Fiction
Susun Tarah [4]

4 Sep 2016


Bagian 4
 
Kisah sebelumnya:
Juniar, wanita muda dari keluarga ningrat di Bumi Betuah, kawasan yang terletak di Sumatra Selatan.  Di usianya yang relatif matang, Juniar jatuh hati kepada Kurman. Juniar pun mulai mencari tahu latar belakang Kurman. Juniar   tahu bahwa Kurman adalah putra Nyonya Adiguna, musuh bebuyutannya di masa kecil. Dia pun merencanakan strategi untuk meraih hati Kurman dan ibunya.
 
 
Semula Kurman Azlani Adiguna belum mau pulang ke Sumatra, sama seperti kedua kakaknya: Karman Azlani Adiguna dan Karmin Azlani Adiguna. Mereka hanya menengok ibunya setahun sekali  tiap musim liburan sekolah. Tapi, sang ibu kemudian berkata pada anak bungsunya yang masih bujangan. “Kalau mau melihat ibumu sedho dengan perasaan damai dan bahagia, kembalilah dan tinggal di Kampung Bumi Betuah. Ibu akan mendoakan sepenuh hati semoga usahamu di sini maju berkembang dalam berkah. Ibu juga akan mendoakan semoga kau dapat jodoh gadis Bumi Betuah yang cantik dan saleha.”
Mendengar seorang ibu berkata begitu dengan penuh harap, hati Kurman yang bersih dan saleh tak dapat lagi menolak. Bukankah surga di bawah telapak kaki ibu?
Baktinya kepada sang ibu itulah yang membuat Kurman terlihat lebih tampan dari yang sebenarnya. Hingga suatu hari Kurman bertanya pada sang ibu. “Di Kampung Bumi Betuah ini ada banyak gadis, dari yang masih belasan tahun hingga yang menjelang tiga puluh. Di antara gadis-gadis yang Ibu kenal, jika boleh menyebut satu nama, siapa yang Ibu harapkan jadi menantu? Siapa yang Ibu sebut namanya dalam doa untuk dipintakan kepada Tuhan sebagai istri saya?”
Nyonya Adiguna tersenyum. “Namanya Juniar,” jawabnya, sambil menerawang jauh.
“Juniar?! Apa tidak salah?! Apa tidak terlalu tua? Umurnya sama dengan saya, tidakkah lebih baik cari yang masih belia? Mangga muda yang ranum-ranum? Sepertinya si Juniar itu agak egois dan keras kepala. Di madrasah dulu kami sempat bertengkar beberapa kali. Saya mengejeknya pencuri mawar, dia mengejek saya pencuri sandal.”
“Karena itulah Ibu mendoakan semoga kalian berjodoh.”
“Supaya Ibu bisa sering mendengar pertengkaran antara kami?”
“Bukan! Supaya Ibu bisa membuat kalian akur dan….”
“Dan apa?”
“Dan membuatkan cucu yang banyak untuk Ibu mengisi hari tua. Nanti kalau sudah punya cucu, Ibu mau berhenti berdagang di pasar-pasar. Ibu mau fokus momong cucu-cucu, mau mendongeng Ande-Ande Lumut, Rara Jonggrang, atau Aryo Penangsang.”
Kurman protes. “Itu dongeng untuk orang dewasa, anak kecil itu cocoknya didongengi Pangeran Palasara yang memelihara anak burung di atas kepalanya.”
Lalu ibu dan anak itu tertawa!
“Tapi kata orang-orang, Juniar itu masih keturunan bangsawan, lho, masih berdarah biru, kayak keturunan keraton di Yogya. Kira-kira orang tuanya mau tidak, ya, menerima lamaran kita?” ujar sang ibu.
“Kalau dia tidak mau, masih ada seribu gadis yang antre untuk jadi calon menantu Ibu,” jawab sang anak. “Lagi pula, kalau hanya menaklukkan si Juniar itu, urusan keciiillll.”
Hallah! Kok, le kemaki temen! Wong nggantengmu ora sepiro! Sama bapakmu zaman muda saja masih gantengan bapakmu.”
Ngapusi, di rumah Si Mbah di Yogya ada fotonya Bapak zaman masih muda, Ngganteng-nya cuma mirip El-Manik gitu, kalau saya kan gantengnya mirip Barry Prima.”
Anak dan ibu itu kembali tertawa renyah.
“Coba kamu kirimi si Juniar surat,” usul sang ibu.
“Tenang saja, meskipun cantik, wanita Indonesia itu rumusnya sama: umur belasan siapa saya, umur dua puluhan siapa kamu, umur tiga puluhan siapa saja asal masih singgel, umur memasuki empat puluh siapa saja asal lelaki. Dan umur si Niar sudah mulai memasuki rumus siapa saja.”
Hus! Ada-ada saja, enggak tau apa kalau Niar sudah menolak banyak lamaran.”
“Justru itu,  makin banyak dia menolak lamaran,  makin banyak yang mendoakan supaya dia jadi perawan tua. Memang enak?”
 
