Travel
Live In Saat Traveling, Pengalaman Seru dan Irit Bujet

11 Oct 2016


Foto: Dok. Pribadi

Traveling memiliki banyak manfaat. Tidak hanya menambah wawasan, traveling juga ampuh meningkatkan kepercayaan diri, menyehatkan jiwa, dan membuat hidup lebih bahagia. Konon, untuk mengetahui keaslian kebudayaan suatu daerah, kita hendaknya berinteraksi langsung dengan penduduk setempat. Tiga orang ini mencoba traveling dengan cara live in, yaitu tinggal bersama penduduk asli di daerah yang mereka kunjungi. Tidak hanya mendapat pengalaman seru dan mengirit bujet, tinggal dengan penduduk asli menyisakan kedekatan layaknya keluarga sendiri. 
 
 
Hayati Nufus, 30, Jurnalis
Dari Ingkung hingga Belajar Bertani
Pada tahun  2011, saya bepergian ke daerah Deles, Klaten, mengunjungi sebuah lokasi yang terletak di lereng Gunung Merapi. Waktu itu saya bermaksud melakukan perjalanan wisata alam sekaligus mengumpulkan stok foto. Maka, saya pun mencari rumah warga untuk digunakan sebagai tempat tinggal.

Tinggal di rumah warga memudahkan akses saya menuju lereng Merapi, mengingat lokasi penginapan terletak jauh dari lereng gunung. Kalaupun saya tetap memaksa tinggal di hotel, perlu biaya tambahan untuk menyewa alat transportasi menuju lereng gunung. Terlebih lagi, saya pergi seorang diri. Maka, tinggal di rumah warga adalah pilihan paling praktis dan nyaman karena saya menemukan kawan baru yang menemani.

Selama 11 bulan, saya tinggal di rumah milik Ibu Marni. Awalnya, saya masih canggung dan hanya mau ngobrol untuk hal-hal yang umum, seperti kondisi cuaca. Namun, lambat laun saya menemukan kenyamanan sehingga tak segan menceritakan masalah pribadi kepada Ibu Marni.  

Bagi saya, ketika tinggal di suatu daerah artinya kita harus menyatu dengan atmosfer warga di daerah tersebut. Di Deles,  tiap pagi warganya menyapu daun-daun cengkih yang berjatuhan di sekitar rumah mereka. Oleh para warga, daun tersebut kemudian disimpan untuk bahan masakan. Jadilah  tiap pagi saya ikut membantu mengumpulkan daun cengkih.
Ketika musim panen tiba, saya juga ikut turun ke kebun membantu memetik cabai dan tomat. Anak-anak di Kampung Deles juga senang bermain ke lereng gunung. Meskipun lelah berkeliling, saya tetap harus bergabung dengan mereka untuk bisa berbaur dengan para orang tuanya.

Satu hal yang tak terlupakan adalah ketika saya sedang berpamitan ke rumah seorang warga yang cukup dituakan karena saya harus segera bertolak ke Yogyakarta. Usai melepas sepatu dan masuk ke rumah yang jarak teras ke pintunya cukup jauh, ternyata orang yang saya cari sedang tidak berada di rumah. Saya pun memutuskan untuk kembali ke rumah.
Dan, betapa kagetnya saya melihat sepatu kiri saya sudah berlepotan tanah dan kotoran anjing, seperti bekas dipakai orang ke kebun. Sepertinya, ada seseorang yang diam-diam mengenakannya ke kebun saat saya menunggu di depan pintu. Saya pun terpaksa pulang dengan mengenakan satu sepatu di kaki kanan. Ha… ha... ha....

Jika Anda ingin menginap di rumah warga saat traveling, usahakan beramah-tamah dengan warga setempat dan ikuti pola hidup mereka, termasuk upacara adat dan budayanya. Mulai dari memasak, makan, hingga mencuci piring usai makan. Dengan cara itulah Anda bisa menyatu dengan warga setempat. Namun yang terpenting, jangan sampai Anda memasang benteng pertahanan yang terlalu kokoh karena membuat warga setempat canggung untuk berinteraksi dengan Anda.

 
 
Benediktus Octario, 32, Karyawan Swasta
Memberi Barang untuk Dikenang
Tahun 2014, saya berkunjung ke Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Waktu itu  belum terlalu banyak orang Indonesia yang berkunjung ke sana. Mayoritas pelancong yang datang ke sana berasal dari Eropa.

Untuk mencapai perkampungan, saya dan teman-teman harus berjalan kaki sekitar tiga hingga empat jam melewati jalanan yang berbukit. Sebelum memasuki area perkampungan, tiap tamu yang datang wajib membunyikan kentongan agar warga setempat mengetahui ada tamu yang datang dan menyiapkan penyambutan. Kebetulan, Wae Rebo yang dijuluki ‘Desa di Atas Awan’ ini memiliki tujuh rumah adat, yang salah satunya disediakan khusus untuk tamu yang ingin menginap.            

Selama dua hari satu malam saya menginap di rumah penduduk bersama tujuh orang teman. Uniknya, dalam satu rumah adat ada 5 ruang yang digunakan sebagai tempat tinggal mereka. Tiap-tiap ruang diberi penutup kain berwarna berbeda sebagai tanda kepemilikan. Di bagian tengah  ada dapur yang digunakan bersama oleh 5 keluarga tersebut.

Sebagian besar mata pencaharian warga adalah petani kopi. Saya pun ikut turun ke kebun serta membantu mereka menjemur kopi. Bonusnya, kami jadi tahu ada air terjun yang tersembunyi di tengah hutan. Kalau tidak karena live in bersama warga asli Wae Rebo, mungkin saja kami tidak mengetahuinya. Kami tadinya juga diajak untuk mengikuti upacara adat panen warga, Sayangnya, karena ada teman yang kurang sehat, niat mengikuti acara tersebut harus diurungkan, mengingat medan untuk mencapai lokasi upacara adat cukup sulit.

