Fiction
Atas Nama Merah Putih [4]

15 May 2013


<<<<<Cerita Sebelumnya


Kisah sebelumnya:
Rukmini, seorang selir adipati pada masa penjajahan Belanda, rela menahan perasaannya diabaikan suaminya karena menginginkan kehidupan terbaik buat Ningsih, putri   semata wayangnya. Ketika dewasa, Ningsih ingin sekolah kedokteran di Batavia. Atas bantuan seorang Belanda pembela pribumi, ia dapat melanjutkan cita-citanya. Di Batavia, Ningsih juga bertemu dengan Bayu, seorang wartawan dan sekaligus aktivis kemerdekaan.

Deretan rumah reyot dan kumuh menghampiri pandangan Ningsih. Bayu mengajaknya menghampiri sebuah pabrik. Mereka sembunyi-sembunyi berjalan sambil membungkuk dalam kepekatan malam. Diintipnya ke dalam. Ada beberapa orang pria Belanda, seorang pribumi, dan perempuan-perempuan berkebaya lusuh yang menunduk ketakutan.

“Berapa harga anak tiri saya ini, Meneer? Cukup bukan untuk menutup utang?” tanya pribumi berkaus putih kumal itu, kepada sang meneer, yang menjawab hanya mengangguk-angguk. Ditatapnya wajah perempuan yang tertunduk itu bagai macan menatap liar mangsanya. Transaksi tak berhenti. Ketika para petani tebu telah kehabisan uang untuk membayar  utang kepada para tuan tanah, anak dan istri mereka pun menjadi bayarannya.

    “Kau lihat?” bisik Bayu di telinga Ningsih, “…telah banyak yang mati menderita sebelum aku lahir sekalipun. Penjajahan telah membuat sebuah kemanusiaan hanya tinggal nama di atas muka bumi ini.”
    Ningsih hanya menggigit bibir.

    “Yang kau lihat ini belum seberapa, Ningsih,” bisik Bayu, geram. Tanpa sengaja ia menendang sebuah kaleng di dekat kakinya. Para tuan Belanda di dalam pun berteriak. Langkah kaki mereka terdengar berderap-derap keluar. Bayu langsung menarik tangan Ningsih pergi. Sepeda tuanya ia tinggal. Tak ada waktu.
    Mereka menembus gulita lalu bersembunyi di rerimbunan semak. Sembari mengatur napas, Ningsih bertanya kepada Bayu, ”A…apa… ti…  ti … tiap   malam kau mengintip mereka Bayu?”

    Bayu tersenyum kecil. “Tak ha…harus  tiap malam. Aku s… su… sudah tahu apa yang mereka lakukan… bahkan sejak kakiku… menjejak   Batavia ini.”
    Mereka berdua lalu hanya saling tatap tanpa saling mengucap sepatah kata pun. Keheningan itu menciptakan keindahan tersendiri. Keindahan purba yang disebut cinta.

*******************
Batavia, 1940.
Surat Romo terus berdatangan dan menanyakan kapan ia kembali ke Temanggung. Ningsih tetap membalasnya. Goresan-goresan cinta ia guratkan di atas kertas. Kini ia berani menulis dengan jujur tanpa bermaksud melukai hati romonya. Ia akan kembali, tapi tidak untuk memenuhi janji apa pun. Ia akan kembali dengan jalan hidupnya. Dengan cintanya.

Akoe akan kembali Romo, tapi ndak untuk kawin dengan orang jang akoe tak cinta. Akoe akan tunjukken bahwa jalan jang akoe pilih bisa membuatmoe bangga…
Ningsih menulis pada bait awal suratnya. Ia pun terus menulis hingga habis berlembar-lembar kertas. Penanya bertutur tentang kisah sepenggal mimpi yang menuntut untuk selalu dilanjutkan. Mimpi Ningsih untuk kemerdekaan.

****************
Temanggung, 1940.
Tjokro membaca surat dari Ningsih dengan hati yang berdesir panas. Ia meremas-remas   surat yang isinya tak berubah sedari dulu itu. Sungguh, menyekolahkan Ningsih ke Batavia adalah sebuah keputusan yang buruk.
“Ini sudah berakhir, Ningsih. Kau harus kembali kepada adatmu….”
Tjokro pun menyobek-nyobek kertas itu hingga tak berbentuk lagi.

