True Story
Edith Margareth Awuy Pelangi Setelah Hujan

11 Jul 2016


Dalam hitungan 2x24 jam, lutut dan tungkai kaki Edith (36) tidak lagi mampu menopang tubuhnya. Serangan virus yang tak kenal ampun itu terus bergerak, menjalari  tiap jengkal otot-ototnya, membuatnya lumpuh dari leher ke bawah. Dari eksekutf perhotelan yang supersibuk, menjadi sosok tak berdaya yang ‘terikat’ di tempat tidur dan kursi roda.
 
Kemarahannya memuncak ketika maut merenggut ibundanya, meninggalkan Edith sebatang kara. Di saat ia menyerah kalah, Tuhan justru memberinya ‘pena’ dan ‘buku’ baru untuk melanjutkan kisah hidupnya yang belum usai. Untuk mendengar langsung perjuangan hidupnya, femina mengunjungi rumahnya di bilangan Ciledug.
 
Serangan Mendadak
“Saya masih ingat dengan jelas, semua ini berawal di hari Senin, 25 November 2013,” ungkap Edith. Rutinitas yang biasa, yang berlangsung dengan tidak biasa. Pagi itu, beberapa kali ia nyaris terjatuh di kamar mandi. “Tiap hendak menggosok satu kaki dengan mengangkatnya, tubuh saya seperti mau jatuh,” ujarnya, bercerita dari atas kursi roda.
 
Ah, tapi mungkin ini hanya masalah keseimbangan tubuh saja, pikir Edith, menepis herannya saat itu. Masalahnya, gangguan ini tidak berhenti di situ saja. Saat berjalan di tanjakan menuju halte bus TransJakarta, langkahnya terasa begitu berat. Seperti ada beban puluhan kilo menggantungi kedua kakinya. “Saya berjalan seperti melawan gravitasi. Butuh waktu minimal 10 menit untuk mencapai enam anak tangga,” ujarnya. Alhasil, perjalanan Mangga Dua-Thamrin yang biasa ditempuhnya dalam waktu kurang dari 45 menit dengan bus TransJakarta, hari itu molor hingga nyaris dua jam karena ia harus berjalan seperti siput.
           
Begitu tiba di kantor,  tiap kali mencoba berdiri di atas sepatu bertumit tinggi, ia selalu terjatuh. Seketika, tangisnya pecah. Edith bingung, tak tahu apa yang sedang menimpa dirinya. “Sempat terlintas pikiran mistik bahwa saya ‘dikerjai’ oleh orang yang tidak suka pada saya,” ungkap wanita yang saat itu menjabat sebagai manajer front office di sebuah hotel di bilangan Thamrin, Jakarta.
 
Khawatir, Edith segera mengunjungi dokter ortopedi untuk memeriksakan gangguan fungsi kedua kakinya. Baru saja selesai menceritakan gejalanya, dengan serta-merta, tanpa pengecekan medis, dokter berujar bahwa apa yang dialami Edith adalah gejala kelumpuhan. “Cara dokter itu membicarakan kelumpuhan, seperti sedang membicarakan penyakit bisul,” ungkap Edith, yang sangat shock mendengar vonis itu.
 
Mengingat hotel sedang sibuk-sibuknya karena masih preopening, dengan langkah terseok-seok Edith memutuskan kembali bekerja hingga pukul 10 malam. Namun, kakinya kembali berulah. Saat menuruni trotoar untuk masuk ke dalam taksi, ia terjatuh dan menangis. Akhirnya, memakai mobil kantor, Edith diantar pulang ke rumah ibunya di bilangan Ciledug. Sebab, dengan kondisinya saat itu, mustahil ia berjalan menaiki anak tangga menuju kamar kosnya yang terletak di lantai tiga.
 
Di rumah ibunya, kejadian yang sama terus berulang. Kali ini, ia tidak bisa bangkit berdiri dari kursi sofa. Untuk bisa berpindah tempat, ia harus menggeser tubuhnya ke kursi beroda dan didorong. Begitu juga saat bangun tidur, kedua lututnya tidak bisa ditekuk, sakit sekali. Jalannya limbung, sehingga harus dibantu dengan tongkat. “Saya kenapa? Apa yang terjadi pada saya?” tangis Edith putus asa.
 
Setelah sempat diduga mengalami saraf terjepit dan kekurangan kalium, hasil pemeriksaan dokter saraf dan rekam MRI memperkenalkan Edith pada satu jenis penyakit yang belum pernah didengarnya, Guillain-Barre Syndrome (GBS). Ini penyakit langka, berupa gangguan sistem kekebalan tubuh yang menyerang saraf. Umumnya dipicu oleh virus yang membuat sistem imun tubuh mengalami disorientasi dan justru menyerang tubuh sendiri.
 