Bagi saya, tinggal di rumah warga saat traveling terasa lebih mengasyikkan daripada menginap di hotel. Meskipun penginapan menyuguhkan kenyamanan dan pelayanan komplet, tinggal di rumah penduduk tetap menyisakan sensasi tersendiri. Saya jadi mengetahui bagaimana keaslian kuliner hingga budaya di tempat tersebut.

Pelancong yang tinggal bersama warga sebaiknya juga harus terlibat untuk mengoptimalkan potensi setempat, dengan membeli hasil olahan. Saat live in di Wae Rebo, saya membeli kopi dan kain tenun hasil produksi warga setempat. Selain untuk membuat mereka senang,   tujuannya juga untuk menghargai potensi budaya mereka. Tidak lupa, saya dan teman-teman memberikan buku-buku bacaan untuk anak-anak usia balita hingga SD sebagai kenang-kenangan.
 
Meninaputri Wismurtu, 36, Festival Film Manager, Jakarta
Dari Kedinginan hingga Tinggal di Karavan
Pertama kali saya traveling adalah ketika berumur 3 tahun, mengunjungi Pakistan bersama keluarga. Beberapa tahun kemudian, keluarga saya pindah ke Marseille, Prancis.  Sejak itu, bepergian rasanya sudah menjadi bagian hidup saya. Di antara beberapa negara yang pernah saya kunjungi, traveling yang sesungguhnya baru saya lakukan saat mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan di Berlin, Jerman, tahun  2007-2009.

Saat itulah saya bersama teman-teman mulai menjelajahi negara-negara di Eropa, mulai dari  Prancis, Jerman, Belgia, Swiss, Cekoslowakia, Polandia, Austria, Liechstenstein, Denmark, Belanda, Italia, hingga Inggris. Di kawasan Asia, saya mengunjungi Singapura, Malaysia, Brunei, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Hong Kong, Cina Daratan, Filipina, Nepal, dan India. Saya juga pernah ke beberapa negara bagian di Amerika Serikat dan Australia. Di dalam negeri, saya sudah mengunjungi Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, dan Flores.

Kebanyakan, pengalaman saya melakukan traveling selalu disertai live in, baik di rumah teman maupun orang tak dikenal. Beberapa host asing saya kenal lewat situs couchsurfing atau Air BNB.  Dengan couchsurfing, saya bisa live in gratis. Sedangkan dengan Air BnB, live in di rumah penduduk setempat biaya per kamarnya bisa 50 persen lebih rendah dibandingkan harga hotel.

Bagi saya, traveling berarti menemukan sesuatu yang berbeda, baik pemandangan, pengalaman, maupun teman-teman. Karena itu, live in terasa lebih menyenangkan karena saya bisa berinteraksi langsung dengan penduduk lokal. Dari situlah saya jadi tahu tempat minum kopi lokal yang enak dan tenang, pemandangan yang bagus, dan cara mudah naik transportasi publik. Bagi saya, live in bukan sekadar hemat biaya, tapi lebih dari itu adalah mahalnya pengalaman berinteraksi dengan penduduk lokal.

Saat ini saya sedang live in di Melbourne, Australia, dengan seorang ibu berumur 60 tahun. Wanita ini tinggal sendirian setelah semua anaknya keluar dari rumah. Terletak di area pinggiran Kota Melbourne, rumah yang saya tinggali dikelilingi rumah-rumah tua dengan kebun dan halaman luas. Bisa Anda bayangkan, betapa cantik pemandangannya.

Tiap tempat memberi kesan tersendiri. Kenangan  yang tak terlupakan adalah ketika saya berlibur ke Nepal dan Australia. Saat itu, cuaca di Nepal sangat dingin hingga mencapai minus sekian derajat. Hawa dingin terasa  makin menusuk tulang mengingat rumah tempat saya tinggal tak memiliki mesin pemanas sehingga saya harus membungkus tubuh rapat-rapat dengan selimut wool dan meminum liquor untuk membantu menghangatkan tubuh. Tinggal bersama selama seminggu, saya dan pemilik rumah bertukar cerita tentang banyak hal, hingga bertukar resep masakan.

Sementara itu, saya pernah ke Melbourne ketika musim dingin dan tinggal di karavan. Namun, saya hanya tahan dua hari saja karena tidak tahan dengan hawa dinginnya. Maklum, Melbourne itu bagian Australia paling selatan yang dekat dengan kutub selatan.

Beberapa kali live in, saya pun mengerti ada ‘aturan’ agar traveling berjalan lancar. Pertama, komunikasikan semua aturan main dengan pemilik rumah agar tak salah persepsi. Kedua,  tahu diri bahwa Anda sedang numpang tinggal di rumah milik orang lain. Sebisa mungkin hindari pulang larut malam, karena   akan mengganggu pemilik rumah yang sedang tidur. Ketiga, jadilah orang yang peduli. Jangan segan membantu tuan rumah yang terlihat sedang sibuk mengerjakan sesuatu.

Terakhir, bila Anda merasa tidak nyaman dengan suasana rumah atau attitude pemiliknya, jangan diam saja. Segera bicarakan hal itu kepada tuan rumah. Bila mereka tak peduli, jangan ragu untuk menulis review di website live in dan segera pergi mencari tempat yang baru. (f)

Baca juga:
Belajar Menenun di Kampung Hula, Alor
5 Tempat Wisata Gratis di Melbourne, Australia
9 Kota Terbaik untuk Hidup




Novita Permatasari, Yoseptin Kristanto

 


Topic

#tempattinggal

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?