***
Bab 4: Seribangan
Niar betul-betul bersyukur ketika ia menerima sepucuk surat dengan amplop formal dari toko kain Adiguna, sengaja benar dialamatkan ke sekolah tempat Niar mengajar. Semula dipikirnya itu surat tawaran kerja sama dari Nyonya Adiguna untuk membeli kain ke tokonya saja bila pihak sekolah ingin bahan praktik, bisa diskon lebih untuk pembelian kontinu jangka panjang.
Rupanya, dalam amplop formal itu masih ada amplop lagi, warna merah muda. Aih… centil sekali amplopnya, bisik hati Niar, mana ada gambar hati bertebaran. Dan, begitu dia membaca siapa pengirimnya, nyaris saja dia memekik riang! Tapi, dia wanita dewasa yang tahu sopan-santun. Apa kata para guru dan para murid jika tiba-tiba ia memekik riang seperti anak ABG yang baru pertama kali menerima surat cinta dari sang pujaan hati.
Niar tak mungkin bisa membaca surat dari Kurman secara leluasa di sekolah, kecuali jika ia membacanya di toilet. Dan, rasanya sangat tidak sopan membaca surat calon suami di toilet, padahal ia tak tahan ingin  segera tahu apa isinya. Maka, ia pamit kepada kepala sekolah, bilang ada urusan darurat yang sangat penting, menyangkut masa depan! Ibu kepala sekolah mengizinkan, dengan syarat; sebelum pulang siapkan dulu tugas untuk murid-murid supaya mereka tidak berisik dan mengganggu kelas sebelah yang sedang belajar.
Niar tak sanggup menahan lebih lama lagi, ia tak sabar menuju rumah, ngebut sejadi-jadinya dengan motor metik-nya yang trendy. Ingin segera sampai dan masuk kamar lalu tengkurap di kasur sambil membaca surat dari Kurman. Baru sampai di bawah beranda rumah, dia memarkir motornya, lupa membuka helm dan lupa mengucap  salam, langsung masuk kamar dan mengunci pintu dari dalam.
Niar langsung membuka tas, mengambil surat Kurman, lalu tengkurap di ranjang dan mulai membaca. Perasaannya berdebar-debar, surat apakah gerangan? Surat cintakah? Surat ajakan berbisniskah? Masa surat bisnis pakai amplop merah muda? Atau, jangan-jangan Kurman hanya merayu? Oh! Apa pun itu, Niar segera membaca deretan huruf yang menurutnya sangat indah.
 
My dear!
Jumat beberapa minggu lalu kau datang, membawakan beteri mandi, rasanya sungguh enak, aku jengkel sekali pada Ibu karena mengembalikan beteri mandi itu padamu. Ibu hanya mengambil tiga sendok kecil, satu sendok dicicipi sendiri dan dua sendok lagi disimpan dalam piring kecil untukku. Heran sekali rasanya begitu tahu kalau beteri mandi itu darimu, bagaimana mungkin kamu sampai hati memberiku beteri mandi dua sendok kecil? Niat memberi apa tidak? Lalu Ibu mengatakan bahwa sebenarnya kamu memberi satu mangkuk lumayan besar, tapi Ibu tak tega mengambil semuanya, sebab jika mangkuk itu kosong, dengan makanan apa Ibu akan membalasnya? Saat itu di rumah tak ada makanan yang Ibu rasa sepadan dengan kelezatan beteri mandimu. Aku berpesan pada Ibu, kalau kamu memberi beteri mandi lagi, dan itu kupikir kecil sekali kemungkinannya, akan kuambil semuanya dan akan kumakan sendiri, Ibu cukup mencicipi satu sendok saja!
 
