Health & Diet
Geger Vaksin Palsu dan Perlunya Cermat Memilah Informasi tentang Vaksin

1 Jul 2016


Foto: Stocksnap.io

Di Indonesia,  kekhawatiran akan dampak buruk yang ditimbulkan vaksin juga dilandasi oleh berbagai alasan. Salah satunya yang berkembang adalah anggapan bahwa vaksinasi adalah racun hasil konspirasi Yahudi – Amerika yang bertujuan melemahkan otak anak-anak negara muslim, termasuk Indonesia.

Namun kenyataannya, menurut data Unicef mengenai cakupan imunisasi di beberapa negara pada tahun 2012, Amerika Serikat dan Israel termasuk negara yang cakupan imunisasinya tertinggi. Menurut data yang dimuat dalam buku Kontroversi Imunisasi, Bunga Rampai Kedokteran Islami, cakupan imunisasi untuk vaksin BCG, DPT 3, Polio 3, Measles, dan Hep B 3 di Amerika Serikat dan Israel mencapai 95% - 98%.

Bahkan, di Arab Saudi yang merupakan negara Islam dan Malaysia yang juga mayoritas penduduknya beragama Islam, cakupan imunisasinya sangat tinggi, antara 97% - 99%. “Jika memang vaksin mengandung racun dan ditujukan untuk membuat generasi suatu negara menjadi bodoh, untuk apa Amerika dan Israel melakukannya terhadap warganya sendiri? Lalu, mengapa Arab Saudi dan Malaysia bisa teperdaya oleh teori konspirasi itu?” papar dr. Siti Aisyah Ismail.

Hingga saat ini, Indonesia memang belum mampu memproduksi vaksin sendiri. Sehingga, mayoritas vaksin diimpor dari Amerika maupun negara-negara di Eropa. “Biaya produksi vaksin sangatlah mahal karena proses penelitian yang panjang, standardisasi keamanan produksi yang sangat tinggi, dan harus melalui serangkaian good clinical practice yang panjang. Berbeda dari produksi obat-obatan,” jelas dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A (K), Seketaris IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), Penasihat PROKAMI (Perhimpunan Profesi Kesehatan Muslim Indonesia), dan founder Rumah Vaksinasi.

Yang kemudian menjadi persoalan, seiring dengan kekhawatiran akan vaksin –dengan alasan apa pun-- maka muncul gerakan untuk menolak vaksin dan imunisasi. Penolakan ini kemudian dibarengi dengan menumbuhkan kesadaran untuk mengandalkan imunitas alami tubuh dan memaksimalkan fungsinya untuk menangkal penyakit melalui jalur herba.

dr. Piprim menilai, anggapan bahwa obat herba selalu lebih baik dibandingkan obat-obatan kimiawi adalah dikotomi yang keliru: tidak semua yang nonherba merupakan obat kimiawi. “Banyak obat-obatan modern, seperti antibiotik dan penisilin, yang berasal dari herba. Hanya,  sudah melalui proses ekstraksi sehingga hadir dalam bentuk pil, tablet, atau kapsul,” jelasnya. Masyarakat perlu lebih cerdas dalam memilah-milah penggunaan pengobatan herba atau thibun nabawi sesuai kondisi kesehatan dan penyakitnya. (f)

 

Eka Januwati



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?