Fiction
Aphrodite [4]

9 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

Hari paling panik sedunia.

Aku kehilangan kemampuan untuk berdandan! Entah apa yang salah, mengapa bedak dan foundation yang kupakai hari ini justru makin memperlihatkan kerut-kerut di sudut mataku. Ketika kutebalkan, jejak kerut itu justru terlihat makin dalam, sehingga aku harus pasrah dengan polesan tipis yang tidak menutupi kekurangan. Biasanya, aku selalu penuh percaya diri. Kini, diperlukan pertimbangan panjang untuk memutuskan apakah aku akan memakai polesan pipi atau tidak. Apakah itu akan mempersegar penampilan atau justru membuatku terlihat seperti bayi baru lahir yang tembem?

Memilih warna lipstik pun jadi ikut sulit. Kalau tidak terlalu tua, pilihan yang tersisa tampak terlalu muda, sehingga hampir tidak memberikan kesan lebih. Belum lagi saat aku teringat mataku belum terpermak.

Tiba-tiba mataku jadi setajam mikroskop untuk menangkap kekurangan dari semua koleksi bajuku. Tidak ada yang cukup bagus dan pantas. Semua menempel kaku dan makin menonjolkan kekuranganku. Jika kupilih setelan resmi hijau botol, aku makin terlihat tua dan suram. Jika kuambil setelan merah jambu ketat dengan rok mini dan dalaman seksi berwarna putih, aku seperti ’mengundangnya’. Akhirnya, kupakai jas dan bawahan hitam dengan kemeja putih. Formal, tapi tidak terlalu mengambil jarak. Kalau dia ingin lari, aku pun bisa ikut lari masih dengan harga diri.

Ketika kedua urusan itu selesai, masih ada urusan rambut yang belum tertata. Jika kugulung dengan pemanas sehingga menghasilkan rambut bergelombang, tentunya akan terjatuh di pundakku dengan manis. Tapi, seingatku, hasil seperti itu tidak akan bertahan sampai sore. Begitu petang tiba, ikal buatan dan ikal tidak beratur­an dari rambut asli hanya akan berperang arah, seperti baru selesai berjalan menembus angin ribut. Kalau rambut itu terjepit rapi di tengkuk, aku akan lebih mirip guru yang galak dan serius. Kepalaku mulai terasa mau pecah....

Aku sampai di kantor tanpa ada niat sedikit pun untuk bekerja. Namun, ketika melewati ruang Pak Ray, aku merasa lega luar biasa. Urusan dengan Andre akhirnya membuat seluruh indra mau merespon sesuai kehendakku. Kali ini, tidak ada rasa berdebar-debar, keringat dingin yang membuat mati rasa, kegugupan yang tidak perlu, atau harapan yang hanya membuat putus asa. Semua tenang, lurus dan netral. Aku tersenyum. Selamat tinggal, Pak Ray!

“Re!”

Aduh, apa lagi ini? Tidak bolehkah aku menikmati kegembiraan ini sebentar saja? Saat mendengar suaranya, jantungku kembali tak terkendali.

“Ya, Pak.” Aku memandang matanya, mencoba bersikap biasa, namun kembali terjerembab dalam gulungan jeratnya. Bagaimana mungkin ia punya mata yang begitu kelam dan membuat nyaman? Seolah perjalanan hidup telah mengajarinya rasa pengertian yang mendalam pada semua orang.

“Hari ini kamu jadi presentasi, ya. Pukul 9. Tolong panggil semua orang yang terlibat, ya.”

“Ya, Pak.”

Tapi, aku mengerutkan kening. Presentasi apa? Ya, Tuhan, presentasi proyek yang ditinggalkan Bu Ina. Dua bulan lalu, ketika Pak Joko, atasanku keluar, ia juga keluar pada waktu hampir bersamaan. Otomatis tidak ada yang melanjutkannya, sehingga beberapa minggu yang lalu aku ditunjuk untuk meneruskannya. Astaga, bagaimana aku bisa lupa? Aku memang sudah menyiapkannya sejak lama karena seharusnya sudah dipresentasikan minggu lalu. Pembatalan minggu kemarin membuatku terlalu tenang dan melupakannya. Jika sekarang harus presentasi, masih ingatkah aku tentang beberapa hal yang telah kurencanakan? Sekarang sudah pukul 8.55, tak ada waktu lagi untuk mempersiapkan diri. Ah, masa bodohlah!

Aku masih berkutat menebak kabel mana dicobloskan ke mana, ketika hampir semua orang sudah berkumpul di ruang meeting. Malangnya, aku adalah sejenis orang yang sering dimusuhi oleh semua barang hasil teknologi canggih. Semua kabel telah terpasang seperti seharusnya, namun layar proyektor tak juga memantulkan apa yang telah divisualisasikan komputer. Aku berkeringat. Deden turun membantu dan dengan mudahnya semua sarana presentasi itu menuruti kehendaknya. Tapi, aku malah makin sebal. Tidak rela rasanya bila harus berhutang budi padanya.

“Selamat pagi Bapak dan Ibu. Terima kasih untuk waktunya.”

Rasa gugup telah membuatku hampir terengah mengucapkan sebuah basa-basi yang telah diformat baku.

“Berikut ini saya akan mempresentasikan usulan perubahan sistem Compensation & Benefit kita. Karena ini masih berupa draft, masukan dari Bapak dan Ibu sekalian akan sangat berguna bagi kami.”

