Fiction
Air, Udara, Api, Tanah [7]

21 May 2012


Fe hanyut dalam pekerjaannya. Gelombang udaranya bergerak tenang. Memberikan segenggam pasir waktu untuk sejenak lenyap dari dunianya dan masuk di dunia yang ia ciptakan sendiri. Perasaan nyaman itu kembali datang. Perasaan tatkala Tony belum hadir kembali di kehidupannya. Menciptakan detik, menit, dan jam berlalu dengan cepatnya. 


“Pulang sekarang, Fe? Mau kuantar?”

Fe tersentak mendengarnya. Seakan sebagian udaranya tersedot.

“Aku lebih suka jalan kaki, Ton, terima kasih.”

“Aku tahu. Akan kuantar.”

Fe mengerutkan kening. “Aku terbiasa jalan kaki sendirian.” Tepatnya, dia terbiasa menghirup semua udara di jalan yang dilaluinya untuk dia sendiri. Dan, dia enggan membaginya dengan orang lain. Meski itu cinta pertamanya.

“Aku ingin tahu tempat tinggalmu.”

“Baiklah. Terserah.” 

Tony tersenyum. Hati Fe hanya menggelepar pasrah.

“Ini apartemenmu, Fe?”

Fe mengangguk. “Aku tahu kau menganggapnya jelek….”

“Aku bisa merasakan baumu di sini.”

Fe tertawa kecil. “Seperti apa?”

Tony menatap Fe. “Baumu. Aku tak pernah melupakannya.”

Fe menghentikan tawanya. Ia benar-benar tidak menyukai cara Tony mengintimidasi dirinya sampai sejauh itu.

“Lain kali aku akan mampir. Aku harus benar-benar pergi sekarang,” kata Tony, sambil melirik arlojinya.

Terima kasih, Tuhan, batin Fe. Sudah cukup udaranya diambil Tony. Ia melambaikan tangannya sampai pria itu menghilang di tikungan. Fe melangkah perlahan menikmati sisa harinya dengan lega. Ketika menapakkan kaki di anak tangga pertama, dengung gosip dari mulut Bu Elly terdengar lagi. Kali ini ia berceloteh dengan Bu Mina, pemilik toko kue di seberang apartemennya. Masih dengan sindiran-sindirannya. Masih dengan topik yang sama. Orien.

Fe kasihan pada gadis itu. Meskipun ia wanita panggilan, Fe merasa Bu Elly tidak berhak ikut campur kehidupan pribadi Orien dengan menyebarluaskan gosip yang belum tentu benar. Tapi, ia tidak mau ambil pusing.

Ketika melewati pintu apartemen Orien, perasaan yang sama seperti tadi pagi muncul kembali. Tanpa sadar, tangannya mengetuk pintu apartemen Orien. Beberapa menit ia menunggu dengan sabar di depan pintu itu. Ia tidak mengerti mengapa ia harus menunggu. Apa yang ia tunggu? Tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu apartemennya dan kemudian masuk untuk beristirahat. Lalu, mengapa ia masih di sini mengetuk pintu?

Pintu di hadapannya tiba-tiba terbuka.

“Pergi kau, Berengsek!”

Fe tertegun. Orien lebih tertegun lagi. Ia tidak berusaha menutup matanya yang sembap dan penampilannya yang acak-acakan. Gadis itu memakai kemeja kedodoran. Kancingnya tidak dikancing dengan benar dan ia tidak mengenakan bawahan. Lekuk-lekuk tubuhnya tercetak nyata dari kemeja kedodoran yang tipis itu. 

“Maaf.”

Fe menggeleng. Tapi, ia tidak juga beranjak dari situ.

“Masuklah.”

Seperti terhipnotis, Fe masuk ke ruang apartemen itu. Untuk pertama kalinya. Atmosfer di situ membuat hati Fe merasa tak enak. Keadaannya berantakan sekali. Bekas botol air mineral yang tumpah tidak dibuang ke tempat sampah. Bahkan, matanya menemukan kue yang sudah berjamur di sudut sofa. Yang paling parah adalah dapurnya. Sudah tidak berbentuk dapur lagi. Tidak bisa dibedakan, mana tempat mencuci piring dan mana tempat membuang sampah. Semuanya sama saja. 

Ukuran ruangan apartemen di gedung ini semua sama. Ruang tamu kecil, ruang tengah yang menghubungkan dapur dan tempat makan. Ada pintu kamar tidur dan kamar mandi. Tapi, keadaan apartemen Orien jauh berbeda dari apartemennya yang selalu rapi.

Fe membiarkan gelombang udaranya naik-turun melihat apartemen Orien separah penampilannya. Bra dan celana dalam tercecer di mana-mana. Entah bersih, entah kotor. Fe mengernyit ketika menemukan kondom bekas pakai di sudut ruangan.

“Duduklah.”

“Aku tidak mengganggu?”

“Aku senang masih ada yang punya hati nurani seperti kau. Aku muak pada orang-orang di sini.“ Gadis itu mengempaskan dirinya ke sofa dan melemparkan pakaian yang berserakan di sofa itu ke lantai. “Mereka cuma modal bicara. Untuk sesuatu yang memuaskan nafsu mereka. Tanpa mereka tahu, nafsu itu dapat membunuh, meskipun tidak menggunakan pisau.”

Fe tahu saat itu mungkin saat terpenting bagi Orien untuk menumpahkan perasaan. Fe senang diperbolehkan melakukan sesuatu yang dapat ia lakukan.

