Travel
Mencari Harta Karun di Pelosok Sumatra

5 May 2016


Foto: dok. Detik.com

Sumatra menyimpan banyak ‘permata’. Bukan hanya di kota-kota besarnya, seperti yang sudah kita kenal, tetapi juga tersebar di kawasan pelosoknya. Keinginan untuk menemukan dan mengenal permata Sumatra itulah salah satu yang melatari  Datsun Risers Expedition  menggelar  road trip ini. Saya mengikuti salah satu etapenya, dengan rute Medan-Riau. Inilah yang saya temukan.   
 
 
Foto: dok. Puji

Hari Pertama
Medan - Langkat
Hari sudah sore ketika kami tiba di Desa Rumah Galuh. Hujan deras yang sempat mengguyur sepanjang perjalanan membuat hati kami ciut. Butuh waktu sekitar 2 jam dari Medan, melewati jalan-jalan desa khas Sumatra, dengan rumah-rumah sederhana berlatar perkebunan sawit.  Untungnya, hujan pun usai. Disambut tim Pelaruga (Pencinta Alam Rumah Galuh), mereka menjelaskan bahwa aktivitas kami hari itu body rafting. Syaratnya cuma satu, kondisi tubuh harus fit.

Namun, untuk mencapai sungai, kami harus berjalan kaki. Saya tak menyangka, rute trekking yang dilewati ternyata cukup sulit, melewati jalan setapak di tengah hutan, bertemu tanjakan dan turunan yang curam. Ditambah kondisi  habis hujan, membuat jalan setapak menjadi licin. Sungguh menantang! Teman saya yang mengenakan sandal jepit, beberapa kali terpeleset. Untunglah, saya siap berbekal sandal gunung, lumayan membantu.

Setelah berjalan kaki kurang lebih satu jam, sampailah kami di sungai, nun jauh di bawah sisi bukit. Ngeri kalau dilihat dari atas! Sungainya kecil, tetapi airnya jernih, memancarkan warna biru dipadu tebing yang hijau, lebat dengan dedaunan dan tumbuhan di kanan kirinya. Mereka menamakannya kolam abadi. Luar biasa indah. Mengingatkan saya pada Sungai Green Canyon di Jawa Barat. Sembari menunggu rombongan lain yang masih bersusah payah trekking, saya puas-puasin berendam di airnya yang segar.

Body rafting artinya menghanyutkan diri mengikuti aliran sungai. Sungai berarus deras ini lebarnya hanya sekitar 2 meter. Batu-batu terjal dan batang-batang pohon membuat kita harus waspada. Kami beristirahat tiap kali bertemu batu besar, sembari mengumpulkan nyali dan adrenalin untuk melanjutkan terjun masuk ke pusaran arus.

Beberapa kali  kami harus naik ke atas, merayap di tebing yang hanya beberapa sentimeter, karena arusnya terlalu sulit untuk dilewati. Ada 3 air terjun yang menjadi primadona wisata di Desa Rumah Galuh. Selain air terjun Kolam Abadi yang kami datangi, ada air terjun Teroh-Teroh, yang menjadi tujuan kami, setelah 45 menit berenang dalam arus. Satu lagi, air terjun Tongkat, jaraknya masih satu jam lagi body rafting, tapi tidak sempat kami jalani, karena hari sudah keburu malam. 
 

Foto: Fic

Hari Kedua
Medan - Air Terjun Sipiso-piso – Pulau Samosir
Masih start dari Medan, kami menuju ke Danau Toba. Ada dua jalur yang umum digunakan untuk menuju Danau Toba, yakni lewat Parapat dan lewat Berastagi. Kami memilih jalan Berastagi dan Kabanjahe.

Hari itu, kami bersama-sama dengan 5 tim risers dikawal kru dan media, sehingga total ada 16 konvoi mobil. Persiapan yang rapi membuat perjalanan sangat efektif. Misalnya, lewat HT di masing-masing mobil, kami saling memberi informasi seputar aral lalu lintas yang dilewati.