*******************
Pembantaian Para Kaoem Tani. Lahan mereka dijarah. Hak mereka dirampas.
Headline Soeara Rakjat itu bergema di mana-mana. Di  tiap sudut kota, selebaran-selebaran itu melayang sehingga mau tak mau tiap orang pun akan membacanya.
Kali ini koran itu bertutur tentang nasib kaum tani. Senin pekan depan mungkin ia akan bercerita tentang pengisapan darah para buruh yang membangun jalan-jalan Hindia.

Senin depannya lagi, dapat saja topiknya mengenai para gundik yang menjalani hidup dalam penjara sosial. Apa pun dapat menjadi topik karena benar menurut Bayu, kebiadaban selalu bertebar di mana-mana. Menuntut untuk digaungkan agar para pribumi  makin mendesak untuk dibebaskan.

Mungkin itu hanya selembar kertas dengan hasil cetakan murah. Mungkin itu hanya dianggap sampah, terinjak lalu terbuang. Tetapi, aktivitas jurnalistiknya mampu membuat para penjajah gerah. Selebaran itu hanya dicetak selembar untuk menghemat ongkos, siapapun dapat membelinya untuk mengetahui informasi terbaru, siapa pun boleh menulis untuk Soeara Rakjat, dan  tiap pribumi dapat membacanya karena ditulis dengan bahasa mereka. Melayu.

Ningsih tersenyum kecil. Diambilnya selebaran yang melayang-layang di dekat kakinya itu. Terlalu banyak pribumi yang tertarik untuk membeli sehingga kota-kota ini seakan penuh dengan gema Soeara Rakjat. Tiap orang membicarakannya. Ingin bersuara juga.
*******************
“Kau yakin mau ditempatkan di pos-pos militer KNIL di mana pun?” tanya Soerdjono, seorang perwira berpengalaman di KNIL, kepada Ningsih saat ia melanjutkan pendidikan kedokteran militer di KNIL. Tatapannya menyelidik tak suka. Perempuan tak akan tahan berlama-lama di medan perang, pikirnya.

“Sudahlah,” sahut dr. Wesley jengah. “Toh, dokter perempuan terakhir yang kita miliki telah tewas sekitar 19 tahun yang lalu. Lagi pula, pemerintah sendiri yang memanggil para lulusan terbaik untuk sekolah di sini.”
Soerdjono menatap sinis Ningsih. “Jadi, maksudmu dia akan menjadi pengkhianat seperti Sutirah?”

Dokter Wesley mengibas tangannya kesal. “Kau jangan bicara macam-macam.”
Ningsih memilih diam. Ia hanya sesekali melirik dr. Wesley yang masih beradu argumen dengan perwira berusia 40 tahunan itu. Dokter pintar sekali berakting, pikir Ningsih menahan tawa, padahal ia sebenarnya mati-matian membela para pribumi untuk bisa merdeka. Semua selebaran itu juga merupakan sokongan dana darinya.

*******************
“Kita  makin menang, Ningsih….” Bayu tertawa lebar saat mengatakannya. “Banyak orang ingin menyumbang tulisan ke sini. Banyak jurnalis yang tanpa diminta meliput hal-hal yang tak dapat aku jangkau. Teman-temanku di Semarang yang mengabarkannya. Aku meminta mereka untuk membuat selebaran seperti ini di sana hingga membuat marah para bupati setempat.”

“Bupati?” Kening Ningsih berkerut seketika. Bayu menghela napas.
“Romomu salah satu pejabat yang paling berang atas semua pemberitaan De Journalisten Wapen. Tapi, kami mendapat oplaag yang besar.” Bayu mencoba tertawa, tapi Ningsih hanya diam.
“Memang apa yang dilakukan oleh Bapak?”
Bayu terdiam sejenak. “Ia memberi perintah untuk membakar semua rumah para petani tembakau yang melawan kehendak kompeni. Para petani itu terbakar semangatnya setelah banyak berdiskusi tentang perjuangan para petani di Purworejo….”

