Fiction
Aphrodite [8]

9 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

Cukup sudah! Kupanggil pelayan yang sudah hampir pergi dan memesan minuman. Tak lama, minuman beralkohol berwarna biru cerah itu datang. Kureguk seteguk. Ini untukmu, Andre! Untuk semua pembatalan janjimu. Semoga sampai mati kamu tidak akan menikah dengan mantan kekasihmu.

Cairan itu terasa manis, namun membakar di tenggorokan. Kuhirup lagi. Untukmu, Pak Ray. Persetan dengan semua perhatianmu itu! Rasa panas itu sudah tidak terasa, yang ada hanya ringan yang melegakan. Kuminum lagi. Untuk kalian, teman-teman Tondi yang menyebalkan. Semoga suatu hari nanti kalian akan tahu bahwa kalian bukan apa-apa. Dengan tak sabar kuteguk sampai habis. Untukmu, Tondi, karena… karena selalu menyebalkan!

Ringan melayang. Begitu nikmat, ketika perasaan yang tidak menyenangkan itu raib, seperti uap yang terbawa naik. Hanya tinggal rasa puas, walau tanpa sebab. Sesuatu di dalam diriku mendobrak keluar. Aku merasa diriku berdiri dan berjalan ke arah Tondi. Kuraih tangannya tanpa memedulikan wajahnya yang tercengang. Ayolah, Tondi. Beranikah kamu berhadapan dengan sisi liarku?

Aku melangkah mantap ke lantai dansa dan mulai meliukkan tubuh. Baru kutahu bahwa aku bisa juga bergoyang dengan cara yang demikian. Tondi tersenyum lebar. Aku merasa super-sensual dan super-seksi.
Tondi diam, lalu mendekat, memegangi bahuku.

“Re, sudah! Kamu mabuk.”

Mendadak aku merasa pusing. Perut terasa meletup-letup panas, seperti magma yang hendak mendorong keluar dari gunung berapi. Aku terhuyung, ketika Tondi menangkapku dan menutupi tubuhku dengan sesuatu. Kepalaku makin berputar-putar. Aku merasa sangat lemah. Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi. Seperti ada jeda waktu yang hilang untuk terekam di ingatan. Tiba-tiba aku sudah duduk di kursi depan mobil Tondi.

Rasanya, makin sulit untuk tetap terjaga. Sebuah lorong gelap yang nyaman terus menarikku untuk memejamkan mata. Sebelum terle­lap yang kuingat adalah wajah Tondi, yang matanya tersenyum geli.

Hari keenam

Ketika bangun, yang kuingat pertama kali adalah tadi malam aku lupa melakukan upacara untuk Aphrodite! Bagaimana ini? Apakah manteranya tidak akan manjur lagi? Haruskah aku mengulang dari hari pertama lagi? Namun, ketika mencoba bangun, jutaan jarum kecil memantek kepalaku untuk tetap tertanam di bantal. Perlahan-lahan kesadaranku datang. Sebuah lukisan matahari terbenam yang menyilaukan tampak jelas sebagai pemandangan pertama yang kulihat. Lalu, di samping tempat tidur terdapat meja kecil dengan telepon berbentuk Pluto, yang terengah-engah menatapku. Di lantainya terdapat sepotong karpet kecil cokelat muda yang empuk. Aku ada di mana?

“Selamat pagi....”

Tondi berdiri di kaki tempat tidur dengan segelas kopi mengepul-ngepul dengan wangi tajam. Selalu begitu dengan seringai lebarnya. Sepertinya ia telah membawaku ke apartemennya. Ketika mencoba duduk, aku terkejut ketika selimut bergambar bendera Amerika tersingkap. Aku memakai baju tidur bergaris-garis, yang sudah jelas bukan merupakan baju terakhir yang kupakai.

“Tondi!!!”

“Sorry, semalam bajumu basah. Jadi kuganti.”

Astaga! Kejadian semalam. Samar-sama kuingat menari di depan banyak orang. Separuh mabuk pula. Aku malu.

“Tak usah malu, Re. Nih, minum kopinya. Biar tidak terlalu pusing.”

Kuhirup sedikit. Rasanya pahit. Terlalu pahit malah.

“Sengaja kubuat pahit. Kalo manis, namanya bukan obat, khasiatnya tidak ada,” kata Tondi. Walaupun cairan itu memang sedikit membantu meredakan pening, tapi aku merasa keterangannya itu mengada-ada.

Sambil minum, aku memerhatikan kamar Tondi. Kamar tidur, ruang tunggu dan dapur semua dapat dilihat dari tempat tidur. Hanya ada sekat-sekat dari bahan kain dan kayu yang ringan untuk memisahkan ruang-ruangnya. Namun, cara ini membuat ruangan ini menjadi luas dan melegakan.