Tidak diketahui bagaimana virus itu masuk ke tubuhnya, tapi Edith ingat, 10 hari sebelum gangguan ini muncul, ia sempat menderita diare parah. “Dalam sehari saya bisa bolak-balik ke toilet sampai enam kali,” cerita Edith, yang hanya minum obat warung biasa untuk diarenya.  
 
“PANGGILKAN PASTOR!”
Dokter memintanya untuk rawat inap. Ini artinya, ia harus memakai uang pribadi. Sebagai pegawai baru --belum genap tiga bulan bekerja-- ia belum bisa memanfaatkan asuransi kesehatan dari kantor. Sementara, biaya terapi pengobatan yang harus dibayarkan sangat mahal. Ada tiga alternatif yang diberikan dokter, penyuntikan immunoglobulin, plasmaferesis, dan penyuntikan steroid.
           
“Sebenarnya, jika saat itu juga terapi diberikan, dalam waktu 6 bulan  penderita GBS bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Tetapi, saat itu kami tidak punya biaya,” ujar Edith. Ibunya yang telah berusia kepala enam tidak bekerja. Lahir pada 15 Maret 1980 dan dibesarkan dalam asuhan orang tua tunggal, Edith adalah satu-satunya tulang punggung keluarga.
 
Besar biaya yang diminta pihak rumah sakit tidak sesuai dengan dana yang tersedia. Harga satu ampul immunoglobulin Rp2,5 juta. Padahal, ia harus melakukan lima kali sesi penyuntikan, dengan kebutuhan tujuh ampul untuk  tiap sesi. Sementara, untuk terapi plasmaferesis, ia harus membeli 7 botol albumin dengan harga Rp1,6 per botolnya. Bersamaan dengan itu, virus terus mengacaukan sistem pertahanan tubuhnya, hingga hanya dalam waktu 2x24 jam, Edith lumpuh dari leher ke bawah.
 
Agar tidak  makin parah, ia memilih opsi terapi dengan suntik steroid yang paling miring harganya. Namun,  tubuhnya seperti menolak! Ia pun mengalami demam tinggi, lemah, dan mual-mual. Puncaknya di hari ke-4 penyuntikan. “Saya muntah tujuh kali, sampai-sampai tidak ada lagi yang dimuntahkan,” ujar Edith, yang sempat memohon agar terapi steroid dihentikan. Dalam kondisi kritis ini, ia langsung dipasangi oksigen. Di antara napasnya yang tersengal-sengal, ia memohon pada ibunya, “Panggilkan aku pastor!” Sebab, di saat itu, ia benar-benar ingin menyerah saja.
 
Tidak kuat melihat penderitaan anaknya, dan marah kepada para tenaga medis yang dianggap kurang responsif, ibu Edith memindahkan anaknya ke RSCM. Di sana pun, dokter memberikan opsi serupa. Lagi-lagi, mereka dihadapkan pada biaya. Saat itu,   tahun 2013, belum ada sistem BPJS. Akhirnya, selama beberapa hari di sana, Edith hanya mendapat perawatan infus dan obat-obatan peringan rasa sakit yang tidak menyembuhkan. Untungnya, di saat itu Edith sudah genap tiga bulan bekerja, sehingga biaya rawat inap dilunasi oleh kantornya.
 
“Akhirnya saya memutuskan untuk pulang paksa, karena percuma saja berlama-lama di rumah sakit, jika obat yang seharusnya saya dapatkan tidak mampu saya beli,” ungkap Edith. Sejak itulah Edith dirawat di rumah oleh ibunya. Di rumah sederhana berkamar dua itu mereka hanya tinggal berdua. “Sejak lahir, saya tidak mengenal ayah dan tidak tahu bagaimana raut wajahnya. Kalau tidak salah, namanya Ngadino,” ujar Edith, yang mengaku menyimpan kerinduan untuk berjumpa dengan sang ayah. Ibunya, Adeliene Berendina Awuy, membesarkannya seorang diri.
 
Di usia kepala tiga, ketika ia harusnya bisa membahagiakan ibunya dengan pencapaian kariernya, Edith malah kembali menjadi ‘bayi’. Ia tidak bisa bangun sendiri dari tempat tidur. Jika ingin membalikkan tubuh, harus dibantu. Makan dan minum  harus disuapi oleh ibunya. Mandi  pun dimandikan oleh sang ibu, yang   saat itu sudah berusia 61 tahun. Mengingat ini, Edith menangis tergugu. “Hati saya begitu sakit. Rasanya saya gagal menjadi anak,” ujarnya, di tengah isakan.
 
