Trending Topic
Pemerkosaan, Bencana Sosial Akibat Konstruksi Maskulinitas

2 May 2016


Foto: Stocksnap.io

Kejadian memilukan yang menimpa seorang siswi SMP berusia 14 tahun di Bengkulu, awal April lalu, korban pemerkosaan yang pelakunya 14 orang pemuda. Para pelaku –yang mayoritas usianya masih di bawah umur itu- menurut peneliti isu gender dan Islam, Lies Marcoes, sebetulnya korban juga, yakni korban dari konstruksi maskulinitas yang ada dalam masyarakat kita.

Maksudnya, kata Lies, dalam masyarakat kita, anak lelaki umumnya ditumbuhkan pemahaman gender bahwa ia harus menjadi maskulin, harus berani, harus punya rasa solidaritas. “Nah, konstruksi semacam itu ada dampak negatifnya. Kenapa sih, anak terjerumus narkoba? Tindak kriminalitas? Mereka coba-coba, lalu ada unsur tantangan keberanian. ‘Masa kamu nggak berani sih! Nah dia harus membuktikan itu. Tetapi tantangan itu semakin lama menjadi semakin tinggi, semakin tinggi, sampai kepada yang paling di luar batas kesanggupan. Mereka ditantang terus, sampai misalnya, terjadi tindak kekerasan. Kekerasan seksual, membunuh. Itu adalah kejahatan kemanusiaan kepada anak. Kasihan betul mereka!” jelas Lies.

Lebih jauh, sebetulnya dalam isu lingkungan atau kehidupan juga demikian. "Yang disebut dengan berhasil atau sukses adalah ketika seseorang berhasil mengekspansi, mengeksploitasi. Itulah yang ingin digugat oleh ekofeminis dari India, Vandana Shiva," tuturnya. 

Lies menambahkan, dirinya yakin bahwa para remaja pelaku itu tujuannya bukan hendak menikmati seks. Apalagi sampai harus membunuh. "Karena mereka harus mempertanggung jawabkan pada peer-nya. Mereka baru berani kalau dilakukan ‘secara berjamaah,’ dengan cara itu, tidak dituntut tanggung jawab," ungkap Lies, yang dengan tegas menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual dengan tindakan biadab yang dilakukan para remaja ini bukanlah masalah moralitas. 

"Menurut saya, pendekatan hukum tidak akan menyelesaikan masalah. Problemnya terletak pada konstruksi gender. Saya mengenal daerah tempat kejadian tersebut. Daerah yang mengalami pemiskinan struktural karena hutannya habis, ada hutan yang dikelola masyarakat, ada perkebunan sawit. Di situ terjadi pemiskinan, para petani kehilangan sumber kehidupan. Mereka semua akhirnya menjadi buruh. Karena tidak memadai dan tidak mencukupi, para ibu rata-rata bekerja di pabrik atau menjadi TKW. Anak-anak itupun menjadi yatim piatu secara sosial. Mereka punya orang tua, tetapi fungsi orang tua tidak ada, mereka mau belajar dari siapa. Kalau pamong dan negara tidak memerankan fungsinya sebagai pamong, hal itu memicu frustrasi luar biasa kepada anak lelaki," ujar Lies, yang berpendapat, masalah sosial ini menjadi tugas kita bersama.


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?