My dear!
Aku benar-benar tak menduga jika Jumat berikutnya kau datang lagi mengantar beteri mandi. Aku sangat bersukacita dan berebut bersama Ibu menghabiskannya. Aku lebih tidak menduga ketika di Jumat-Jummat berikutnya kau rutin mengantar beteri mandi. Aku sampai datang ke rumah adat selaso jatuh kembar dan membaca buku-buku adat budaya Melayu Semende. Rupanya, jika ada seseorang yang memberi beteri mandi lebih dari tiga kali, berarti ia mengajak berdamai dan bersahabat. Jika maksudmu memang begitu, maka aku dan ibuku dengan senang hati menyambut perdamaian dan persahabatan. Tapi, tertulis pula dalam kitab adat, bila seorang gadis memberi beteri mandi pada seorang bujang, itu tandanya mengharap cinta? Benarkah begitu? Harap beri jawaban yang pasti, jangan memberi harapan palsu, sebab ibuku telah menasihatiku untuk berhenti memberi harapan palsu.
 
My dear!
Terlepas dari apakah kitab adat tentang beteri mandi itu benar atau hanya lelucon, kupikir kita sudah sama-sama cukup umur untuk membicarakan apa pun secara dewasa. Mungkin kita bisa bertemu dan berbincang berdua saja, dari hati ke hati, tentang harapan dan rencana masa depan masing-masing, apa yang belum tercapai dan apa yang ingin dicapai dari persahabatan yang kau isyaratkan dengan beteri mandi.
My dear!
Kutunggu jawabanmu!
Segera!
Dari yang penasaran: Kurman Azlani Adiguna
 
Niar membaca surat itu berulang-ulang, hingga ia yakin benar apa maksud surat itu. Lalu berlembar-lembar surat balasan ia tulis, mengalir bagai air bah yang lama terbendung. Lebih dari tujuh lembar surat telah selesai digoreskan, Niar mencoba membaca ulang surat balasannya tersebut, mendadak dia tak percaya diri, kenapa suratnya jadi mirip orang lagi curhat, ya? Dalam surat balasan itu Niar menuliskan tentang tragedi tiga tangkai mawar ungu, tentang nasihat Bu Fatonah mengenai doa dan jodoh, tentang perasaan Niar pada Kurman yang bermula di hari Jumat, hingga beteri mandi. Akhirnya tujuh surat itu dilipat, diselipkan dalam buku harian.
Lama Niar berpikir, hingga kemudian ia menulis surat jawaban yang sangat pendek untuk Kurman:
 
My dear!
Apa yang tertulis dalam kitab adat tentang beteri mandi itu benar!
Sebagaimana yang tertulis dalam kitab adat, seperti itu pula perasaanku padamu!
Jika engkau punya perasaan yang sama, balaslah beteri mandiku dengan beteri mandi pula. Jika perasaanmu tak sama, kirimkan saja semangkuk nasi putih padaku, itu perlambang bahwa engkau tak ada rasa apa-apa padaku, ibarat nasi putih yang masih suci!
 