“Kenapa kau tak memberi tahuku? Kau mengaku seorang jurnalis, tetapi kau sendiri tak mengabarkannya kepada orang yang paling dekat denganmu,” kata Ningsih, marah. Bayu hanya diam. Beku pun menjelma di tengah-tengah mereka dan menciptakan kejenuhan bagi Ningsih karena Bayu tak kunjung bersuara. Ia lalu pergi tanpa bersuara sedikit pun.
*******************
    “Ada pemberontakan kecil di Siliwangi, Ningsih. Aku akan mengajakmu ke sana. Lebih baik jika kau langsung menangani tentara yang terluka,” ucap dr. Wesley keesokan harinya.
Ningsih mengerutkan dahi. “Tetapi aku baru saja masuk sekolah militer kedokteran.”
Dokter Wesley seperti tak menggubris. “Aku sudah mengajukan hal ini kepada Letnan Gerardus. Ia menyetujuinya.”
Ningsih tak berkata-kata lagi. Ia sesegera mungkin pulang ke rumah selepasnya dari rumah sakit militer. Ia hendak meminta izin kepada ibunya dan, tentu saja, Bayu.


*******************
“Ningsih tak menemukan Bayu, Bu,” ucap Ningsih, dengan air muka yang keruh. Ia seketika merasa bersalah.  “Aku memarahinya kemarin karena ia tak bercerita perihal Bapak di Temanggung.”
Rukmini menarik napas. “Tapi, ia memberi tahu Ibu dan melarangku untuk memberi tahumu. Jadi, sesungguhnya kau pun harus memarahiku, Ningsih.”
“Kenapa ia melakukan itu?” tanya Ningsih, gundah. Rukmini mengangkat bahu.
“Akan kukatakan kepadanya bahwa kau pergi ke Siliwangi untuk tugas pertamamu. Tugas yang menjadi ujung tombak cita-citamu selama ini….”
Hari keberangkatannya diliputi dengan duka. Bayu tetap menghilang tak tahu rimbanya. Ningsih pun seolah berdoa agar ini semua hanya lelucon yang Bayu buat agar ia jera untuk memarahinya lagi.

“Kita cari Bayu nanti.” Dokter Wesley mengelus pundak Ningsih dengan penuh kasih sayang. Baginya, Ningsih dan Rukmini telah menjadi percik-percik semangat baru dalam hidupnya yang selama ini hanya sepi merindu. Istrinya telah meninggal di saat mereka belum memiliki keturunan, dan ia pun tak berniat untuk beristri lagi. Maka, tak ayal, kehadiran ibu dan anak itu seperti keluarga baru baginya.
“Bersiap-siaplah Ningsih untuk menghadapi perang yang sesungguhnya. Ini medan mimpi yang kau nanti….”
Ningsih merasa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

*******************
Pasukan gerilya mendesak masuk. Menghancurkan barikade  serdadu Belanda. Mereka menunggu gulita menjadi pekat, memasang lubang-lubang yang dalam, lalu menembaki para serdadu yang terjatuh itu. Ini bukan sebuah pemberontakan kecil. Ini sebuah perang. Para komandan Belanda salah mengira hal ini.
Lalu di sinilah Ningsih berdiri, tersudut dengan tangan kanan memegang sebuah perban. Dokter Wesley dan beberapa perawat hanya mampu meringkuk di bawah todongan senjata. Apa yang terjadi selanjutnya, ia tak tahu. Sebuah kain hitam telah menutupi kepala Ningsih, lalu mendorong tubuhnya ke suatu tempat.

                **********
Dokter Wesley benar, ia seorang perencana strategi yang ulung.
Menculik para dokter untuk merawat pejuang yang terluka karena dokter yang sesungguhnya telah lama tiada.
Ningsih menghambur ke pelukannya bagai seorang anak yang telah lama kehilangan ayahnya. Sementara Pramono yang berdiri di hadapannya, masihlah Pramono yang dulu. Ia  tetap gagah berdiri, walau kaki kanannya telah pincang akibat luka tembak di Gunung Sindhoro dulu.

