Fiction
Atas Nama Merah Putih [3]

15 May 2013



<<<<< Cerita Sebelumnya


Kisah Sebelumnya
Rukmini, seorang selir adipati pada masa penjajahan Belanda, rela menahan perasaannya diabaikan suaminya karena menginginkan kehidupan terbaik buat Ningsih, putri   semata wayangnya. Juga sebagai penebusan pernah mengajak Ningsih kabur dan bertemu dengan gerilyawan di hutan. Pertemuan dengan Dokter Sutirah di hutan, menancap kuat di benak Ningsih. Ia ingin maju, dan tak mau terkungkung hanya karena ia seorang wanita.


Ini telah menginjak sehari menjelang perkawinannya. Ningsih pun makin gundah. Dokter Wesley belum juga mengunjunginya, menepati janjinya. Ia mengintip lewat celah-celah pintu kamar. Tradisi midodareni sedang berlangsung. Sang mempelai pria datang ke rumah mempelai wanita bersama para kerabat. Ramai di luar, namun sebagai gadis yang hendak dinikahkan, Ningsih tidak boleh keluar kamar.

Ningsih lalu melihat jendela kamarnya yang besar. Terlintas di pikirannya untuk mengajak ibunya kabur dari situ. Ia pun membukanya sembari memikirkan tiap kemungkinan yang terjadi, jika memang nekat melakukannya.
“Ningsih,” Rukmini tiba-tiba mendatanginya dengan napas memburu, “…dokter dari Batavia itu datang….”

Mata Ningsih membulat. Ia segera mengintip dari balik pintu kamar. Ada pria berkepala botak, bertopi, dengan kemeja putih serta memakai kacamata minus tanpa bingkai di hidung lancipnya. Dokter Wesley berbicara dengan bahasa Melayu yang fasih, menandakan bahwa ia telah cukup lama tinggal di Indonesia. Pria 50 tahun itu duduk menghadap Tjokro yang balas menatapnya dengan kaku, seolah-olah Wesley adalah pengganggu kegembiraan malam ini.

“Saya dokter dari Batavia sekaligus kepala departemen pengajaran Netherland. Tulisan Ningsih di De Journalisten Wapen sangat menarik. Seorang perempuan Jawa yang terkurung adat, tiba-tiba berani menulis ketidakadilan di surat kabar paling kritis di Semarang dan memberi tahu dunia luar bahwa ia memiliki mimpi yang hendak diwujudkannya. Saya sangat bangga membacanya dan pihak kami pun sepakat membuka jalan untuk Ningsih sekolah di Batavia.”

Ningsih hampir memekik ketika mendengar ucapan Wesley barusan. Ia menunggu respons bapaknya, tetapi malah Djoko yang menyahut dengan nada terkejut,
”Ningsih hendak sekolah dokter?”

Tjokro terdiam. Hatinya memanas. Baginya, adat Jawa adalah denyut nadinya, dan mana mungkin  ia mengiris denyut nadinya sendiri. Semua yang berjalan adalah jalannya kodrat dan mengapa Ningsih harus bersusah-susah menentang apa yang telah ditetapkan untuknya?

“Saya tetap tak mengizinkannya. Ini peraturan adat dan ia akan dinikahkan besok. Semua persiapan sudah selesai. Apa Ningsih tak memberi tahu Anda, Meneer?” sahut Tjokro, gundah. Ia menatap dr. Wesley lekat-lekat.
“Ningsih justru memberi tahu saya bahwa ia tidak mau dinikahkan, setidaknya untuk saat ini.”
Tjokro tetap menggeleng. Dokter Wesley menaikkan sebelah alisnya, seolah ia mencemooh keputusan Tjokro. Ia hendak mengucap kalimat pembantahan, tetapi Tjokro keburu bicara lagi.
“Dokter boleh menghadiri pernikahannya esok, kalau Dokter berkenan.”
“Pak….” Ningsih tiba-tiba keluar dari kamarnya. Ia sangat tidak tahan melihat ketidakadilan kembali mengurungnya.  Semua ini harus diakhiri secepatnya.

