Profile
Dessy Natalia, Peneliti yang Membuat Alat Pendeteksi Murah Penyakit DBD

15 Jul 2016


Foto: Rayi Nurdjaman

Sebagai negara tropis, penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi momok yang harus kita hadapi  tiap musim pancaroba tiba. Yang menyedihkan, meski sudah menjadi penyakit ‘tahunan’, selalu saja ada korban jiwa akibat penyakit ini tiap tahunnya. Belakangan disebutkan bahwa hal ini terjadi  karena gejala-gejala DBD sulit dideteksi dan dibedakan dari demam biasa sehingga pasien terlambat mendapat pertolongan.

Kondisi ini mengusik Dessy Natalia untuk membuat alat pendeteksi (diagnostic kit) penyakit ini dengan harga yang terjangkau. Lebih jauh, dosen dan peneliti di Institut Teknologi Bandung ini bercita-cita ingin Indonesia bisa mandiri dalam pemenuhan alat-alat kesehatan yang bisa diakses oleh segala lapisan masyarakat.
 
Diagnostic Kit Murah
Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, tiap tahun sekitar 500.000 orang menderita demam berdarah dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Bahkan, 2,5% di antaranya meninggal dunia. Jumlah ini tentu mengkhawatirkan sehingga upaya   pencegahan penyakit serta menurunkan tingkat kesakitan dan kematian harus segera dilakukan. Apalagi perkembangan penyakit ini sekarang  makin sulit  dikenali, apakah seorang pasien terinfeksi virus DBD atau tidak. Bila dulu penderita DBD bisa dikenali dengan adanya bintik-bintik merah di kulit, sekarang ini bisa saja gejala itu tidak muncul. Gejala penyakit ini sama dengan gejala flu biasa, yakni panas disertai batuk dan pilek atau bahkan bisa tanpa gejala terinfeksi sama sekali.

Persoalannya, hingga sekarang Indonesia masih mengimpor berbagai alat kesehatan dari luar negeri dan harganya pun mahal. Saat ini memang ada alat pendeteksi DBD komersial yang penggunaannya mudah, cepat, dan dapat mendeteksi antibodi terhadap DBD. Namun, alat ini masih diimpor, jadi harganya mahal, sehingga tidak bisa dimanfaatkan secara luas. Kondisi inilah yang membuat Dessy Natalia tergugah untuk menekuni penelitian pengembangan kit diagnostik virus dengue.

Penelitian ini awalnya dirancang oleh Dr. Bachti Alisjahbana dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Kemudian, bersama 4 orang dalam timnya, Dessy memulai penelitian pada tahun 2007-2009, dan tahun 2013-2015 ia mengembangkan sendiri penelitian tersebut di Lab Biokimia/FMIPA ITB.
Lantas, bagaimana bentuk kit diagnostik dengue itu sebenarnya? Ditemui di ruang kerjanya, di Lab Biokimia/FMIPA ITB, wanita berbusana setelan hitam putih dan berkerudung warna perak ini memperlihatkan sampel kit diagnostik dengue-nya.

Kit diagnostik dengue yang dikembangkan dengan berbasis teknik immunokromatografik ini bentuknya seperti alat pengetes kehamilan. Cara kerjanya pun hampir sama. Hanya, yang menjadi sampel pada kit diagnostik ini bukan urine, melainkan darah. Sampel darah pasien (A) akan berinteraksi dengan suatu protein tertentu yang telah diberi label (B). Selanjutnya, jika pasien positif dengue, maka akan terbentuk garis berwarna C. Huruf D pada kit diagnostik merupakan garis kontrol yang mengandung protein tertentu. Mudahnya, jika pasien positif dengue, akan dihasilkan dua garis warna, sementara jika negatif dengue, hanya akan dihasilkan satu garis warna.

Bila melihat rentang waktu penelitian, memang cukup lama, dimulai tahun 2007 dan berakhir tahun 2015. Wanita yang namanya terinspirasi dari kata ‘dies natalis’ ini mengakui, walaupun telah malang-melintang dalam penelitian dasar selama 15 tahun, ia mersakan penelitian kit diagnostik demam berdarah ini  memiliki banyak  kendala. Contohnya, antigen dengue, yang merupakan bahan baku penelitian, harganya sangat  mahal. Kementerian dan Pendidikan Tinggi mengeluarkan dana hingga mencapai Rp2 miliar untuk penelitian selama 3 tahun ini.

Selain itu, Dessy dan tim juga harus mampu membuat antigen protein NS1 rekombinan murni yang sangat penting untuk pengembangan kit diagnostik virus dengue dengan kualitas baik. Namun, ini ternyata membutuhkan waktu dan proses yang panjang, sebab antigen (protein NS1) dari virus dengue dibuat dengan menggunakan teknologi rekayasa genetika.

Pertama, harus dilakukan dahulu perakitan gen NS1 yang berasal dari virus dengue. Setelah itu, gen SN1 dimasukkan ke dalam ragi atau bakteri sehingga dihasilkan genetically modified organism (GMO). Tahap selanjutnya adalah produksi protein rekombinan (protein buatan) NS1 dari ragi GMO atau bakteri GMO. Namun, karena ragi GMO dan bakteri GMO menghasilkan ribuan protein, maka harus dilakukan tahap pemurnian untuk menghasilkan protein rekombinan NS1. “Kesabaran dan ketelatenan memang sangat diperlukan oleh seorang peneliti,” ujarnya.

Hingga kini, kit diagnostik impor tersedia di rumah sakit dan juga lab klinik. Harga jualnya cukup mahal, Rp70.000 hingga Rp150.000. Dari perhitungan kasar, harga protein NS1 dapat ditekan menjadi setengah harga impor sehingga dapat menekan biaya produksi kit diagnostik.

“Kami bekerja sama dengan perusahaan yang memproduksi berbagai kit diagnostik lokal, termasuk kit dengue, menggunakan bahan baku protein NS1 impor. Karena itu, dengan bahan baku protein NS1 yang dihasilkan dari riset kami, maka dapat dibuat kit diagnostik produk lokal yang cepat, sensitif, dan dengan harga yang terjangkau,” papar wanita yang menyukai pemandangan Lembah Harau di Sumatra Barat ini. (f)

Baca Juga: Edith Margareth Awuy Pelangi Setelah Hujan


Topic

#wanitahebat

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?