Foto: AFP

Setelah 4 jam, kami tiba di Desa Tongging, desa yang berada di tepi Danau Toba. Tak jauh dari situ, terdapat salah satu air terjun tertinggi di Indonesia, air terjun Sipiso-piso, setinggi 120 meter. Dari atas tebing, terlihat pemandangan Danau Toba yang terbentang hingga 100 kilometer. Untuk menuju ke ujung air terjun dan merasakan kesegarannya, kita harus menuruni ratusan anak tangga. Itu berarti, ratusan anak tangga lagi untuk didaki.

Masih memutari sisi lain Danau Toba, yakni Sidikalang, kami menuju ke Pulau Samosir. Sidikalang  dikenal sebagai daerah penghasil kopi berkualitas baik. Sayang, dalam perjalanan, saya tak menemukan tempat menjual kopi.

Untuk mencapai Pulau Samosir, selain dengan feri, ternyata bisa dilalui lewat jalan darat. Dari Tongging, masih sekitar 4 jam lagi dengan rute melalui Pangururan. Pulau Samosir hanya dipisahkan oleh jembatan bernama Tano Ponggol, yang panjangnya sekitar 20 meter.
Malam itu kami menginap di sebuah vila di kawasan Tuktuk, kawasan pusat turis, yang dipenuhi dengan kafe, restoran, homestay, dan toko suvenir. Tempat ini kerap dijuluki ‘Bali-nya Danau Toba’.
 

Foto: Puji

Hari Ketiga
Samosir- Tomok-Lumbanjulu- Padang Sidempuan
Pagi itu, gerhana matahari total terjadi di sebagian kawasan di Sumatra. Namun, meski sudah menunggu sejak terbitnya matahari, tak ada kegelapan di langit Toba. Sebaliknya, justru matahari bersinar menyilaukan. Kendati tak berhasil menangkap momen gerhana, saya merasa amat bahagia bisa terbangun dengan belaian oksigen segar dari tepian Danau Toba.

Kami melanjutkan perjalanan mengeksplorasi Tomok. Ada satu tempat yang bisa membuat kami mengenal akar budaya Batak. Tempat itu tak jauh dari Tomok, yakni tempat bernama Batu Kursi Raja Siallagan, yang disebut juga Huta Siallagan. Huta berarti kampung. Tempat ini juga asal mula marga Siallagan, yang kini sudah memiliki generasi ke-19. Dikelilingi tembok batu, di kampung adat ini kita bisa mengenal tradisi Batak lewat peninggalan yang masih tersisa.
Di kompleks ini, ada 8 rumah berusia ratusan tahun, di tengahnya terdapat sebuah pohon besar bernama pohon hariara. Dulu, warga setempat percaya, sebelum membangun suatu kampung, mereka harus menanam satu pohon. Di bawah pohon itu terdapat batu persidangan, berupa batu kursi dan sebuah meja di tengahnya. Tempat itu berfungsi sebagai tempat rapat warga.

Tak jauh dari situ terdapat batu persidangan kedua, yang dipakai sebagai tempat eksekusi. Di situlah hukum adat ditegakkan.  Biasanya eksekusi berupa hukuman denda, pasung, atau hukuman pancung. Sebelum diadili, terdakwa akan dipasung terlebih dahulu di bagian bawah rumah adat, bersama dengan binatang peliharaan. Usai mendengar kisah tentang batu persidangan, kami disambut dengan tarian adat gondang mula-mula, sebelum akhirnya berpisah dengan para tetua adat desa ini.

Tanah Samosir memang indah. Sawah, perbukitan, dan danau tak habis-habis menemani perjalanan kami. Dari Samosir, konvoi mobil kami menyeberang ke Tapanuli dengan feri, yang mampu memuat 30-an mobil, termasuk bus dan truk.

Kami diajak singgah ke sebuah sekolah dasar di Kecamatan Lumban Julu, yang masih masuk kawasan Kabupaten Toba Samosir, kabupaten yang mengeliling Danau Toba. Ditemui oleh guru-guru SD, tim Datsun membagikan 100 buku bacaan untuk anak sekolah. Para risers juga diajak mengisi kelas inspirasi bersama anak-anak dari sekolah yang berada di kaki perbukitan Toba Samosir.  

