Fiction
Aphrodite [12]

9 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

Aku terkejut. Lalu, tertawa terbahak-bahak. Senang sekali, ternyata bukan aku yang paling bodoh di dunia ini. Mungkin wajar saja jika aku yang melakukannya, karena aku hanyalah wanita di usia kritis, yang hampir mendekati masa tidak laku lagi di bursa pencarian jodoh. Tapi, Tondi, ternyata ia juga panik karena belum menemukan pasangan hidup.

Tondi pun tertawa. Tertawa ternyata membuat kami berdua terduduk lemas menempel pada tembok pembatas. Bulan tampak menguasai langit dengan sinarnya. Bintang-bintang kecil tampak tak kalah bersanding dengan kedip kilaunya. Cakrawala hampir terlihat biru seolah malam tidak ingin jadi kelam. Suasana redup tapi hangat. Sungguh malam yang tidak biasa.

Aku memandangnya. Ia memiliki semua modal yang membuatnya mudah mendapatkan siapa saja. Tapi, tetap tidak menjamin kemudahan untuk menemukan yang ia cari. Mungkin benar jika cinta dikatakan sebagai anugerah. Ia datang kepada siapa saja ketika harus datang, tanpa perlu berkorelasi dengan penampilan, kekayaan atau status.

“Jangan dilihat bahwa ini adalah sihir yang tiba-tiba mewujudkan semua impianmu. Ketika melakukan upacara ini, yang terpenting adalah kata-kata. Kata-kata bisa memiliki kekuatan, karena ketika diucapkan secara berulang kali, mereka mampu mensugesti diri kita pada suatu pemikiran, yang pada akhirnya mendorong perilaku kita untuk mengarah pada suatu tujuan.

”Sadar tidak, selama ritual ini berlangsung, banyak sekali peristiwa yang terjadi karena pikiran dan perilaku kita memang jadi lebih fokus terarah pada pencarian pasangan. Bukan sihirnya yang berhasil. Tapi, kemampuan sugestilah yang bekerja untuk memberi dorongan pada kita, agar benar-benar mau berusaha. Jadi, jika belum berhasil, kita jangan berhenti. Mungkin, kita perlu lebih sering berbicara hal-hal yang membuat kita semangat, agar spirit itu selalu terisi penuh energinya. Bagaimana kalau kita sekarang melakukan ritual berdua, tapi lebih untuk saling menyemangati?”

Mungkin kata-kata Tondi benar. Sayangnya, aku sudah kehilangan minat dengan segala macam mantera ini. Tapi… menye­nangkan juga punya teman untuk mencobanya lagi. Tondi berdiri, menyalakan kedua lilin dan menyerahkan salah satunya padaku. Dengan satu tangannya yang bebas, Tondi meraih jemariku dan memejamkan mata. Dalam jarak sedekat ini aku bisa melihat betapa tampannya dia. Sinar bulan memberi bayang-bayang misterius, yang menegaskan lekuk-lekuk rahang dan dahi indah yang ia punya.

Suasana menjadi hening. Jalan langit terbuka bebas untuk melepaskan mantera. Kami mengucapkan keinginan dengan perlahan-lahan, seolah seluruh jiwa lepas satu-satu lewat setiap kata. Mungkin, ini hanya imajinasi atau memang benar-benar terjadi. Jutaan kerlip kecil terbang membelah angkasa, lalu menyebar di ketinggian. Kami hanya memandang takjub pada langit yang menjadi benderang.

Tondi menatap, sinar-sinar kecil tampak memantul di matanya. Tiba-tiba saja diriku diraja oleh suatu keinginan, yang ia tahu pasti, lewat caraku memandang tepat ke bola matanya. Kami saling memejamkan mata dan mencari bibir satu sama lain. Rasanya, sungguh fantastis. Seperti seluruh anggota tubuh yang lain melebur dan hilang menjadi partikel udara. Hanya tinggal bibir yang bergerak, memberi dan diberi dalam kenikmatan yang tak pernah habis tersalurkan.

