Fiction
Aphrodite [11]

9 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

Kami duduk di sebuah bangku panjang tanpa sandaran. Bekas tetesan kecap dan minuman terasa lengket di permukaan meja, yang hanya ditutup alas plastik sekadarnya. Beberapa tumpukan piring yang terganjal tusuk-tusuk sate, masih teronggok di depanku. Pembantu tukang sate segera datang menyingkirkannya, namun bau apek menguar tajam dari sisa kain lap yang baru saja disekakannya pada permukaan meja. Tapi, semua itu tertutup rapi oleh aroma bakaran daging yang gurih dan manis. Suara bakaran yang mendesis dan bergemeretak telah bercerita sendiri mengenai kelezatan makanan yang sedang dimasaknya.

Tondi memesan makanan dan dua gelas teh tubruk. Aku protes akan menggantinya dengan teh botol, namun Tondi mendesis bah­wa pasangan makanan yang serasi di sini hanyalah teh tubruk. Tak boleh yang lain!

Benar yang dikatakan Tondi. Sate-nya lembut. Rasa nikmatnya tak habis terdecap, meski telah meluncur masuk ke tenggorokan. Potongan cabai, bawang merah mentah dan tomat berpadu serasi dengan manisnya kecap hitam, yang makin mengentalkan rasa gurih hasil bakaran. Lontongnya pekat oleh aroma daun pisang yang merasuk ke dalam dan hampir terasa renyah karena begitu padat. Ketika perut terasa penuh oleh lemak yang menggumpal, seteguk teh tubruk mampu menetralkan dan membekaskan kesan akhir yang sempurna tentang sebuah kelezatan.

Aku baru tahu bahwa segelas teh yang terdiri dari batang-batang kecil dalam bentuk tidak teratur, ternyata bisa menghasilkan rasa yang begitu sedap. Iseng-iseng kuraih gelasnya yang sudah kosong.

Dalam perjalanan pulang, kami saling bercakap-cakap dengan lepas. Betapa tahun-tahun yang telah lewat seperti tidak pernah memisahkan kami.

”Thanks, ya, Tondi. Malam ini menyenangkan sekali.”

Ia mengangkat dagunya, menempelkan jari telunjuknya di pipi, mengisyaratkanku untuk menciumnya. Aku mencibir. Namun, rasa senang di hatiku mendorongku untuk menciumnya. Aku kaget sendiri. Lebih terkejut lagi mendapati reaksi Tondi yang tercengang.

Aku melangkah masuk ke teras rumah. Sesuatu membuatku menoleh lagi. Tondi masih di posisi yang sama, menatapku. Sebuah pandangan berpanah yang menembus sesuatu yang berdenyut di dada. Ada sesuatu yang berdesir. Namun, masa, sih, ia memandang dengan pancaran mata berbeda? Itu kan Tondi?!

Hari kesepuluh

Sebelum membuka mata kutahu sesuatu yang tidak menyenangkan telah terjadi. Tenggorokanku seperti ditancapi puluhan biji kedondong yang serat menyangkut. Kepalaku lekat di bantal karena begitu berat diangkat. Seluruh sendiku sulit digerakkan, seperti sudah kehilangan pelumas. Yang mengerikan, wajahku bengkak. Astaga! Kupaksa tubuhku keluar kamar. Mana bisa ketemu jodoh kalau terkurung di sini? Tapi, aku ambruk di depan pintu.

Hari kesebelas, kedua belas, ketiga belas

Tak ada jalan keluar dari kamar ini untuk membuka peluang tercapainya target 15 hari menemukan pasangan hidup. Jangankan keluar kamar, melakukan ritual malam untuk Aphrodite pun tak mungkin. Kecuali, Ibu mengizinkanku merangkak inci demi inci untuk sampai ke altar.

Namun, selama 3 hari ini mimpiku penuh dengan mimpi-mimpi yang membuatku makin ingin berlari menjelang kemungkinan hidup di luar kotak 4 kali 4 meter ini. Terkadang aku bermimpi terjebak di kamar sampai hari ke-30, sementara ketika kuminta pada Ibu untuk membawaku keluar, yang keluar hanya gemeletak bunyi tanpa kata dan tak bisa dimengerti.

Terkadang aku bermimpi tentang Fristie dalam bentuk laba-laba bertangan 12, yang mengawini semua pria yang tersisa. Aku hanya berteriak sampai serak, memohon untuk menyisakan seorang pria untukku. Tapi, dengan kejamnya ia menepisku, dengan tangan berbulunya yang ke-11, sementara tangan ke-12-nya memeluk pria terakhir yang tersisa.