“Ningsih!” Mau tidak mau, Tjokro pun membentaknya agak keras, tetapi Ningsih tetap berjalan masuk. Hening seketika. Semua tamu menatap sosoknya.
“Kamu ndak boleh bertemu calon suamimu sebelum kamu resmi menikah.”
“Pak, cukup. Aku lelah menuruti semua yang Bapak katakan sebagai adat. Ini penjara, Pak. Perempuan akan hidup di penjara seumur hidupnya. Mungkin perempuan lain berkenan diperlakukan demikian, tapi tidak denganku,” Ningsih bertutur lembut karena tak ingin menyakiti perasaan Tjokro lebih jauh daripada ini.
“Baiklah, aku izinkan,” ucap Tjokro lirih. Bola mata Ningsih seketika membelalak karena tak percaya dengan apa yang didengarnya.
 “…tapi selangkah saja tapak kakimu menjejak keluar dari rumah ini, kau bukan anakku lagi.”

Siti yang duduk di sebelah Tjokro, tampak menatap Ningsih tajam. Ningsih balas melirik. Entah apa yang dipikirkan ibu tirinya itu. Sedang bersorakkah ia dalam hati?
“Mas….” Rukmini nekat mendekat, namun Tjokro telah berdiri. Rasa malu dan sakit hatinya akibat dikhianati putrinya sendiri, telah cukup membuatnya ingin mengakhiri malam ini secepatnya. Ia hendak berlalu masuk kamar.
“Sebaiknya tak usah sekeras itu, Romo…,” Djoko membuka suara demi mengakhiri ketegangan itu. “Perkawinan ini bisa diundur sampai ia selesai sekolah dokter di Batavia.”

Djoko memandang Ningsih yang masih menunduk dengan tatapan bijak. Ia sungguh tak ingin melepaskan gadis cantik itu. Walaupun pemberontakan kecil ini adalah sebuah nila,  berhasil mempersunting perempuan pemberontak yang telah berstatus sebagai dokter adalah kemenangan tersendiri bagi dirinya.

Ningsih hanya melirik calon suaminya dalam diam. Ia tetap tak mau mengiyakan ataupun menolak. Lalu ia melirik para kerabat yang sedang berbisik-bisik sambil terus menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ningsih merasa risi, ia seperti   virus menular yang membuat banyak orang merasa jijik. Pandangannya kemudian beralih kepada Rukmini, dr. Wesley, dan terakhir, bapaknya. Tidak sengaja pandangan mereka bertemu. Tjokro langsung menoleh ke arah lain. Ia tampak menimbang, tetapi tak kunjung memberi jawaban. Haruskah aku yang meneriakkan jawaban itu? batin Ningsih gundah.

“Pergilah, Ningsih…,” lirih sekali Tjokro berbicara hingga Ningsih terus berusaha memercayai pendengarannya barusan. Ia melihat ke arah dr. Wesley yang tersenyum bahagia ke arahnya.
“Tapi, tolong jangan khianati kepercayaanku lagi.” Lalu, tanpa Ningsih sadari, Tjokro memeluknya hangat.
Ningsih terharu. Bapaknya akhirnya mengerti niatnya juga. Ia pun balas memeluk sangat erat. Namun, lagi-lagi Ningsih tak menyadari bahwa Tjokro menangis dalam hatinya, pengkhianatan orang-orang yang paling dicintainya.

*******************
Waterlooplein, Batavia, 1938.
Ningsih berdiri tegak di sini. Di depan sebuah instansi militer bernama Koninklijke Netherlands Indische Leger. Ia tersenyum kecil. Tepat 17 tahun silam, ia bertemu calon perwira paling pemberani yang pernah ia kenal seumur hidupnya. Tepat 17 tahun silam, ia pun bertemu seorang wanita dokter paling tangguh hidupnya. Kini, berdirilah ia dalam persimpangan masa lalu mereka. Nikmatnya mengecap romantisisme masa lalu tak membuatnya beranjak sedari tadi di depan bangunan itu.

Ia terus berandai-andai. Mungkin saat ia berada dalam kelas, Sutirah muncul membawa buku-buku tebal di tangan kanannya dan menyapa para pelajar di depan kelas dengan senyum teguhnya yang kental melekat di wajahnya. Atau mungkin, jika rahasia Pram tak terbongkar, bisa saja kini laki-laki itu berjalan di hadapannya, tidak sengaja menabraknya, dan lantunan takdir akan mempertemukan mereka dalam perbincangan beraroma nasionalisme.

