Trending Topic
Emosi Masih Labil di Usia Matang? Pelajari Emotional Healing!

16 Feb 2017


Foto: Fotosearch

Meski punya karier mapan, Hesti selalu gagal menjalin hubungan dengan pria idamannya. Akibatnya setiap sedang sendirian, Hesti sering menangis karena merasa kesepian. Apalagi semua sahabatnya sudah menikah. Efek lain, Hesti cepat tersinggung jika ada yang menanyakan masalah cintanya. Bahkan bisa marah besar, tuh. Sst, emosi yang nggak stabil seperti itu jika dibiarkan bisa memperburuk kesehatan. Yuk, berubah!
 
Selaraskan Emosi
Boleh dibilang usia 20-an, tuh, emosi kita gampang naik-turunnya. Menurut soul healer Irma Rahayu, usia 20-an adalah usia yang labil karena kita dalam puncaknya mengenal cinta, memulai dan meniti karier, serta menghadapi tekanan keluarga.

“Keluarga maunya kita sempurna, punya karier bagus, lalu punya rencana menikah. Sayangnya kita kadang nggak memiliki tempat curhat sehingga masalah dipendam.”

Jika untuk mengatasi masalah kita bisa tetap tenang dan mau mencari solusi, sih, bagus. Tapi jika saking kesalnya kita malah panik dan nggak bisa tenang hingga sedih, kecewa, atau marah berlebihan, itu yang bahaya. Bisa-bisa malah depresi.

“Kita yang nggak bisa tenang dalam menghadapi masalah ini membutuhkan emotional healing. Gunanya untuk menyelaraskan emosi, sehingga kita tetap bisa berpikir jernih untuk mencari solusinya,” kata Irma.
 
Pengaruh Ilusi
Emotional healing nggak menghilangkan emosi negatif. Jadi kita tetap boleh marah, sedih atau kecewa. Bedanya terapi ini membuat kita melampiaskan emosi pada tempatnya dan nggak merusak diri sendiri maupun orang lain.

“Emotional healing bukan menghilangkan emosi negatif. Soalnya kita tetap butuh marah, sedih, atau kesal. Bedanya healing ini membantu kita mengontrol emosi, jadi kita nggak merusak diri sendiri (misalnya dengan mengasihani diri) maupun melukai orang lain (misalnya dengan membentaknya),” ujar Irma.

Sebaliknya yang dihilangkan saat emotional healing adalah ilusinya. Ilusi, tuh, pikiran negatif atau prasangka yang datang saat emosi kita negatif.

“Misalnya saat kita sedang sendirian di kosan, mendadak kita berilusi bahwa kita akan kesepian selamanya, nggak ada yang peduli dengan kita. Makin buruk lagi jika kita akhirnya malah merokok, minum minuman keras, atau makan berlebihan. Nah, emotional healing bermanfaat untuk menghilangkan ilusi ini,” ucap Irma.
 
Tarik Napas
Nggak berarti menjalankan emotional healing harus dilakukan bareng terapis. Namun, bisa dilakukan sendiri karena caranya simpel banget. Hal pertama adalah menarik napas panjang sehingga bisa bernapas teratur.

“Nggak harus dengan meditasi yang dilakukan di tempat hening, mengatur napas ini bisa dilakukan di mana dan kapan pun. Saat marah dan menangis, napas kita pasti pendek sehingga bikin nggak nyaman, makanya disarankan untuk menarik napas panjang,” kata Irma.

Hasilnya, oksigen yang masuk akan merangsang peredaran darah hingga mengalir ke otak dan mengembalikan kesadaran kita. Minimal begitu napas kita teratur kita bisa langsung menyadari alasan kekesalan kita dan mencari solusinya.
 
Jangan Malas Gerak
Langkah kedua adalah bergerak, nggak diam saja. Misalnya pas kita galau dan kesepian, jangan terus-menerus memanjakan rasa galaunya. Lakukan kegiatan positif yang kita sukai, misalnya main PS, nyalon, isi TTS, mandi, atau menonton.

“Silaturahmi aja dengan teman atau keluarga, minimal BBM-an atau sapa teman di media sosial, jadi kita nggak kesepian lagi. Setelah melakukan kegiatan, pikiran kita akan jernih lagi. Tidur pun boleh, kok, soalnya setelah bangun kita sudah segar dan siap menghadapi realita. Syaratnya tidurnya cukup, nggak kurang maupun lebih,” tambah Irma.

Namun, Irma nggak menyarankan kita meluapkan emosinya dengan makan seenaknya. Pasalnya, saat kita berilusi, justru kita nggak menyadari sepenuhnya rasa makanan yang kita konsumsi.

“Jadinya malah nggak menikmati dan bikin tubuh melar. Sayang, kan. Lebih baik buang ilusi dengan menulis diary. Kita berhak menulis apa pun, memaki juga boleh, alasan apa yang bikin kita kesal. Hal ini juga membantu menyadarkan kita,” jelas Irma.

Kenapa harus bergerak, sih? Jawabannya, dengan diam saja, ilusi atau prasangka negatif itu akan memendam di otak kita. Jika terus-menerus dibiarkan dan nggak dicari jalan keluarnya, kita malah stres dan sakit.

“Dampaknya relationship terganggu—jelas, lah, siapa yang mau dengan orang yang doyan marah-marah dan sedih melulu—lalu keuangan jadi susah dikontrol, dan gangguan kesehatan,” ujar Irma.
 
Wajib Percaya
Tapi yang paling penting dari terapi ini adalah kepercayaan kita pada diri sendiri kalau kita mampu memecahkan masalahnya. Tenang, kok, semua hal yang kita alami itu, kan, sifatnya sementara.

“Fokus ke diri sendiri, percayai diri bahwa setiap masalah pasti bisa diatasi. Lagipula, happy, sedih, kesepian, dan lainnya itu nggak ada yang abadi. Ingat berubah butuh proses, kita nggak bisa instan merubah karakter kita,” kata Irma.

Irma menambahkan dampak perubahan emosi kita menjadi lebih baik bakal berpengaruh ke lingkungan. “Bila kita bisa mengelola emosi dengan baik, tahu kapan harus tegas dan lunak, dijamin sikap orang lain yang tadinya cuek juga berubah lebih baik,” tegas Irma. (f)


Baca juga:
5 Kita Mengelola Emosi di Kantor
5 Langkah Mudah Mengendalikan Emosi dalam Situasi Konflik

Manfaat Meditasi Bagi Kesehatan Tubuh

 


Topic

#emosi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?