Pernah juga aku bermimpi, Aphrodite ternyata seorang hakim pria dengan rambut palsu pirang yang mengetuk palu dan berkata, ”Kamu tidak melakukan pemujaan kemarin, ulang dari hari pertama!” Dan, ratusan mimpi lain, yang membuatku tidak henti mengutuki, kenapa virus flu tidak seperti virus komputer yang memakan habis memori.

Hari keempat belas

Aku sudah sehat dan siap pergi berburu pria lagi. Namun, hari penantian hampir berakhir. Mengapa tetap tidak terjadi apa-apa? Haruskah aku tetap melakukan upacara terakhir ini? Bulan di atas bulat penuh dalam sinar kuning yang terlalu terang, mengajakku tertawa. Namun, inderaku sedang terlalu tumpul untuk menanggapi gurauan sehalus apa pun.

Kugeser kedua lilin. Mereka bertemu tepat di tengah hati. Dua warna berlainan yang kelihatan cantik dan serasi dengan nyala yang berkedip-kedip, mencoba bertahan dari sentilan-sentilan angin kecil. Aphrodite, setelah kugantungkan seluruh harap hanya padamu, menga­pa engkau berkhianat? Kutiup mati nyala lilin-lilin itu dengan kesal.

“Aphrodite. Kamu memang tidak ada. Pasangan sejatiku juga tidak ada. Selamat tinggal dan kurasa aku tak merasa perlu mengucapkan terima kasih!”

Dengan langkah panjang aku masuk ke dalam dan menutup pintu belakang. Namun, lewat lubang kotak berkaca yang menempel di pintu, sempat kulihat tempat yang semula pernah menjadi altar yang kupuja-puja selama 15 hari terakhir. Sekarang ia kelihat­an suram. Bayang-bayang dari sinar bulan memberi warna yang memperkelam. Mungkin, bukan cuma masalah lilin mati yang melunturkan keindahannya. Namun, lebih karena ketika harapanku akhirnya mati, tempat itu turut kehilangan suasana kegaibannya.

Aku berjalan ke arah kamar. Bayangan kelabu itu masih berkabut tebal di ingatanku, ketika terdengar dering telepon membelah nyaring.

“Re, ini Tondi.” Tumben.

“Tadi aku mau merokok di taman atas, ketika melihat kamu menyalakan lilin. Aku tidak bermaksud mengintip. Tapi, kamu sedang melakukan ritual untuk Aphrodite, ya?”

Aku merasakan semburan rasa malu yang membakar wajahku. Bagaimana ia bisa tahu? Andai saja tubuh bisa mengecil jika diinginkan. Sekecil mungkin untuk menjadi tidak terlihat. Kenapa harus Tondi yang memergoki?

“Lalu, kamu mau apa? Ini pekaranganku sendiri,” jawabku berusaha marah untuk melindungi harga diri yang sudah tidak terselamatkan.

“Jangan marah-marah. Kamu tidak perlu malu.”

Aku terkesiap, bagaimana mungkin suaranya bisa selembut itu. Masa, sih, dia bisa mengerti dan memahami apa yang kulakukan.

“Ke rumahku, yuk. Aku mau memperlihatkan sesuatu padamu.”

Biasanya aku selalu menolak atau waspada, menduga maksud terselubung di balik itu. Namun rasa ingin tahu mengalahkan rasa-rasa yang lain. Aku ke luar rumah dan berbelok masuk ke halaman rumah Tondi. Ia telah menunggu dengan pintu depan terbuka. Tanpa berkata-kata, aku mengikutinya naik ke taman atas. Sesampai di sana, sinar bulan tampak dominan, walau tidak sempurna menerangi semua benda. Semua bentuk dan warna tetumbuhan yang ada, larut dalam warna yang sama, hitam atau kelabu. Tapi, aku tahu, ini masih taman yang indah. Sudah puluhan tahun aku tidak ke sini, padahal dulu ini adalah salah satu tempat bermain favorit kami.

Tondi terus berjalan ke ujung taman untuk menyalakan lampu. Ketika menjadi hidup oleh terang, Tondi menunjuk pada suatu sudut yang terlindung dari hujan oleh perpanjangan atap rumah. Pada bagian itu terdapat meja kayu yang sudah tua. Di atasnya terdapat dua lilin, yang sudah separuh batangnya, tanda pernah dinyalakan. Dua lilin berbeda warna yang berdiri berdampingan di atas gambar hati yang dibuat dengan kapur….


Penulis: Elvi Fianita


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?