“Apartemenmu enak ya, Ton.”

“Oh, tadi malem aku pinjem ponselmu untuk SMS ibumu. Biar beliau tidak khawatir.”

Biarpun Tondi punya reputasi seperti kelinci pejantan, entah kenapa aku merasa aman dan percaya padanya, walaupun telah meng­habiskan malam hanya berdua dengannya, walaupun ia telah melihatku separuh telanjang. Aku yakin, tadi malam ia benar-benar mengurusiku, tanpa pendekatan seksual sedikitpun. Rasanya, aku seperti menemukan kembali Tondi yang kukenal puluhan tahun lalu. Namun, yang manakah Tondi yang sebenarnya?

“Kubuatkan sarapan, ya!” kata Tondi dari arah dapur.

Perlahan-lahan kunaikkan tubuhku agar duduk di bangku tinggi pada sebuah meja kurus panjang yang ada di depan rak piring kecil, sementara Tondi membungkuk pada lemari es kecil, yang ada di sudut ruang dapur. Dipilihnya beberapa bahan, sementara tangannya telah menggenggam dua butir telur.

Dengan cekatan ia merajang tomat segar dengan begitu halusnya. Lalu, diambilnya bawang bombay, lalu diiris menjadi kotak-kotak putih kecil, yang membuat aroma tajamnya berbaur dengan udara. Dibukanya bungkusan berisi jamur dan dipotong-potong memanjang, sehingga tidak kehilangan bentuknya yang menggiurkan selera.

Aroma mentega yang telah dipanaskan tercium makin harum, ketika Tondi memasukkan bawang bombay dan mengaduknya. Menyusul tomat dan jamur menari-nari di penggorengan, memberikan warna-warna masakan yang menggugah. Terakhir, dipecahkannya telur pada pinggiran penggorengan dan memasukkan untuk diacak-acak. Dengan gerakan cepat dicipratinya isi pinggan itu dengan garam, merica, dan sedikit gula pasir.

Aroma dari berbagai bahan makanan tercampur sempurna, membangkitkan rasa lapar. Tondi membagi hasil masakannya pada dua piring, mengambil nasi dari pemanas dan menyodorkan salah satunya padaku.

Sambil makan, kami mengobrol tentang masa lalu. Aneh, sepertinya, Tondi kembali menjadi sahabat karibku yang dulu. Lucu sekali, kami pernah saling menjauh hanya karena memandang rendah diri secara tidak perlu pada satu sama lain. Kini kedekatan itu mulai terbangun lagi. Mata kami saling menatap hangat. Kurasakan telapak tangan Tondi melingkupi punggung tanganku. Ibu jarinya membelai-belai perlahan. Aku terdiam kaku. Ia hanya mengusap lembut dan samar, namun permukaan kulitku langsung terbakar panas dan seluruh saraf tubuhku turut merespon.

Bel di intercom berbunyi, membelah hening diam kami. Ia menarik tangannya. Gila! Apakah tadi aku mengharapkan lebih?

Tondi berjalan ke arah intercom dan berbicara pada seseorang di bawah sana. Suara penuh nada marah. Tondi juga menjawab dengan tidak kalah gusar. Mungkin, itu salah satu kekasih Tondi yang tadi malam. Entah apa yang dipertengkarkan, namun ini adalah tanda bagiku untuk segera pulang. Tondi menutup pembicaraan dengan tidak ramah. Disambarnya ponsel dan dompetnya. “Re, kamu di sini saja. Aku mau pergi.”

“Aku saja yang pergi.”

“Maaf, ya, Re, sebenarnya aku berniat mengantarmu pulang. Aku juga mau pulang ke rumah hari ini”

Tondi sudah hendak pergi, ketika tiba-tiba berbalik. “Lucu, ya, Re, aku senang kamu ada di sini.”

Aku tidak bisa menjawab. Namun perasaanku, telah kembali ke jarum penunjuk netral. Walaupun bukan kejadian biasa, ini bukan salah satu hasil dari mantera Aphrodite. Dia adalah Tondi dan aku adalah Rere. Sekuat apa pun sihirnya, tidak akan mampu menghadirkan peristiwa teraneh dan terlucu, yaitu kami saling jatuh cinta. Kami terlalu lama menjadi teman bermain, terlalu saling mengenal, terlalu seperti kakak-adik. Lagi pula, mana bisa wanita yang sudah ingin menikah sepertiku, bisa berharap pada pria seperti Tondi?

Cerita Selanjutnya >>
Penulis: Elvi Fianita


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?