Fiction
Aphrodite [7]

9 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

Hari kelima


Dua belas missed call dari Andre. Lima SMS permintaan maaf dengan alasan diulang-ulang. Mungkin reaksiku berlebihan. Atau, mungkin Andre memang keterlaluan. Tidak tahulah!

Ketika kulewati ruangan Ibu Ina, kulihat Deden sedang membereskan sesuatu di dalamnya. Kuhentikan langkah untuk memerhatikan dengan lebih cermat. Di ruangan terdapat beberapa kardus dan pajangan, yang kutahu milik Deden sepenuhnya. Melihat barang-barang itu, aku tersadar, Deden akhirnya berhasil menggantikan Ibu Ina. Rasa marah itu kembali terpicu seperti peluru panas yang ingin lepas dari selongsongannya.

Menengok ke arahku, Deden berucap, “Aku sedang bersema­ngat sekali, nih. Bagaimana kalau kupanggil Mas Sony, ya. Oh, aku kan sudah bisa memanggilnya Soni saja, ya. Dia harus mulai belajar panggil aku Pak Deden.”
Deden meraih teleponnya. Tak lama Mas Sonny muncul, sama sekali tidak berusaha menutupi sikapnya yang ogah-ogahan. Usianya 45 tahun dan masa kerjanya lebih dari 15 tahun. Kenyang sudah ia melihat semua orang baru melangkahi dirinya untuk naik ke posisi lebih tinggi.

Mas Sonny sebenarnya karyawan yang hasil kerjanya cukup bagus. Namun, ia bisa berbalik jadi sangat tidak kooperatif, tanpa takut pada jenis atasan mana pun juga dan tanpa peduli apa pun hukuman perusahaan yang diancamkan padanya. Orang-orang di kantor sudah paham benar sifat keras kepalanya, dan memilih menghindari konflik yang tidak perlu dengannya. Jauh lebih menguntungkan untuk mengalah dan menjadi temannya, karena ia akan menjadi sangat suportif dan bersedia membantu.

Aku tersenyum, menanti kejadian yang menyenangkan. Gaya Deden yang sok tahu pasti hanya akan memancing kebandelan Mas Sonny.

“Son, tolong bantu bereskan ruanganku. Masukkan dokumen ke lemari, gantung pigura di dinding, dan ambilkan barang-barangku yang masih tertinggal di meja lamaku!”

Wajah Mas Sonny langsung kelihatan sebal. Wajar saja. Kalau aku jadi dia mungkin semua barang akan kulempar saja ke luar jendela. Tiba-tiba ide pembalasan dendam melintas di kepalaku.

“Mas Sonny pasti bersedia.” Aku mengedip ke arah Mas Sonny.

Mas Sonny kelihatan tidak mengerti. Aku mengangguk-angguk­an kepala, mengisyaratkan padanya untuk menurut.
“Aku pergi dulu, ya,” kata Deden, sambil melangkah.

“Re, aku nggak disuruh bereskan barangnya!”

“Tenang, Mas. Nanti kupinjam OB dari lantai bawah.”

Mas Sonny diam, mencoba meraba isi kepalaku, lalu mengendikkan bahu, menyerahkan masalah ini padaku.
Dua jam kemudian, OB telah membereskan semuanya. Aku pura-pura membawakan kotak-kotak disket, yang sengaja kuminta untuk disisakan, agar tidak dibawa ke ruangan Deden. Kalau ada yang iseng bertanya, akan kubilang bahwa pekerjaan OB tadi belum selesai, dan perlu kubantu.

Kuletakkan disket-disket tersebut di laci meja Deden. Masih disket yang sama. Hanya, sekarang semuanya tertempeli satu file berisi virus. Sebelum sampai di ruangan ini, disket-disket tersebut telah mampir di laptop-ku, yang seluruh datanya sudah rusak termakan virus. Cepat atau lambat, Deden akan menggunakan salah satu dari disket itu, dan dalam waktu dua atau tiga hari ia tidak akan dapat membuka file-filenya lagi. Ia hanya akan melihat tampilan hitungan statistik yang aneh, sementara virus ganas itu memakan seluruh hasil kerjanya yang tertanam di situ.

Aku tersenyum. Rasakan kamu, Deden. Ini balasan untuk keli­cikanmu! Namun, hatiku tetap terasa kosong, tak ada rasa puas. Sungguh aneh! Bukankah sudah sepatutnya aku membalas? Tapi, kenapa ini berbalik membuatku merasa jadi orang terjahat ? Aku menghela napas. Hidupku ternyata hanya sekumpulan kegagalan. Tidak hanya dalam pencarian pasangan, tapi juga dalam karier. Tiga puluh lima tahun, tanpa suami, tanpa kemajuan jabatan, ditambah perilaku yang makin minus!