“Auuuwwww…!” Ningsih   terjatuh. Buku-bukunya berjatuhan di atas tanah. Dengan kesal, ia hendak menegur orang yang menabraknya itu. Bibir Ningsih hampir membuka ketika tatapan mereka berdua saling bertemu. Ningsih seketika tergugu. Ada desir-desir hangat merayap. Sesuatu telah membuat jantungnya berhenti berdetak.

“Maafkan aku, Nona….” Dengan sikap membungkuk penuh rasa hormat, pria itu memohon maaf setulusnya atas ketidaksengajaannya tadi, lalu membantu Ningsih memunguti buku-buku  kedokteran itu. Ia membaca sampulnya sejenak, baru kemudian  memberikannya kepada Ningsih.
“Kau sekolah di GHS?” tanya pria berambut hitam kecokelatan itu kepada Ningsih.
“Oh, .iy… iya… iya saya sekolah di sana,” jawab Ningsih, setelah berhasil menguasai dirinya.
Pria itu tersenyum. “Kau tak mau mengambil bukumu?”
Ningsih tersadar. Merah mewarnai rona wajahnya. Ia terlalu lama memandangi wajah pria itu hingga tidak memperhatikan bahwa bukunya sedari tadi disodorkan tepat di depan matanya. Pria itu lalu mengambil sebuah koran miliknya di dekat kaki Ningsih. Ningsih pun hanya tersenyum kikuk.

“Sekali lagi saya mohon maaf, Nona.” Setelah berkata demikian, ia pun mengulurkan tangan kanannya kepada Ningsih. “Bayu.”
“Eh… ohh…Ningsih,” sambut Ningsih dengan jantung yang berdebar berpuluh-puluh kali lipat lebih cepat saat menjabat tangan hangatnya.
Pria bermata cokelat terang itu pun melempar senyum sebelum berlalu dari hadapan Ningsih. Dunia serasa runtuh menghujam dinding hatinya. Semua hal berpendar begitu cepat dan ketika ia sadar, angan-angan itu ternyata menerbangkannya pada batas semu khayalan.

 “Eh, apa ini?” Ia memungut sebuah buku bersampul biru tua di dekat kakinya. Dibukanya buku itu perlahan, namun Ningsih buru-buru menutupnya. Tak baik membaca catatan pribadi seseorang, pikir Ningsih, mungkin ini milik Bayu. Semoga aku bisa mengembalikannya.
*******************
Batavia sangat indah.
Arsitektur kotanya dibangun dengan sentuhan-sentuhan klasik gaya Belanda yang menjulang hingga sudut kota. Bagi orang desa seperti Ningsih --apalagi dengan predikat sebagai gadis pingitan selama belasan tahun-- ini merupakan pemandangan menarik. Sudah dua tahun ia kelilingi Kota Batavia, namun kata jenuh tak pernah menghampirinya. Batavia selalu terlihat baru.

Tiap jengkal langkah ia tapaki di jalan-jalan, bagi Ningsih adalah sebuah parade kebebasan. Kebebasan akan manisnya meraih mimpi dalam fase kehidupannya kini. Ningsih memilih untuk tak memikirkan apa yang akan dilakukannya setelah pendidikannya berakhir di GHS. Setidaknya, bayangan itu hanya akan menjadi surai kekelaman hidupnya sekarang. Karena itulah, Ningsih berpura-pura lupa bahwa ia memiliki hati yang menunggu dirinya kembali. Bapaknya.

“Haruskah aku kembali, Dokter?” tanya Ningsih kepada dr. Wesley, ketika mereka sedang menghabiskan sore yang indah dengan berjalan-jalan di sekitar Waterlooplein.
“Itu tergantung kau mau dinikahkan atau tidak. Bukankah kau tidak pernah berjanji pada bapakmu untuk menikah dengan bupati beristri empat itu? Tetapi, kalau kau tak mau kembali, apakah kau tega melihat bapakmu sedih? Siapa yang bisa menjamin ia tidak langsung sakit-sakitan setelah mendengar gadis kesayangannya kembali mengecewakan hatinya?”