Tapi... apa-apaan? Dia kan Tondi! Kuhentikan gerakanku. Ia masih terpejam mencari. Tuhan, pria ini sungguh indah. Bersamaan dengan ia membuka matanya, aku sudah berbalik dan bergegas ke rumah. Gila! Bodoh benar! Aku hanya akan jadi wanita kesekian Tondi. Lupakan! Lupakan! Anggap yang tadi tak pernah ada. Aku hanya akan jadi koleksinya. Tidak! Terima kasih!

Hari kelima belas

Aku berangkat ke kantor. Berusaha bersikap seperti biasa. Terlalu takut berharap. Andaikata hari terakhir ini tidak terjadi apa-apa, apa lagi yang bisa kupercaya, jika berharap pun tidak lagi berani?

Biasa. Biasa. Biasa. Mobil yang sama. Rute yang sama. Jalan yang sama. Kemacetan yang sama. Akankah besok hariku lebih membosankan? Sebentar. Rupanya, ada yang tidak biasa. Freonku habis. Bagus benar! Kubuka jendela mobil, berharap udara pagi masih cukup sejuk untuk mengganti fungsi AC. Tak peduli jika ada pencoleng yang meminta paksa dompetku.

Ketika makin jenuh oleh jalan tersendat-sendat, dari sudut mata kulihat mobil di sampingku juga membuka jendela. Kenapa? AC mati juga? Aku terpaksa menoleh, ketika klaksonnya berbunyi dan terbengong-bengong, mendapati seseorang yang cute di sana, sedang melempar senyumnya, sebelum melaju mendahului. Ada apa, ya? Apakah tadi aku sempat menyuarakan kekesalanku, sehingga terlihat seperti gadis sinting?

Tapi, sesuatu yang aneh kembali terjadi ketika sedang menunggu lift. Semua orang menatapku. Bahkan, beberapa pria mencuri-curi pandang lewat bayangan pada cermin yang tertempel di dindingnya. Kenapa? Ada apa, sih? Ketika sampai di lantai yang kutuju, dengan tak sabar aku masuk ke dalam toilet dan memeriksa diriku pada kaca lebar yang tertempel di atas wastafel. Make up-ku biasa saja, malah cenderung pucat. Rambutku tidak sedang mengembang aneh. Pakaianku juga netral, atasan cokelat muda dan bawahan cokelat tua. Tidak ada yang aneh. Lalu, apa yang mereka lihat?

”Rere, kamu kelihatan beda hari ini,” pekik Fristie.

Aku tiba-tiba baru menyadari pantulan di cermin itu. Mungkin karena vitamin-vitamin yang kuminum selama sakit. Atau, kemung­kinan, mantera Aphoridite tiba-tiba manjur. Dengan berdebar aku mulai mengamati bayanganku. Masih orang yang sama, gaya yang sama, penampilan yang sama. Tapi, ada sesuatu yang mirip kilau samar yang berpendar di seluruh tubuhku. Seperti kilau berlian yang tertimpa sinar. Atau, pantulan cahaya pada kristal. Kilaunya hanya pendar samar yang terputus-putus. Tapi, tetap saja kilau yang menarik, seperti laron terpesona cahaya lampu.

Ponselku bergetar. SMS masuk. Dari Bowo. Ia tuliskan puisi panjang lebar, bahwa ia menyimpan semua kenangan tentangku dalam kotak waktu berlabel ‘Tak Pernah Ada’. Ia tegaskan, tak ada jalan untuk kami berdua.

Aku mendesah. Dulu pun tidak pernah ada jalan untuk kita. Apalagi, sekarang. Masih dengan bingung aku keluar dari toilet, berjalan melewati lobi. Jantungku berhenti berdetak. Bowo ada di situ. Juga Andre. Mereka berdiri bersamaan. Menyapa hampir serempak, lalu saling menoleh mendapati bahwa mereka menunggu orang yang sama. Tapi, Bowo melangkah lebih cepat.

