Foto: 123RF, Dok. New York Post, Dok. Entity, Dok. ABC News, Dok. Today Online
Penggagas program TV The Apprentice dan pebisnis kawakan Donald Trump tidak hanya berhasil memasukkan namanya ke jajaran orang terkaya di dunia. Sejak 9 November 2016, ia terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke-45, sekaligus pertama yang tidak memiliki pengalaman politik. Trump berhasil memukul Hillary Clinton dengan perolehan 278 electoral votes (57 juta suara), meninggalkan Hillary yang hanya mampu meraih 218 electroal votes (56 juta suara). Padahal, Hillary sebelumnya diunggulkan menang oleh banyak hasil survei dan analis politik.
Pemimpin yang Kuat
Pemilu AS kali ini memang kontroversial. Dua kandidatnya, Trump dan Hillary, sama-sama didera tuduhan tak sedap. Trump beberapa kali melakukan tindakan pelecehan seksual, rasis, dan antiasing, sementara Hillary juga tersandung skandal e-mail yang menjadi batu sandungan menuju Gedung Putih.
Meski begitu, jajak pendapat dan berbagai analisis politikus mengunggulkan nama Hillary. Sepak terjangnya di dunia politik memang tak perlu diragukan lagi. Selama kampanye, Hillary selalu dibanjiri pendukung yang mayoritas wanita. Selebritas semisal Lady Gaga, Beyonce, Miley Cyrus, dan Katy Perry mendukung dirinya.
Seperti yang dilansir portal berita TIME, Hillary memang fokus menggalang dukungan dari dan untuk wanita, terutama generasi dewasa dan berpendidikan tinggi. Sayangnya, ia melupakan generasi millennial dan warga yang tinggal di pedesaan. Suara-suara itulah yang justru memenangkan Trump.
Hasil exit poll yang dilakukan politico usai pilpres dengan pertanyaan utama: hal apa yang paling penting untuk presiden baru AS, sebanyak 36% menginginkan pemimpin yang kuat, 16%, memilih pemimpin yang peduli, dan 16% lainnya memilih pemimpin yang memiliki visi dan nilai yang sama. Maka, persentase terbesar yang menginginkan pemimpin kuat itu sesuai dengan karakter dan fokus tim Trump selama berkampanye. Lewat slogan Make America Great Again, Trump menyisakan harapan untuk perubahan yang lebih baik. Berdasarkan pengamatan The Telegraph, pendukung Trump kebanyakan berasal dari kalangan pekerja anti-imigran. NYMag merumuskan, kalangan ibu-ibu penyuka program The Apprentice juga menyumbang banyak suara untuk Trump, sedangkan menurut The Atlantic, para anarkis dan geng motor di AS memilih Trump, karena ingin melihat AS hancur, lalu diperbaiki oleh Trump. Komunitas White Only di Antler, North Dakota, juga menyumbang angka besar untuk Trump. Mereka menganggap Trump adalah sosok kreatif yang akan membuat perubahan.
Asra Quratulain Nomani, seorang muslim liberal, terang-terangan mendukung Trump. Dukungannya itu ia tuliskan di Washington Post: “I'm a Muslim, a woman and an immigrant. I voted for Trump." Meski menuai cibiran dari sesama muslim, ia tetap yakin memilih Trump. Baginya, ide-ide Trump sesuai dengan realitas yang ada di AS. “Kalaupun Trump menjelekkan Islam, saya rasa ia belum memahami Islam secara keseluruhan. Saya justru tak suka pada pemerintahan Presiden Obama dan Partai Demokrat yang cenderung menghindari isu-isu yang memojokkan Islam, seperti kasus Orlando dan Paris,” tegas Asra.
Ketua Program Magister Kajian Amerika, Sekolah Stratejik dan Global, Universitas Indonesia (UI), Irid Rachman Agoes MA Ph.D, menganalisis bahwa kekalahan Hillary Clinton lebih disebabkan oleh salah perhitungan para pollsters, yang begitu yakin atas dukungan masyarakat kepadanya. Jajak pendapat tidak menggambarkan kelelahan dan kemarahan masyarakat Amerika kepada keadaan ekonomi. Orang-orang yang memilih Trump tidak mau berterus terang. Hasil mengejutkan ini memancing berbagai reaksi pro dan kontra dari masyarakat Amerika.
Menurut Irid, kemenangan Trump menjadi ekspresi masyarakat AS yang menghendaki perubahan. Rakyat AS menganggap dalam dua kali masa jabatannya, Barack Obama tidak mampu membuat perubahan yang signifikan. Momen ini dimanfaatkan Partai Republik dengan menominasikan Trump yang gagasannya berseberangan dengan kebijakan Partai Demokrat.
Kemenangan Trump karena daya tarik kontroversialnya secara pribadi, bukan karena keunggulan Partai Republik. Latar belakang Trump yang bukan seorang politikus juga menjadi semacam angin segar bagi rakyat Amerika yang sudah kecewa pada sistem politik sebelumnya. Meskipun dalam janji-janji rencana kerjanya, Trump terbilang kontroversial, di antaranya membuat dinding pembatas dengan Meksiko untuk menghalau masuknya para imigran, tidak menerima pengungsi terutama dari negara muslim.
Di sisi lain, masyarakat AS sebenarnya menginginkan presiden wanita. Namun, Hillary tidak dilihat sebagai personifikasi wanita presiden yang representatif. Hillary lebih dilihat sebagai politikus kawakan, tapi kurang dipercaya. Sayang, Hillary salah perhitungan dan terlalu percaya diri terhadap hasil kampanye yang ternyata tidak tercerminkan dari jumlah orang yang datang untuk memilih saat pemilu.
"Saya rasa agak lebih sulit bagi Indonesia menghadapi AS di bawah pimpinan Trump, yang berpotensi mengisolasi diri. Trump terbilang kurang peduli pada dunia luar. Tapi, karena dia ‘deal maker’ dan pelaku bisnis, akan ada kemungkinan dia bisa bekerja sama dengan Indonesia, selama itu membawa keuntungan bagi pihaknya," jelas Irid. (f)
Baca juga:
Diprotes Warga AS Setelah Menjadi Presiden Terpilih, Donald Trump Berubah Pikiran
Pertemuan Perdana Setelah Pemilihan Presiden, Barack Obama Ingin Donald Trump Sukses Memimpin
8 Fakta Melania Trump, Calon First Lady Amerika yang Baru
Topic
#DonaldTrump