“Kau Ningsih?!” serunya tak percaya. “Dan kau menjadi dokter sekarang?”
“Ia ingin menjadi seperti Sutirah,” sahut dr. Wesley,   lalu memeluk Pram erat.
“Aku berpura-pura mati, Dokter, dan itu berhasil. Namun, hanya aku yang selamat….” Pram tersenyum pilu. “Aku bahkan tak bisa menghitung berapa lama aku berada di hutan. Semangatku membaja. Aku harus bisa mendirikan kerajaan tentara dan bisa kau lihat ini semua sekarang.”
Dokter Wesley tampak terharu.
“Tapi, bagaimana bisa?” Ningsih terus menatap takjub ke arahnya.
“Aku merangkak mencari dedaunan untuk makan dan pengobatan. Sesakit apa pun lukaku, aku paksakan berdiri. Aku keluarkan sendiri peluru itu dengan tanganku. Kujahit lukanya. Beruntung, masih ada sisa obat-obatan milik Sutirah yang tidak dihancurkan Belanda.”

Pramono lalu melirik para juru kesehatan yang sedang memperhatikan mereka bertiga. Dengan isyarat, ia menyuruh para tentara untuk menodongkan senjata di atas kepala mereka agar mau mengobati para tentara yang terluka.
“Lalu bagaimana kau bisa sampai ke sini, Pram?” tanya dr. Wesley, dengan senyum yang tak kunjung usai menghiasi wajah tuanya.

“Aku menyamar menjadi gelandangan dan aku berpikir bahwa aku harus pergi sejauh mungkin dari Temanggung agar mereka benar-benar mengira aku telah mati. Belasan tahun kukumpulkan para pejuang yang mau bergabung denganku dan kini mulai kutuai buah manisnya. Ini belum seberapa, asal kalian berdua tahu….”  Lagi-lagi Pram melirik para dokter yang sepertinya mencuri dengar pembicaraan mereka. Ia pun memelankan suaranya. ”Bergabunglah, Ningsih, jadilah dokter pengganti Sutirah. Bukankah itu yang selama ini kau harapkan?”
Ningsih mengerling ke arah dr. Wesley. Ia merasa sangat tersanjung. Laki-laki yang paling ia kagumi itu meminang dirinya untuk menjadi pengganti Sutirah. Dokter wanita terhebat sepanjang masa.
“Akan kucari Bayu dulu….”

“Baik, aku akan menunggumu. Kembalilah kepada seseorang yang kau sebut bernama Bayu itu. Aku tak tahu siapa dia, namun aku yakin, ia adalah pilihan hatimu yang paling tepat, yang juga memiliki semangat perjuangan sepertimu,” sahut Pram, sambil memegang bahu Ningsih dengan penuh kebanggaan. “Oleh karena itu, sembari menantimu datang, aku harus menyekap para juru kesehatan ini, entah sampai kapan….”
Ningsih tertawa lebar mendengar ucapan Pramono.

*******************
Batavia, 1940
“Schaatji (Sayang)….” Ningsih memeluk Bayu erat sekali ketika pria itu menemuinya di dekat markas KNIL. Ningsih terkejut ketika meneliti wajah Bayu yang tampak membiru. “Apa yang terjadi padamu?’
Bayu tetap tersenyum walau tak seriang dulu. Entah apa yang membuat senyumnya tampak hambar.  “Maaf dulu aku tak memberi tahumu karena aku tak mau kau menilai bapakmu lebih buruk lagi.”

Mata bersalah Ningsih menatap mata Bayu lekat-lekat. “Kau luar biasa.”
“Aku dipukuli opsir, Ningsih, dan aku disuruh berhenti mengkritik Belanda. Kau tahu, aku terus disiksa hingga mau berjanji tak akan menerbitkan koran lagi, tetapi aku malah mengatakan bahwa aku akan menerbitkan koran yang lebih besar lagi. Uangku kini sudah cukup banyak untuk melakukannya. Mereka lalu kembali menendangi perutku.”  Bayu tertawa hambar, sementara air muka Ningsih bertambah keruh.
 “Aku akan mengobati lukamu. Ayo, kita ke rumahku.”
Bayu hanya mengangguk pelan. Ningsih menggenggam tangan Bayu dengan penuh kehangatan. Tak sadar bahwa mungkin itu kehangatan terakhir darinya untuk Bayu.
*******************
Mulut Ningsih membuka. “Romo?”
Tjokro memandangnya dingin. Pria itu bahkan seperti bukan Romo yang 24 tahun ini dikenalnya. Tjokro datang ditemani dengan beberapa tentara Maresose (pasukan peredam kerusuhan milik Belanda). Entah apa maksudnya. Mungkin ia ingin Ningsih dapat kembali ke rumah tanpa memberontak lagi. Ia tak ingin kalah kali ini.