”Re, bisa bicara sebentar?”

”Eh, sebentar, aku menunggu lebih dahulu,” tukas Andre.

”Kamu punya urusan apa?”

Bowo menjadi ungu wajahnya. Sementara Andre yang biasanya penuh sopan-santun berkacak pinggang menantang Bowo. Hawa permusuhan menaik. Tapi, semua terlalu berlebihan. Ini seharusnya tidak terjadi. Sepertinya mantera Aphrodite terlalu manjur.

Bowo menarik paksa tanganku, Andre dengan cepat menepiskan lengan Bowo, hingga pegangannya terlepas. Bowo mendorong Andre dengan kasar. Andre balas mendorong hingga Bowo hampir terjengkang. Bowo cepat berbalik, mendorong kembali dengan ke dua tangan yang membuat Andre terjatuh, Namun, ia cepat berdiri dan melayangkan pukulan. Bowo mengaduh. Tapi, cukup! Kudorong Andre menjauh, sebelum menerima balasan Bowo.

”Kalian sudah gila, ya? Aku tidak akan pergi dengan siapa pun!”

Aphrodite, kamu keterlaluan! Bowo sudah punya istri, Andre pria yang tak pernah lepas dari bayang-bayang kekasih lamanya. Bukan seperti ini yang kuharapkan dari manteramu. Aku hanya ingin satu. Satu cinta sejati.

Di ruanganku sudah ada Deden. Ketika melihat caranya memandang, aku mengeluh dalam hati. Pak Ray tiba-tiba memanggil, mengajakku ke kantor cabang. Tapi, kami hanya berdua, karena sopir Pak Ray sakit. Ya, Tuhan, seperti yang tadi belum cukup saja!

Mobil melaju. Sepanjang 10 menit perjalanan, hanya kesunyian yang mengisi. Rupanya, hari ini memang dimaksudkan tidak pernah menjadi hari yang biasa. Pak Ray membuka suara. ”Re, maafkan aku. Selama ini aku menjauh darimu. Tapi, sekarang aku sadar, yang kuinginkan hanyalah kamu. Maukah kamu jadi milikku?”

Matahari mungkin telah menabrak bumi yang cahayanya membutakan mataku, membuat tubuhku bergetar panas. Aku hampir pusing karena tidak percaya, ketika yang kuangankan jutaan kali akhirnya terjadi. Inderaku tak punya kesiapan untuk merespon.

”Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Maafkan saya.”

Aku mencintai seseorang. Tentu saja bukan Deden. Bukan Andre. Bukan pula Bowo. Apalagi, Pak Ray. Seseorang yang telah jauh lama berada di hatiku. Sesuatu telah berbisik, bahwa ia juga merasakan hal yang sama denganku. Ia memang selalu punya wanita lain. Namun, ada keyakinan tak berdasar yang mantap berbicara, bahwa mulai malam tadi, hanya akulah yang menempati tempat terbesar di hatinya. Aku tak tahu bagaimana bisa tahu. Tadi malam adalah pertemuan dua lekukan puzzle yang telah lama saling mencari. Kukira aku akhirnya telah lengkap dan menemukan.

Aku pulang ke rumah. Tak ada lagi nyali untuk menghadapi semua kegilaan di dunia luar sana. Memang, tak pernah ada jalan mudah untuk mencari cinta.

Rumah sepi. Kamarku gelap oleh tirai tebal yang berjurai. Kubuka satu tirainya. Kulihat sosoknya mengawasi di depan jendela kamarnya, mengirim senyum. Kedua telapak tangannya menapak pada kaca jendela, sama denganku. Ia jauh di atas, tersekat oleh jarak. Tapi, kurasakan permukaan jari-jari kami bersentuhan, membaurkan batas dan mengalirkan hangat. (Tamat)

Penulis: Elvi Fianita




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?