Sebuah kalimat penghalusan untuk membujuk hadirin agar memaklumi segala kekurangan. Kujabarkan beberapa ulasan tentang latar belakang yang menjadi dasar usulan-usulanku. Kupikir, apa yang telah kusiapkan sudah sangat bagus. Namun, ketika sekilas kuraba respon mereka, kutangkap sesuatu yang membuatku makin kehilangan rasa percaya diri.

Jika pembukaan tadi berhasil membuat semua mata memandang ke arahku, kini semua orang jelas-jelas terlihat telah kehilangan minat. Jika tidak berbisik-bisik dengan orang di sampingnya, mereka sibuk dengan ponsel. Hanya Pak Ray yang masih menatap layar presentasi. Itu pun dengan kening berkerut. Aku benci melihatnya hanya diam. Tapi, siapakah diriku baginya, sehingga ia harus menolongku? Keringat dingin makin membuyarkan kemampuanku untuk menguasai keadaan. Apakah pembukaanku terlalu panjang, sehingga kehilangan fokus? Haruskah kupotong?

“Re, mungkin usulanmu bagus. Tapi, saya tidak menangkap apa yang sebaiknya kita lakukan,” potong Deden dengan mata menyipit.

Aku ingin tidak memedulikannya. Sebelum aku menjawab, ia sudah melanjutkan. “Bapak dan Ibu, saya usulkan agar sistem kompensasi kita yang baru lebih memfokuskan untuk membedakan secara tajam antara karyawan yang berprestasi dengan yang tidak. Saya memikirkan beberapa usulan, misalnya jika karyawan yang mendapat nilai A atau B, mendapat pengurangan bunga pinjaman lebih rendah. Atau, untuk tabungan dana pensiun mereka memiliki bunga investasi yang bergerak naik-turun tergantung prestasi kerja. Dengan begitu, semua karyawan termotivasi untuk mengejar prestasi.

Aku ternganga. Itu kan memang hal-hal yang akan kuusulkan.

“Bapak dan Ibu, sebenarnya saya…,” dengan panik aku berusaha merebut perhatian lagi. Tapi, suaraku tenggelam, karena Deden menukas lagi.

“Saya akan memperlihatkan sesuatu, walaupun pembedaan tersebut akan memberikan jumlah kompensasi yang jauh berbeda, antara karyawan yang berprestasi dengan yang tidak. Namun, sebenarnya, jumlah yang diberikan perusahaan tetap sama.”

Habis sudah! Semua orang sibuk memusatkan perhatian pada Deden yang dengan cepat menuliskan perhitungan di papan tulis dan memberikan beberapa argumentasi. Hadirin mengangguk-angguk.

“Bapak dan Ibu, sebenarnya ide itu juga ada di dalam slide saya,” kukeluarkan jurus terakhir dengan putus asa, tapi tetap tidak ada yang peduli.

Aku marah luar biasa. Memang, perhitungan itu tidak ada di slide-ku. Tapi, keseluruhan pemikiran itu adalah hasil kerja kerasku. Seenaknya saja ia merebut perhatian semua orang dan mendapatkan apresiasi untuk sesuatu yang seharusnya jadi milikku.

Mereka semua berdiskusi dengan asyik, sementara aku hanya diam dan berperan sama pasifnya dengan alat proyektor. Presentasi akhirnya selesai. Deden menjadi bintangnya. Sementara aku, panglima yang kalah perang, membereskan peralatan presentasi dan keluar paling akhir dari ruangan.

Aku berjalan ke meja kerjaku. Deden menabrakku sampai terjatuh. Kemarin, gara-gara Deden, aku menabrak Pak Ray. Sekarang, di luar segala sebab akibat yang terkait dengan hukum karma, belum cukupkah hari ini untuk dibuat sial olehnya?

“Deden! Hati-hati, dong, kalau lewat!” semburku.

“Kamu yang hati-hati, Re, kamu saja jalannya tidak lihat-lihat.”

Deden selalu punya jawaban menyebalkan. Ia menyodorkan tangan untuk membantuku. Aku tidak menanggapi ulurannya. Jangan beri tanganmu, beri saja seluruh tubuhmu untuk kudorong keluar dari lantai 24 ini! Jangan salahkan aku jika di kantor ini terjadi pembunuhan terencana. Ia tiba-tiba berdiri meninggalkanku. Kalau aku memang tidak menerima pertolongannya, bukan berarti kamu lepas kewajiban untuk bersopan-sopan dan meminta maaf, dong!

Fristie tiba-tiba sudah menyeringai di dekatku. Kuraih uluran tangannya. “Sudah dengar gosip terakhir, Re?” tanya Fristie, sambil melirik Deden, yang tergesa-gesa berjalan ke ruangan Pak Ray dengan setumpuk berkas.
Aku menggeleng, sambil merapikan rokku.

“Mereka yang di atas sedang mencari-cari pengganti Ibu Ina. Deden mengincar posisi itu. Karena itu, dia benar-benar unjuk gigi di depan Pak Ray.”

Aku terkesiap. Dalam hitungan kurang dari satu detik tiba-tiba aku mendapat jawaban dari semua yang terjadi hari ini. Kutinggalkan Fristie. Dengan jantung berdebar, kubuka komputerku. Kuingat, hari terakhir kubuka bahan presentasiku adalah Selasa minggu lalu, ketika memindahkannya ke dalam flash disk. Namun, kulihat tanggal terakhir file itu dibuka adalah hari Kamis minggu lalu, saat aku training keluar kantor.

Cerita Selanjutnya >>

Penulis: Elvi Fianita


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?