Pukulan penderitaan dan kesedihan karena rasa gagal makin terasa saat karier Edith sebagai manajer front office hotel harus diterminasi. Per 1 April 2014, ia resmi di-PHK. “Mana ada perusahaan yang menggaji karyawan yang tidak aktif?” ujarnya, tersenyum kecut. Meski mengaku bisa memahami keputusan kantornya, saat itu Edith menangis sejadi-jadinya. Sebab, dengan kondisinya yang lumpuh saat itu, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Lalu, bagimana pula nasib mereka ke depan?
 
Namun, tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk menolongnya. Ia memiliki teman dan sahabat yang tidak hanya memberikan semangat hidup, tapi juga dukungan finansial. Sebab, ia sendiri tidak bisa mengandalkan bantuan keluarga besar. “Mereka bukan dari keluarga berkecukupan, dan masih pusing memikirkan kebutuhan mereka sendiri,” ujar Edith, enggan merepotkan mereka.
 
Di luar sumbangan dari teman-temannya, ia mencukupkan diri dengan dana uang tabungan. Lama-kelamaan tabungannya menipis, hingga pada Juni 2014, Edith harus mencairkan dana Jamsostek yang dikumpulkannya dari beberapa hotel tempatnya pernah bekerja. “Jumlahnya lumayan untuk menyambung hidup,” ujarnya, penuh syukur.
 
Menjemput Pelangi
Di atas meja ruang tamu, di antara tumpukan album foto, berdiri pigura yang membingkai foto Adeliene. Senyum hangat terukir di wajah cekung wanita berkacamata itu. Foto ini yang dibawa Edith saat mengantarkan penguburan mamanya, September 2014. Sejak saat itu pula, Edith sebatang kara. “Malam setelah menguburkan Mama, saya tinggal seorang diri di rumah,” ujar Edith, sambil menghapus air mata. Dua anjing peliharaannya, Kyla dan Brownies, yang ia sebut sebagai ’anak-anaknya’, menjadi teman setianya dalam keseharian.
 
Sembilan bulan tidur di ranjang yang sama, Edith benar-benar tidak mengetahui penyakit kanker yang sedang menggerogoti payudara ibunya. Bayangan penderitaan itu tidak terekam di wajah ibunya yang selalu sabar dan penuh kasih merawat Edith. “Mama begitu lihai menyembunyikan penderitaannya hanya agar saya tidak khawatir,” ujar Edith, merasa bersalah tidak mengetahui penderitaan mamanya lebih cepat.
 
Edith baru curiga ketika ia mencium bau busuk menguar dari tubuh ibunya saat sedang memandikan dirinya. Payudara yang dulu mengalirkan air kehidupan di tubuh Edith itu mulai membusuk digerogoti sel ganas kanker. Tak sanggup menghadapi kenyataan ini, Edith hanya bisa menangis histeris. Sementara Adeliene sendiri  berupaya sekuat tenaga memaksimalkan hidupnya untuk merawat putri semata wayangnya. Bahkan,  Adeliene tersinggung saat lingkungan Katolik di tempat tinggalnya memanggil pastor untuk memberikan sakramen perminyakan kepadanya.
 
“Seperti orang mau mati saja,” protes Adeliene, yang mentalnya makin melorot sejak mendengar vonis kanker dari dokter. Padahal, sakramen perminyakan tidak hanya diberikan kepada mereka yang akan meninggal, tapi juga diberikan sebagai penguatan. “Siapa tahu ada keajaiban dan Mama bisa sembuh,” bujuk Edith, yang akhirnya berhasil melunakkan hati Adeliene.
 
Namun, rancangan Tuhan memang jauh dari rencana manusia yang terbatas dalam pengertian. Setelah beberapa hari dirawat di rumah, siang itu, 30 September 2014, sekitar pukul 12, Adeliene berpulang ke rumah Bapa di surga.
 
Tidak ada kata perpisahan dari mamanya. Siang itu Edith terbangun, dan melihat selang oksigen telah bergeser dari lubang hidung ibunya. Hanya, sebelum itu Edith bermimpi kembali ke masa kecil, bermain di hamparan padang indah. Dari jauh, di bawah rindang pepohonan, ia melihat mamanya tersenyum kepadanya dan melambaikan tangan. Ia tidak menyangka, itu adalah cara Adeliene mengucap perpisahan kepadanya.
 
Battle terbesar saya adalah kehilangan Mama,” ujar Edith. Sembilan hari ia berdoa Novena, memohon keajaiban, tapi dua hari kemudian Tuhan tetap mengambil mamanya. Harta paling berharga satu-satunya di dunia seolah telah direnggut paksa darinya. Ia marah kepada Tuhan!  Tak ubahnya anak ayam kehilangan induk, ia harus berjuang mengatasi rasa kehilangan sosok yang selama ini menjadi ‘jangkar’ sekaligus ‘tongkat’ baginya.
 