“Aku tahu aku gila seks. Mungkin saja aku wanita murahan. Tapi, aku masih tetap punya harga diri. Dan, hargaku tidak serendah yang mereka kira. Aku melakukan itu atas dasar cinta. Kami melakukannya karena kami mau melakukannya. Aku tidak memasang tarif untuk itu. Aku tidak melakukan apa pun yang merugikan orang-orang di sini. Itu urusanku sendiri. Ini kehidupanku. Aku bukan wanita panggilan.”

Kehadiran Fe di ruangan itu rupanya tidak menghalangi Orien untuk mengutarakan semua isi hatinya. 

“Fe, mungkin kau tak mengerti masalahku. Tapi, aku merasa orang-orang mulai menolak dan tidak menerima kehadiranku di dunia mereka. Apa aku tidak layak dicintai?”

Fe menatap mata Orien. Kali ini mata bening itu berkaca-kaca. Bukan mata buas yang menyambutnya di depan pintu tadi. Kembali Fe melihat luka yang dalam di mata itu. Fe mencoba menyelami perasaannya dan berempati.

“Semua pria yang aku cintai meninggalkanku. Buat mereka, mungkin aku hanya wanita eksperimen. Didapatkan, dinikmati, disesap madunya, untuk kemudian dibuang. Ketika aku bercinta dengan mereka, kurasakan cinta, Fe. Karena itu, kuserahkan diriku. Tapi….”

Orien tertawa kecut. Terdengar mengerikan. Begitu pilu dan menyedihkan. Menyayat hati Fe. Duduk di hadapannya seorang manusia yang telanjur jatuh ke dalam jurang yang dalam. Ia menunggu uluran tangan seseorang yang mungkin tak pernah datang, sementara lumpur di dalam jurang itu terus mengisapnya.

“Aku sudah tidak berharga, Fe. Aku sudah kotor. Jangankan orang lain, aku sendiri pun tidak mengerti mengapa aku jadi seperti ini.”

Orien memandang Fe, yang mendengarkannya dengan perhatian. “Aku ingin menunjukkan pada dunia bahwa aku ada. Dengan tubuhku inilah dunia tahu aku ada. Aku tidak mau seperti udara. Dilupakan keberadaannya oleh orang lain, padahal mereka menghirup berkilo-kilo udara tiap harinya. Apa aku salah?”

“Tidak,” jawab Fe, setelah sekian lama berdiam diri. 

Orien tertawa lagi. “Kau tak mengerti. Sebagai manusia, aku ini sudah tak ada artinya. Mahasiswa apa? Aku kuliah supaya orang-orang melihatku sebagai bagian dari manusia eksklusif yang berpendidikan tinggi, mempunyai martabat, dan terlihat intelek. Tapi, aku sendiri merusaknya. Aku muak dengan hidup ini, Fe. Aku muak mengetahui masyarakat membunuhku dengan ejekan dan celaan mereka. Seandainya mereka tidak peduli.”

“Seandainya mereka tidak peduli, mungkin kau akan terus seperti udara,” sahut Fe. “Bukankah kita sama sekali tak peduli pada udara? Rien, apa yang kau lihat dari setangkai bunga mawar?”

“Bunga mawar? Bunga yang berduri tajam.”

Fe tersenyum simpul. “Kalau kau bertanya padaku, akan kujawab, bunga mawar adalah bunga cantik yang kelopak-kelo-paknya mekar.”

Orien terdiam. Berusaha meresapi kata-kata Fe.

“Tiap manusia pernah punya kesalahan. Pernah jatuh. Pernah berbuat dosa. Kalau kau ingin dunia yang kau tinggali sekarang menjadi lebih baik, kita perlu mulai dari diri kita sendiri.”

Fe tidak mau berbicara lebih banyak lagi. Sudah cukup. Ia belum pernah bicara sepanjang itu ketika mendengarkan teman-temannya bercerita.

Setetes cairan bening jatuh dari mata Orien di atas pangkuannya saat ia tertunduk. Fe tersenyum. Dari senyumnya, Orien tahu, Fe sudah mencetak lembaran cerita dalam kehidupannya. Ia tidak mengerti mengapa petang itu ia membiarkan gadis yang tidak begitu ia kenal masuk. Membiarkannya mendengarkan isi hatinya yang tak pernah ia keluarkan, bahkan kepada mamanya. Ia tidak mengerti mengapa membiarkan gadis itu mengerti tentang kelam kehidupan dan hitam jalan yang ia tempuh. Tapi, kini ia mengerti. Fe mungkin saja malaikat yang dikirim Tuhan untuknya. Untuk mencairkan kebekuan hatinya yang terpendam selama bertahun-tahun.

Bukan otaknya yang memerintahkan kaki Fe untuk menghampiri Orien, tapi hatinya. Di situlah ia meminjamkan bahunya demi sebuah tangis yang mungkin dapat mengubah jalan kehidupan seseorang. Ia tidak peduli bajunya basah karena air mata. Jiwa gadis yang ada di pelukannya itu jauh lebih mahal daripada sekadar kain murah yang basah.

“Udara pun bisa sangat berguna kan, Fe?”

Ketika malam itu ia keluar dari apartemen Orien, sudah tidak terlihat luka di bening matanya. Ia tahu luka itu masih ada dalam hatinya. Tapi, Fe yakin, ia dapat menemukan cinta untuk menutupi luka-luka itu.

Belum pernah Fe sesenang itu. Ia ingin suhunya tak berubah.


                                                              cerita selanjutnya >>


Penulis: Jessie Monika 
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?