Dari yang ingin tahu isi hatimu:
Juniar Wulandari
 
Setelah membaca surat balasan dari Juniar, Kurman menyilakan ibunya turut membaca.
“Lalu?” tanya Nyonya Adiguna. “Kita bikin kolak atau ngeliwet?”
Lha? Ibu maunya apa?” Kurman bertanya mencandai ibunya.
Lha? Piye to? Kamunya suka ndak sama Niar?”
“Ibu sendiri mau apa tidak?”
“Kan yang mau kawin kamu, kenapa tanya Ibu?”
Lha, Ibu mau enggak punya mantu Niar?”
Yo mau, kok, yo!”
Lah gitu, kan jadi lega, kita bikin kolak!”
Pada petang Jumat berikutnya, Kurman dan Nyonya Adiguna bersiap-siap menunggu di beranda rumah, menanti-nanti  kedatangan Niar. Di meja dapur sudah ada semangkuk kolak yang penuh makna. Nyonya Adiguna sudah berdandan cantik, berkebaya dan bersanggul. “Kayak mau kondangan saja, Bu?” ledek Kurman, yang hanya memakai kaus oblong dan celana denim.
Hus! Mau menyambut calon mantu resmi, ya, harus cantik! Sebab, kalau mau diurut-urut sampai panjang, kita ini mungkin masih mambu keturunan Raja Mataram!”
Hallah! Cinta itu ndak perlu mambu-mambu keturunan raja, mending kalau rajanya itu orang yang saleh, jujur serta adil dan peduli nasib rakyat. Orang kebanyakan raja zaman dulu kan otoriter dan tirani. Buku sejarah banyak yang menuliskan begitu.”
Tak lama, Niar datang membawakan semangkuk beteri mandi!
Gadis itu sebelumnya malu sekali, bimbang antara datang atau tidak, sebab kini Nyonya Adiguna dan Kurman sudah dapat membaca maksud kedatangannya. Tapi, hati kecilnya berbisik, “Datang! Harus datang! Jodoh itu harus diperjuangkan dengan usaha dan doa!”
Setelah berhadapan, rupanya bukan cuma Niar yang grogi. Nyonya Adiguna juga agak salah tingkah, tapi dia pandai berbasa-basi ala Jawa yang formal, menanyakan kabar, mengulurkan tangan, memeluk dan mempersilakan Niar duduk. Sementara Kurman hanya mematung di kursi, berusaha tersenyum.
“Silakan ngobrol dulu, Ibu tinggal sebentar,” ujar Nyonya Adiguna, sambil membawa mangkuk beteri mandi masuk.
Sepeninggal ibunya, Kurman dan Niar hanya duduk berhadapan tanpa suara, sesekali saling pandang, lalu sama-sama menunduk malu.
“Tadi siang saya dan Ibu heboh sekali bikin kolak,” ujar Kurman perlahan. “Nanti beteri mandimu akan mendapatkan balasan yang sama, mungkin rasanya tak seenak punyamu, tapi yang pasti jawaban saya dan Ibu bukan nasi putih.”
Kurman sudah membaca dalam kitab adat Semende, bahwa nasi putih itu lambang penolakan secara halus, menolak dengan hati putih bersih tanpa ada niatan menyakiti. “Heran juga rasanya, di zaman secanggih ini kita masih memakai adat dan simbol-simbol ratusan tahun silam,” lanjut Kurman. “Bagaimana pendapatmu?”
Percakapan itu baru hendak mengalir.
Nyonya Adiguna muncul di balik daun pintu, memanggil Niar, mengajak ke dapur, minta diajari membuat beteri mandi ala Semende.
“Kau harus membagi resepnya pada Ibu,” ujar Nyonya Adiguna. Berdua mereka duduk di kursi dapur menghadapi dua mangkuk: satu kolak dan satu beteri mandi. Mereka bergantian mencicipinya.
“Kenapa bikinan saya tak seenak bikinanmu?” tanya Nyonya Adiguna.
“Enak, kok, Bu, siapa bilang tak enak,” jawab Niar sungguh-sungguh. “Hanya saja bikinan Ibu dominan rasa manis. Kabarnya, manis itu rasa yang disukai orang-orang Jawa di Yogya, benar begitu?”
“Ya, kalau bikin kolak ndak manis, ya, ndak marem! Ndak puas! Kalau kolak kurang manis, dikira kehabisan uang untuk beli gula.”
Dan mereka tertawa, Kurman melihat dua wanita terkasih itu dari beranda. Hatinya menjadi yakin, dua wanita itu akan cocok menjadi mertua dan menantu.
 