Tinggal seorang diri di rumah, ia linglung, tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. “Karena tidak tahu bagaimana kencing di pispot, akhirnya saya menumpuk kain-kain di atas tempat tidur untuk menyerap air kencing saya,” ujarnya. Lagi-lagi  Tuhan tidak tinggal diam. Ia memakai orang-orang terdekat di lingkungannya, yaitu para tetangga, untuk menolong Edith. Ada yang mengirimkan makanan, membantu membersihkan rumah, bahkan membopongnya dari tempat tidur ke kamar mandi agar ia bisa membersihkan diri.
 
Sebab, ketika ibunya masih hidup, Edith begitu dimanja, semuanya  disediakan Adeliene di atas tempat tidur. Ia tidak terlatih untuk menarik tubuh dari tempat tidur ke kursi roda. Ia juga selalu dimanja dengan makanan-makanan enak, sehingga bobot tubuhnya melonjak hingga belasan kilogram! Alasan ini pula yang akhirnya membuatnya tidak enak harus merepotkan orang menggotong tubuhnya. Tak mau terus-terusan bergantung pada orang, ia mulai memaksa diri untuk bangkit.
 
Di luar itu, sahabat-sahabatnya semasa SMP, SMA, kuliah, dan teman-teman di tempat kerja secara bergilir memberikan bantuan. Ada yang memberikan uang bulanan baginya, membayarkan tagihan listrik, bahkan membiayai terapi plasmaferesis dan fisioterapi yang dijalaninya sekarang. Kini, melihat ke belakang, Edith menyadari betapa di balik keputusan yang terlihat ‘kejam’ ini, Tuhan memiliki rencana besar pemulihan baginya.
 
Tidak hanya bisa berpindah dari tempat tidur ke kursi roda, kini ia makin lihai mengolah masakan sendiri yang diambil dari buku catatan resep tulisan mamanya. Rupanya, sudah banyak yang mengakui kelezatan hasil olahan tangannya. Ada sambal goreng udang petai, berbagai masakan pasta, hingga soto Betawi yang printilan bumbu dan bahannya banyak.
 
“Paling heboh saat masak soto Betawi. Mulai masak dari pagi, baru selesai jam setengah delapan malam,” cerita Edith, geli. Maklum, walau sudah bisa dipakai memegang, tangannya masih tremor. “Judulnya mengiris bawang, tapi saya memegang pisau seperti mau bunuh orang,” lanjutnya, terbahak. Tiap selesai memasak, ia akan mengunggah foto-foto masakannya di Path dan panen pujian. Di media sosial yang sama, ia juga mengabarkan  tiap kemajuan fisik yang dicapainya, misalnya sudah bisa memegang gelas, memakai kaus kaki sendiri, atau berjalan dengan walker sejauh 150 langkah.
 
“Path sudah seperti buku harian saya. Dengan cara begini, teman-teman yang tidak sempat bertemu langsung bisa mengikuti perkembangan kesehatan saya,” ujar wanita yang sudah tidak takut lagi bepergian dengan kursi roda untuk menjalani fisioterapi di Rumah Sakit Dokter Suyoto ini. Apalagi, di era digital, ia hanya perlu memesan mobil via ponsel.
 
“Tidak ada yang tidak mungkin, jika kita mau terus berusaha,” ujar Edith, tersenyum. Memanfaatkan bantuan jejaring pertemanan, beberapa waktu ini ia sudah bekerja  sebagai tenaga lepas dari rumah. Sebagai administrasi toko online  Ann & Baby Shop milik temannya, dan di divisi customer experience di Grab. Di tempat terakhir, tugasnya adalah membalas e-mail pelanggan yang masuk. “Target saya 100 tiket dalam sehari,” ujarnya, senang.
 
Sepasti munculnya pelangi setelah hujan, kini ia bisa memahami rencana Tuhan dan janji penyertaan-Nya. Ia mengakui, kalau saja mamanya masih ada, mungkin ia tidak akan percaya bisa berada di titik kemandiriannya sekarang. Meski saat ini pendapatannya belum bisa menutup seluruh kebutuhan hidup,   kembali bekerja (meski dari rumah) ikut mendorong semangat hidupnya. Bahkan, ia mulai menyusun target-target di masa depan.
 
“Jika Tuhan memperkenankan saya berjalan lagi, saya ingin kembali ke dunia perhotelan, lalu mengumpulkan modal untuk membuka usaha kuliner,” ungkap Edith,  berbinar. Ia senang,  justru di tengah keterbatasannya, ia berhasil menemukan passion barunya. “Tunggu kedahsyatan rica-rica ayam galau hasil olahan saya!” kata wanita yang bercita-cita membuka warung makan ini, tertawa. (f)
 


Topic

#kisahsejati

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?