Tak kalah seru, perjalanan menuju Padang Sidempuan, melewati kota-kota kecil seperti Balige, Siborong-borong, dan Tarutung. Saat di Tarutung, saya melewati patung Yesus raksasa setinggi 45 meter, di atas bukit. Sedikit lebih besar dari patung Yesus di Rio de Janeiro, Brasil. 
 
 
Foto: Fic

Hari Keempat
Padang Sidempuan- Candi Bahal- Rokan Hulu- Pekanbaru
Dari Padang Sidempuan, kami menuju kawasan Padang Lawas, mencari ‘permata’ Sumatra dari abad ke-11. Di Kota Portibi, Padang Lawas, terdapat bangunan candi, peninggalan Kerajaan Panaai, yang kemudian ditaklukkan oleh Kerajaan Sriwijaya.

Sayangnya, jalan menuju ke sini masih kurang terawat. Jalanan penuh bebatuan dan lubang membuat kami jadi harus lebih waspada. Di antara perkampungan warga, sejauh mata memandang hanyalah perkebunan sawit yang mengepung.

Candi Bahal, disebut juga Candi Portibi, uniknya memiliki beberapa arca Hindu dan Buddha. Semua candi menggunakan batu bata merah, bukan dari batu gunung  warna hitam sebagaimana candi Buddha yang kita kenal, Borobudur, dengan atap berbentuk pagoda setinggi 2,5 meter.
Di dinding candi, kita bisa menemukan relief. Salah satunya relief yang menggambarkan penari dan raksasa. Sepertinya  tiap relief ini mengikuti kisah Sang Buddha. Selain relief, ada pula Arca Gayatri yang merepresentasikan umat Hindu. Kawasan candi ini tampaknya belum dikelola secara serius sebagai pusat pariwisata. Saya tak menemukan kehadiran turis lain, juga kerumunan  pedagang suvenir. 
 

Foto: Puji

Meninggalkan candi, berpindah kota, atmosfer mulai berubah. Pemandangan gereja berganti dengan masjid. Kami bahkan menemukan sebuah masjid yang sangat megah, yaitu Masjid Agung Madani, yang terletak di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), yang dibangun di kawasan Islamic Center Pasirpangaraian.
Jauh dari kawasan permukiman, sore itu banyak anak-anak berkumpul di taman masjid. Anak lelaki  berbusana jubah koko, sedangkan anak perempuan mengenakan jilbab. Rupanya, aktivitas mereka keseharian menjelang magrib adalah belajar iqra dan mengaji di masjid. Bagi warga Riau dan sekitarnya, masjid yang menjadi ikon daerah berjuluk Negeri Seribu Suluk ini menjadi daya tarik untuk dikunjungi.

Dibangun sejak tahun 2008, masjid yang mampu menampung   hingga 20.000 jemaah ini didirikan di atas lahan seluas 22 hektare, dengan luas bangunan 15.800 m². Di dalamnya  terdapat aksesori yang memukau mata, seperti lampu gantung dari Italia, batu-batuan terbaik dari Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Kalimantan, hingga Turki, serta dikelilingi kaligrafi.

Kubahnya berdiameter 25 meter, dengan 4 unit menara  setinggi 66 meter. Ada pula  menara setinggi 99 meter yang bisa didaki dengan lift. Di atasnya, mengingatkan saya pada Monas. Saya bisa memandang panorama kota. Sore hari adalah waktu yang tepat, karena saat itu adalah peralihan dari terang ke gelap. Di antara jalanan kota, kompleks perkantoran, dan lautan sawit, saya juga bisa memandang Bukit Barisan di kejauhan. Turun dari atas menara, saya dikejutkan oleh keberadaan pelangi. Cantik sekali!

Masih ada lagi kejutan dari masjid ini. Ketika senja mulai surut, bangunan masjid ini sekejap bermandikan siraman lampu warna-warni, menghasilkan efek yang fotogenik. Inilah persinggahan terakhir kami, sebelum akhirnya mengakhiri perjalanan di Pekanbaru.(f)    
 


 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?