Dokter Wesley itu terkekeh pelan   melihat Ningsih tepekur mendengar ucapannya. Ia kembali mengajak Ningsih berkeliling. Sesampainya di depan markas besar KNIL, dokter itu  berhenti. Bibir tipisnya mulai bertutur. Entah kepada dirinya sendiri yang ingin mencumbu masa lalu, atau ia hendak mengabarkan hal itu kepada Ningsih.

“Dulu aku mengenal seseorang di sini. Ia pria paling hebat yang pernah kutemui. Dia bukan sekadar petarung yang hanya bisa mengangkat senjata, namun juga seorang pemikir. Ia menggunakan akalnya untuk merencanakan strategi. Ia mungkin hanya seorang pribumi, tetapi harum karismanya telah merebak membuai semua orang. Mimpinya pun tinggi. Ia hendak mendirikan kerajaan tentara, tetapi bukan untuk Netherland. Ia antipenjajah. Mimpinya adalah menyatukan pria-pria tangguh berjuang untuk kemerdekaan. Ia bahkan menginspirasiku untuk mencintai Nusantara setulus hati.

Aku yakin Pramono masih hidup….”
Mulut Ningsih membuka. “Pak Pram masih hidup?”
“Kau kenal Pram?”
Ningsih mengangguk. Haru menyelimuti dadanya. ”Ia mati tertembak di Gunung Sindhoro, 17 tahun silam. Tidak mungkin ia masih hidup….” Memori itu kembali berputar dalam benaknya. Mengajak Ningsih untuk mulai menuturkannya kepada dokter bertubuh pendek di sebelahnya itu.
Wesley tersenyum. “Dia punya mimpi. Mimpi yang besar dan riwayatnya tak akan mati sebelum itu terwujud. Pram pasti masih hidup. Merencanakan strategi di dalam hutan-hutan yang gelap dan akan menyerang di saat yang tepat.”
Bulu kuduk Ningsih meremang seketika. Ia merasa takjub. “Bagaimana bisa Dokter mengenal Pak Pram?”

“Markas inilah yang mempertemukan kami berdua dan juga mempertemukan dua insan yang jatuh cinta pada pandangan pertama.”  Dokter Wesley tiba-tiba tersenyum. Ia seperti melihat masa lalu menari di hadapannya. “Sayang, kecemburuan menghancurkan semuanya. Ketika Sutirah, satu-satunya wanita dokter di militer KNIL, datang, ia mampu menebarkan pesona yang mampu menghancurkan persahabatan dua anak manusia.  Tetapi, mereka berdua benar-benar orang hebat. Sutirah dan Pram. Mereka mengajarkan bagaimana mencintai bangsanya. Ketika mungkin semuanya berjalan baik tanpa adanya pembangkangan, mereka tak memilih jalan itu. Kau juga hebat, Ningsih. Kau berani melawan penjajahan atas dirimu sendiri.”
Ningsih tersenyum.  Kau juga hebat, Dokter…, batin Ningsih, terharu. Seorang Belanda yang tidak mau menggunakan bahasa ibunya karena menyaksikan sendiri kebiadaban bangsanya. Bukti betapa kemanusiaan masih berdiri tegak di atas tanah penuh kesewenang-wenangan ini.

“Hai,” seseorang menepuk pundaknya. Lamunan Ningsih terhenti. Ketika ia melihat siapa yang menegurnya, jantungnya seperti hendak melompat keluar. Bayu.
“Apa kau melihat buku kecil berwarna biru tua? Itu hilang setelah kita tidak sengaja bertabrakan beberapa hari yang lalu,” cecar Bayu dengan cepat. Ia seperti orang kebingungan dan terus berbicara tanpa memperhatikan Ningsih yang tampak kaku tak mampu berkata-kata.
“Hei, kau dengar aku tidak?” Dengan agak keras, Bayu mengguncang pundak Ningsih. Ia kelihatan tak sabar. Matanya menatap Ningsih dalam-dalam.
“Oh, itu… itu ada di rumahku. Aku tidak membawanya sekarang,” jawab Ningsih, sambil menunduk malu. Rona merah memenuhi wajahnya.
“Syukurlah…!” pekiknya senang.  “Ayo, kita ke rumahmu sekarang.”
“Sekarang?” tanya Ningsih kaget. Namun, ia kemudian berjalan mendahului di depan Bayu, tanpa menoleh lagi. Alasannya hanya satu, Ningsih tak mau merah di pipinya ketahuan.

