mengajar aku akan temui Sekar di….”
“Jangan katakan padaku di mana kalian bertemu. Cukup aku tahu kalian bertemu pada hari itu.”
Berkata begitu, Cunda beranjak dari sisi suaminya. Ia ingin menihilkan persoalan Prajna dengan perempuan masa lalunya. Ia mulai menenggelamkan diri pada layar monitornya. Menyelesaikan tulisan yang beberapa hari sempat tertunda.

Tetapi, sesekali ingatan Cunda singgah pada pertanyaan, seperti apakah perempuan Sekar. Apa pula yang mendorong atau menariknya sehingga meninggalkan Prajna kala itu. Ah, tetapi, andai saja Sekar tak pergi meninggalkan Prajna, barangkali ia tak akan pernah bertemu dan menikahi lelaki itu. Lelaki yang amat ia cintai. Pada kesimpulan ini, Cunda mulai berpikir tenang dan mencoba melihat persoalan itu dengan kepala dingin. Setiap orang punya masa lalu. Juga dirinya.

Tetapi, sama sekali Cunda tidak ingin mengingat laki-laki pertama yang pernah mencium pipinya di lokasi tempatnya KKN dulu. Di Gunungkidul ketika Prajna mulai gencar melakukan pendekatan pada dirinya. ketika Prajna terlalu sering bertandang ke desa pelosok itu dan akhirnya sering menemani jika ia mengajar anak-anak desa, meski KKN sudah berakhir. Dan, ah… Prajna sanggup merebut hatinya dari Wisnu, lelaki tampan, kaya, namun egoistisnya bukan main. Tidak! Ia tak akan ingat-ingat itu, sebab sudah menjadi masa lalu.
Ia tersenyum mengulum kala ingat ketika Prajna bertanya pada suatu malam, apakah ciuman yang ia berikan adalah yang pertama? Oh! Dengan pasti Cunda menjawab: “Tidak!” Dan Prajna tak marah karenanya. Ia tertawa dan berkata, “Kau cantik, tentu banyak yang ingin menciummu.”

“Mungkin, tetapi tidak banyak yang berhasil menciumku. Yang pasti, hanya kau yang mendapatkannya berkali-kali.”  Ah…
“Cunda, aku lelah. Aku akan tidur sekarang.” Tiba-tiba saja Prajna sudah berada di samping meja komputernya. Dan Prajna terperanjat ketika melihat sisa senyum yang tercetak pada  bibir Cunda.

“Ada apa? Mengapa kau menatapku begitu?”
“Tak apa, kau cantik sekali. Senyum samarmu indah sekali,” kata Prajna, memuji, menyembunyikan pertanyaan tentang sebab senyum istrinya. Dan, ia membalikkan badan untuk meninggalkan Cunda.


Penulis: Indah Darmastuti

Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber femina 2010



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?