Health & Diet
Kasus Vaksin Palsu, Ini Solusi Pemerintah

17 Aug 2016


Foto: Stocksnap.io

Minimnya pengetahuan masyarakat soal vaksin dan celah permainan harga dinilai banyak pihak sebagai salah satu penyebab vaksin palsu akhirnya bisa leluasa beredar di rumah sakit dan klinik. Menurut Drs. Arustiyono, Apt, M.P.H., Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT BPOM, ada kecenderungan masyarakat kelas menengah atas lebih senang dan percaya menggunakan vaksin-vaksin impor yang hargaya mahal. "Padahal, vaksin impor inilah yang justru ditemukan vaksin palsu karena lebih menguntungkan,” jelas Arustiyono.
           
Selama ini, soal distribusi vaksin, BPOM telah memiliki aturan yang ketat dengan menerapkan prosedur CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik). Vaksin  misalnya, hanya didistribusi oleh pedagang besar farmasi (PBF) yang telah mendapatkan izin dari Kementerian Kesehatan. Untuk dapat menjadi distributor vaksin, PBF harus berbentuk PT, memiliki kelengkapan alat seperti pendingin khusus vaksin, serta SOP yang baik.

Baca:  Geger Vaksin Palsu Berikut 10 Fakta yang Perlu Kita Tahu Agar Tidak Panik

Untuk mencegah masuknya vaksin palsu, menurut Arustiyono, sarana layanan kesehatan seperti rumah sakit dan klinik perlu menerapkan prosedur CDOB dan memiliki orang-orang yang kompeten dalam menyediakan vaksin dan obat yang sesuai standar. Pihak rumah sakit dan klinik harus bisa mengendalikan sistem pengadaan di tempatnya secara satu pintu lewat instalasi farmasi rumah sakit.

“Seperti Aska Medika yang menjadi perusahaan distributor vaksin palsu ini, mereka tidak memiliki izin sebagai pengedar obat. Bentuk usahanya saja CV. Padahal, untuk menjadi distributor obat, badan usahanya harus PT. Seharusnya hal ini saja sudah menjadi kecurigaan,” katanya.

Namun, sejak berlakunya peraturan Kementerian Kesehatan No 35 tahun 2013, pengawasan terhadap sarana pelayanan medis dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kota, termasuk soal penyediaan farmasi di rumah sakit. Absennya kehadiran BPOM dalam pengawasan di hilir ini memang menjadi kendala tersendiri, karena Dinas Kesehatan Kabupaten Kota sudah pasti memiliki keterbatasan dalam hal pengujian di laboratorium.

Itu sebabnya, menurut Arustiyono, ke depannya BPOM akan berkolaborasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten lewat balai POM di berbagai daerah untuk melakukan sampling terhadap vaksin dan obat-obatan yang beredar. Dengan cara ini diharapkan ke depannya penyebaran vaksin dan obat palsu bisa dicegah.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi S.H., mengecam kasus peredaran vaksin palsu yang sangat merugikan konsumen kesehatan di Indonesia. Itu sebabnya, ia sangat mengharapkan ada koordinasi yang aktif dari pemerintah, BPOM, dan pihak terkait lainnya untuk menuntaskan kasus peredaran vaksin palsu.

Tulus menyayangkan adanya sikap pemerintah yang terkesan lepas tangan setelah mengumumkan 14 rumah sakit yang dinyatakan menggunakan vaksin palsu. Manajemen rumah sakit pun terkesan bingung dan defensif menghadapi tuntutan dari para korban. “Konsumen atau pasien tidak terinformasi tentang dampak vaksin palsu. Mereka juga tidak memiliki medical record yang baik. Tak heran jika pada akhirnya pasien menjadi lebih panik dan cenderung anarkis,” ungkap Tulus.

Nada kecewa disampaikan oleh Anggia Ratna (32). Ibu rumah tangga yang tinggal di Surabaya ini melihat kasus vaksin palsu ini sebagai tamparan keras bagi semua rumah sakit di Indonesia untuk lebih meningkatkan kualitas manajemennya. Ia pun berharap ada kerja sama yang baik antara dokter spesialis anak dan pihak rumah sakit untuk menginformasikan lebih jelas tentang vaksin apa saja yang beredar di Indonesia.

“Pihak RS juga harus bersikap terbuka vaksin apa saja yang tersedia. Sebab, informasi semacam itu akan membuat para ibu merasa yakin dan nyaman untuk mengimunisasikan anak-anaknya,” jelas Anggia.

Kini, Anggia mengaku menjadi lebih waspada. Ia juga menjadi lebih aktif bertanya, baik kepada dokter maupun RS mengenai kejelasan vaksin. “Setidaknya, para ibu harus tahu seperti apa kemasan vaksin yang asli supaya tidak salah pilih vaksin,” katanya.

Baca: Geger Vaksin Palsu, Waspadai Peredaran Obat Palsu, Tak Hanya Vaksin 

Di sisi lain, Dr. dr. Soedjatmiko, SpA(K), M.SI., Anggota Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDAI) dan Staf Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI – RSCM, mengimbau para orang tua untuk tidak perlu khawatir dengan kasus ini dan berharap tetap memberikan vaksin kepada anak-anaknya. “Karena jika tidak mendapatkan vaksin berarti membiarkan anak tidak terlindungi dari penyakit berbahaya yang bisa menimbulkan sakit berat dan cacar,” jelasnya.

Selama ini, pemenuhan vaksin di dalam negeri melalui dua jalur yaitu vaksin lokal yang diproduksi oleh PT Biofarma (sebagai satu-satunya perusahaan farmasi yang memproduksi vaksin) dan vaksin impor. Vaksin lokal produksi PT Biofarma ini harganya relatif murah, tidak lebih dari 1 dolar AS. Vaksin ini pula yang digunakan pemerintah selama ini dalam program imunisasi nasional.

Vaksin Pentabio, yang merupakan vaksin DPT buatan PT Bio Farma misalnya, sudah diteliti di Bandung dan Jakarta dengan subjek 800 anak usia 2-24 bulan. Vaksin ini terbukti aman dan dapat meningkatkan antibodi dengan signifikan sehingga mampu menghadang penyakit tersebut. Vaksin Biofarma ini juga telah dipakai oleh 132 negara di dunia dan terbukti aman dan efektif.

“Rasanya orang tua tidak perlu ragu dengan vaksin produksi lokal. Harganya juga tidak menguras kantong, bahkan jika melakukan vaksinasi di puskesmas, semuanya gratis,” kata dr. Miko. (f)


Baca juga: Menelusuri Peredaran Vaksin Palsu

Faunda Liswijayanti


Topic

#vaksin, #imunisasi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?