Sementara itu, Rukmini, hanya menangis. Hatinya kembali tersayat setelah Tjokro menyebutnya sebagai gundik murahan karena berada dalam satu rumah dengan dr. Wesley, seseorang yang bukan muhrimnya.
“Jadi dia yang membuatmu tak ingin pulang?” tunjuk Tjokro kaku kepada Bayu. Ningsih menoleh. Ia tak mampu berkata.

Bayu hanya balas menatap Tjokro tajam tanpa kedip. Ia tak mau menyembah seorang bupati. Ia menolak pengkastaan. Pun ketika para tentara membawanya dengan kasar, Bayu tak meronta. Ia hanya terus menatap Ningsih, seolah hendak mengucapkan selamat  tinggal kepadanya.

“Jangaaaaannn…,” raung Ningsih, marah. Ia berlari mengejar Bayu, tapi Tjokro keburu mencekal tangannya kuat-kuat. Ningsih lalu melihat dr. Wesley, yang juga dibawa oleh para serdadu bertampang kejam itu.
“Ke… kenapa…?” tanyanya tak percaya, kepada dirinya sendiri.
“Karena kalian semua pengkhianat,” bisik Tjokro.  “Kau dan dr. Wesley bersekutu dengan pemberontak di Siliwangi, sementara laki-laki yang mengaku seorang jurnalis itu  telah meludahi wajah bapakmu sendiri dengan tulisan-tulisannya. Kau mau menikah dengan pria seperti itu?”

Hati Ningsih terus bertanya-tanya. Mengapa di saat selangkah lagi ia mampu menghilang dari bayang-bayang romonya, semua ini harus terjadi?
“Kau pun harus dipenjara, Ningsih. Tetapi, karena kau adalah putri seorang bupati, maka aku menawarkan pilihan lain kepada Belanda. Aku akan membawamu pulang dan menjadikan dirimu sebagai perempuan pingitan seumur hidup. Hal yang paling kau benci, bukan? Menyesal kau sekarang?”
Air mata membanjiri wajah Ningsih, seolah tak mau berhenti mendera.

*******************
Pengadilan sangat ramai. Orang-orang Belanda ataupun bangsawan pribumi yang mendukung Belanda tampak berteriak-teriak marah saat Bayu dan dr. Wesley dibawa ke kursi pesakitan. Mereka dituduh sebagai pengkhianat, penyebar propaganda kemerdekaan, dan penghasut rakyat. Terungkaplah sudah bahwa dr. Wesley telah memberikan bantuan dana dalam jumlah besar kepada koran milik Bayu itu. Ningsih pun merangsek maju --terlepas dari pegangan tangan Tjokro-- dan berlari menerobos kerumunan. Ia berteriak lantang di dekat jaksa.

“Mereka bukan pengkhianat… mereka pejuang… mereka harus dibebaskan…!” Ningsih langsung ditarik oleh seorang serdadu Maresose dengan paksa ke luar gedung dan Bayu hanya bisa menatap dengan hati terluka. Ia tak pernah takut ditembak mati sekalipun. Itu hanyalah sekelumit kecil konsekuensi yang harus ia terima, namun mengapa, konsekuensi itu ia terima bersamaan dengan pupusnya cintanya kepada Ningsih?
“Dengan ini diputuskan bahwa dr. Wesley van Der Dijk akan dikembalikan ke Netherland dan Bayu Projodiesoerdijo akan dibuang ke Pulau Bacan seumur hidupnya….”

“Pulau Bacan? Maluku?!” jerit Ningsih dengan hati teriris. Ia hendak melihat Bayu, namun itu pun sangat sulit dilakukan. Kerumunan manusia yang ramai bersorak menenggelamkan pekik-pekik protes dari para rakyat yang merasa bahwa dua orang itu adalah pahlawan pembebasan mereka. Ningsih pun tak mampu melihat Bayu untuk yang terakhir kalinya.
“Ketidakadilan kembali menang… ketidakadilan kembali menang…!” pekik Ningsih marah. Ia terus meronta. Namun, apa daya, tak ada yang mampu dilakukannya. (Tamat)



  *******************
Amelia Indraswari



 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?