Mereka berdua berjalan berdampingan tanpa saling bercakap. Melintas senja yang menyemburat jingga di ufuk barat,  menebar wewangian penuh romantisisme. Jalanan di mata Ningsih kini bagai pergelaran opera yang menari lambat-lambat menyambut kedatangan mereka berdua. Ia melirik Bayu di sampingnya. Garis wajahnya yang tegas, rambut kecokelatan yang berantakan tertiup angin sore, dan suara dalamnya yang menggema indah. Pria ini adalah pahatan indah Sang Kuasa.

“Ada yang salah dengan wajahku?”  tiba-tiba Bayu menoleh ke arah Ningsih dan Ningsih pun seketika membuang wajahnya ke arah lain. Bayu hanya tersenyum. Ada rasa senang mengetahui Ningsih sering memandanginya.
“Mmm… memang apa penting buku itu untukmu?” tanya Ningsih memberanikan diri.
Bayu menghela napas. Ia berujar,  ”Aku suka menulis dan buku itu kumpulan tiap catatanku. Aku bersuara melalui sebuah tulisan karena aku tak suka menjadi tentara atau mengangkat senjata demi bangsa. Aku lebih suka mengayun penaku.”

“Apa yang kau tulis?”
“Apa saja. Aku berjalan menelusuri tiap sudut kota dan akan kutulis apa pun yang aku lihat. Terlalu banyak kebiadaban di sini sehingga buku itu kini penuh dengan catatan. Tak bersisa sedikit ruang pun. Aku mempertimbangkan untuk membeli buku sekarang.” Bayu lalu tertawa.
“Jadi itu pekerjaanmu? Mengelilingi kota dan menulis?” sahut Ningsih, sembari mengerling jenaka ke arah Bayu. 
“Aku hanya mengikuti jiwaku,” jawab Bayu singkat. Ia tersenyum kecil.
Sisa perjalanan dihabiskan dengan saling berdiam diri. Mereka menyibukkan diri dengan pikiran masing-masing hingga tiba di depan sebuah rumah berarsitektur Belanda yang indah. Pekarangannya asri dan aura kedamaian memancar dari dalam.
“Ini rumahmu?” tanya Bayu, sambil mengamati sekeliling.
“Bukan. Ini rumah dr. Wesley. Aku menumpang di sini hingga sekolahku tamat. Sebentar, aku ambilkan bukumu. Duduklah….” Ningsih lalu bergegas masuk. Sesampainya di dalam kamar, rasa penasaran pun meradang. Ditimang-timangnya buku itu sesaat. Ningsih mendadak ingin membaca tulisan-tulisan Bayu. Mungkin jika ia sudah mengembalikannya, Bayu tak akan mengizinkannya untuk membaca.

Perlahan, dibukanya buku itu dengan napas tertahan. Ia mulai menelusuri satu-satu tulisan yang terjalin rapi di atasnya. Ningsih mendadak berhenti membaca. Ia bergegas keluar tanpa mengindahkan Rukmini yang bertanya apakah pria di luar itu adalah temannya.
“Kau pernah mengirimiku surat?”

*******************
Ningsih membaca surat dari bapaknya dengan napas tertahan. Bapak menagih janji yang tak pernah aku ucapkan, pikir Ningsih sendu. Ia kemudian membalasnya -- seperti biasa-- dengan penuh cinta dan rindu. Hampir  tiap minggu surat-surat dari Temanggung itu datang. Walau demikian, ada sekeping rasa bahagia yang meranahi dinding hatinya. Bapak selalu menanyakan Ibu.

“Nduk, Bayu sudah datang,” ujar Rukmini, di pintu kamarnya. Ningsih seketika berhenti menulis. Degup jantung itu masih ada bahkan hanya ketika nama Bayu disebut. Ningsih pun buru-buru merapikan pakaiannya. Ia mendadak merasa sangat buruk rupa ketika mematut diri di depan cermin. Rambutnya disisir berkali-kali. Dirapi-rapikannya baju dan roknya, tetapi tetap tidak menambah baik penampilan di matanya sendiri. Rukmini mengulum senyum. Ia memegang bahu Ningsih.  ”Kau cantik. Selalu cantik. Tak peduli seberapa buruk pakaian yang kau kenakan.”