Ketika aku kembali ke meja dan tidak sengaja membuka laci teratasnya, kulihat ada tas kertas kecil menutupi hampir sepertiga permukaannya. Dengan terheran-heran kudapati kotak panjang seukuran telapak tangan berisi sebotol parfum, tanpa keterangan pengirim. Namun, informasi itu memang tidak perlu. Rasanya, aku bisa menebak pengirimnya. Pak Ray. Apakah ini tanda penyesalan ataukah lebih seperti yang selama ini kuharapkan?

Kuhirup wangi lembut parfum yang membawaku pada padang rerumputan yang baru ditebas dan aroma rempah yang baru di-tumbuk. Kupejamkan mata, perasaanku ternyata tidak pernah terbunuh. Perhatian kecil darinya sanggup mengubur bagian memori yang merekam kenangan pahit tentangnya. Yang tinggal adalah rasa cinta yang meluap-luap, mendobrak pecah semua garis dan batas, membanjiri setiap tujuan gerak dan langkah. Yang aku ingin tahu, bagaimana Aphrodite akan membawanya jadi milikku.

Aku berjalan ke ruangannya. Hanya sekadar melintas. Berharap menangkap sedikit sosoknya. Biarlah itu hanya setetes air. Namun, ia tetap air. Biarpun kehausanku membutuhkannya dalam volume satu galon penuh. Tidak! Aku tidak akan sekadar melintas. Aku akan mengungkapkan perasaanku.

Namun, dari jauh kulihat sekilas bayangan seseorang telah mendahuluiku masuk. Ketika mendekati pintu masuk, apa yang kulihat membuat mataku ingin terbutakan oleh gelap. Kurasakan pisau dingin yang mengiris tengkukku dalam bentuk lingkaran. Aku terbeku oleh rasa sakit yang lebih dalam.

Aku berbalik. Mataku kabur oleh rasa marah dan kecewa yang membersitkan air mata. Terulang lagi. Selalu begitu. Kenapa? Aku kembali ke tempat dudukku, terdiam memandangi layar komputer.

Siang harinya, sebuah buket karangan bunga diantarkan OB ke tempat dudukku. Apa lagi ini? Aku sudah hampir membuangnya ke keranjang sampah, ketika sekilas kulihat ada kartu kecil tersangkut pada bagian ikatannya. Andre.

Aku tersenyum. Kuambil ponselku dan meneleponnya. Kami tertawa, bercanda. Ah, aku selama ini lupa, Andre sangat menye-nangkan. Kami akan berkencan di sebuah pub yang baru buka. Pukul 9 malam kami akan bertemu di lobi.

Tepat pukul 9 malam, aku menunggu di lobi. Ponselku berdering. Telepon yang tidak kuharapkan. Pasti Andre membatalkan janji. Dengan menarik napas panjang, kujawab deringannya. Dia akan menyusul, dengan alasan masih ada pekerjaan. Akhirnya, aku pergi sendiri.

Sebuah kesalahan besar hanya karena mengabdi pada kesabaran. Wanita boleh saja pergi sendirian, sekalipun jaraknya melebihi tempuhan terjauh yang sanggup diarungi Marcopolo. Tapi, jangan pernah pergi ke pub tanpa teman! Aku baru menyadari kekeliruan itu, ketika sudah beberapa langkah masuk ke dalam ruangan remang-remang yang hingar bingar oleh musik.

Semua datang bergerombol atau masuk dengan pasangan, me­ngumpul pada tempat-tempat duduk tertentu. Sekarang aku mau duduk di mana? Aku belum senekat dan sepercaya diri itu untuk bergabung dengan salah satu dari mereka yang tak kukenal. Tapi, aku juga tidak mungkin terus berdiri canggung seperti orang-orangan sawah di tengah ladang.

Bodohnya lagi, aku mengira bisa menunggu Andre, sesantai menunggu sendirian di kafe. Saat sedang kebingungan, sang pangeran penyelamat datang. Sayangnya, dia adalah pangeran penyelamat, sekaligus naga penjaga menara, yang lebih suka menggoda putri yang seharusnya dijaganya. Tondi.

“Re, sendiri?” Seringai menyebalkan itu. “Gabung dengan aku saja,” katanya, sambil menggamit lenganku.

Dihadapkan pada situasi tanpa pilihan sedikit pun, aku terpaksa mengikutinya. Namun, bergabung dengan kelompok Tondi, sama gerah-nya dengan berdiri sendirian. Di mejanya ada dua pria dan tiga wanita berpakaian seksi. Wanita-wanita itu tampak bersaing merebut perhatian Tondi.

“Teman-teman, kenalkan, ini Rere.”

Semua teman Tondi hanya memandangku sebelah mata. Tak ada yang mengenalkan dirinya. Gerombolan yang menyebalkan.

Tiba-tiba SMS masuk. Andre membatalkan kencan, tapi menawarkan diri untuk menjemputku. Aku tak tahu mau marah bagaimana lagi. Andre, jika kamu mau minta maaf, satu truk bunga mawar pun tidak akan cukup!

Cerita Selanjutnya >>

Penulis: Elvi Fianita



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?