Ningsih berbalik. Ia tersenyum malu ke arah ibunya, lalu berjalan keluar. Bayu menunggu di pekarangan dengan sebuah sepeda yang besi-besinya telah berkarat. Ningsih melemparkan senyum kepada ibunya sebelum Bayu kemudian membawanya menyusuri jalan-jalan sore di Batavia.
*******************
“Aku pendiri koran itu. Aku bahkan rela tidak makan asal koran itu dapat terbit. Tak ada gaji yang aku terima. Oplaag-nya pun kecil, tapi aku tidak peduli,” ucap Bayu serius ketika mereka beristirahat di tepi sebuah perkebunan karet. Sepeda reyotnya ia sandarkan di batang sebuah pohon. Sepeda itu seolah merajuk tak ingin dinaiki lagi. Bunyi karatnya selalu berderit-derit ketika dinaiki hingga pada akhirnya Bayu pun mengalah untuk tidak menggenjotnya lagi.

“Lalu dengan apa kau menerbitkannya?”
“Dengan mengemis, tentu. Aku mengemis pada orang-orang yang mengaku memperjuangkan kemerdekaan melalui tulisan. Mereka berkenan membantu tapi tidak terkumpul banyak. Akhirnya aku mengemis pada seorang wedana. Ia sungguh baik hingga tak sampai kurang uang aku mencetak koran-koran itu. Lalu kemudian aku berhenti. Telah banyak kawan yang mengikuti jejakku dan koran itu pun kuserahkan kepada mereka. Aku ingin mencari pengalaman baru di Batavia. Tanah di mana sumber feodalisme itu berasal. Tanah di mana aku dicampakkan dan dibuang.

Aku dilarang sekolah hanya karena bapakku pribumi biasa yang menjadi pegawai rendahan di kecamatan. Aku dan bapak pun hanya bisa sekolah rakyat, dua tahun, sementara ibu dan ketiga adik perempuanku menghabiskan sisa hidup mereka di dapur. Perempuan harus melawan, namun sayang, kaum laki-laki pun tak ada yang mendukung mereka. Jika perempuan pintar dan maju, mereka tak berkenan diperintah. Mereka ingin sekolah hingga ke Netherland kalau perlu….”

Bayu berhenti sejenak untuk mengatur napas, lalu melanjutkan lagi,  “…maka ketika seorang perempuan Jawa, yang tak dikenal namanya, tiba-tiba menggertak adatnya sendiri dengan mengatakan bahwa permpuan harus merdeka, aku benar-benar terkesan. Aku tak tahu seperti apa wajahmu, aku tak tahu di mana rumahmu, namun aku tahu kau seorang anak bupati. Sayang tulisan-tulisanmu kemudian terputus.”

Ningsih tersenyum kecut. “Lalu apa rencanamu sekarang? Tidakkah kau takut dibuang oleh Belanda? Mati dalam kesunyian, terpasung kebekuan malam?”
Bayu tersenyum. “Mati hanyalah fase akhir hidupku. Untuk apa ditakutkan? Aku akan mati jika tulisan-tulisanku tak mampu menggerakkan lebih banyak orang lagi untuk melawan penindasan. Ini harus diakhiri. Tak boleh lagi ada pengkastaan, tak boleh lagi ada penindasan. Sudah terlalu banyak yang mereka kuras dari Indonesia.”

Ningsih terdiam. Ia merenungi lingkaran hidupnya selalu dikelilingi oleh orang-orang yang tak pernah pupus bergerak melawan ketidakadilan. Ia pun harus demikian. Ini nyanyian dari Tuhan yang ditiupkan kepadanya. Mimpinya tak boleh pupus hingga tamat GHS saja. Harus lebih dari itu.
“Ayo, ikut aku. Akan kutunjukkan sesuatu.” Bayu menggamit tangan Ningsih. Mereka berjalan menembus petang.

  *******************
Amelia Indraswari








 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?