***
 
 
Bab 5: Susun Tarah
Setelah beteri mandi saling berbalas, Kurman datang bertamu ke rumah Juniar pada malam Minggu. Dia diterima oleh Bapang dan langsung ditantang main catur dengan ayah Juniar itu.
Kurman gelagapan. “Saya sama sekali tidak bisa main catur, Pak Cik, sungguh!” ujar Kurman, bingung. “Saya bahkan tak tahu kenapa permainan catur bisa disebut dalam kategori olahraga.”
“Kalau begitu, sekarang saatnya kau belajar,” jawab Bapang, sambil membuka papan catur dan mulai menyusun pion-pion putih. Kurman masih diam, duduk kagum melihat calon ayah mertuanya menata anak-anak catur.
“Oi! Tunggu apa lagi? Ayo, susun buah-buah catur yang hitam, ikuti cara saya meletakkan posisinya,” suruh Bapang.
Kurman terpana! Untung Niar sudah kembali ke dapur. Anak gadis tabu ikut duduk bersama ayah dan tamu lelaki di ruang utama, kecuali jika penting sekali untuk ikut, itu pun tak boleh lama-lama, selesai urusan, langsung masuk.
 Rupanya, permainan antara Kurman dan Bapang hanya berlangsung tiga ronde singkat. Lalu Bapang mulai menanyai apa sebenarnya hubungan antara Kurman dengan anak gadisnya. Kurman menjawab jujur, kalau direstui hendak menuju ke jenjang hubungan yang lebih serius: pernikahan! Membangun rumah tangga!
“Apa ibu dan keluargamu sudah mengetahui hal ini dan memberi restu?” tanya Bapang sungguh-sungguh.
Insya Allah merestui semua, Pak Cik,”  jawab Kurman. “Saya dan Niar juga sudah bersepakat, tinggal Pak Cik dan sanak keluarga saja lagi yang belum kasih restu.”
“Baiklah, besok pagi kau datanglah ke rumah adat Selaso Jatuh Kembar, baca buku adat pernikahan suku Semende berjudul Susun Tarah. Baca semua dan pahami benar-benar, terutama bab tunggu tubang. Kalau kau dan keluargamu sanggup memenuhi semua aturan adat yang tertulis, maka saya dan seluruh sanak famili akan merestui. Kalau tidak, silakan cari gadis lain, sebab Niar itu tunggu tubang, bukan gadis biasa yang bisa dibawa-bawa merantau meninggalkan kampung ini. Paham kau?”
“Ya Pak Cik, akan saya pahami,” jawab Kurman.
Lalu Bapang menyilakan Kurman meminum kopi yang sudah jadi dingin. Menurut Bapang, kopi dingin tak selamanya buruk, sebab bisa diminum sekali tandas. Berbeda dengan kopi panas yang hanya bisa diseruput sedikit demi sedikit hingga jadi dingin.
 
*****
Berdua dengan ibunya, Kurman mendatangi rumah adat dan membaca kitab Susun Tarah. Setelah hati mantap ingin menikah, pertama-tama yang harus disiapkan adalah keluarga untuk naikkah rasan, berasan atau berembuk, bermusyawarah untuk menentukan tanggal baik dan hari baik. Lalu pihak pengantin pria harus ngantat perbie; menyerahkan perbie atau seserahan. Zaman dulu perbie adalah perlambang kekayaan pengantin pria. Perbie kerbau atau sapi jantan untuk keluarga ningrat, upacaranya bimbang rami, pesta tujuh hari tujuh malam, orang sekampung diundang semua. Perbie kambing atau biri-biri jantan, untuk keluarga menengah, upacaranya bimbang sedang, pestanya tiga hari tiga malam, yang diundang hanya kampung satu rurungPerbie ayam jantan untuk keluarga sederhana, upacaranya ambil pantas, pestanya cukup sehari semalam, yang diundang hanya kerabat dekat, tetangga dekat, sanak famili.
Kurman berpikir lama dan berbicara dengan ibunya. Mereka memutuskan untuk memberi perbie kambing jantan. Perbie itu harus diantar ke rumah pengantin wanita beberapa hari sebelum ijab kabul. Kambing jantan tidak diantar hanya sendiri saja, kambing jantan itu harus diantar bersama berkulak-kulak beras putih dan beras ketan, juga beras merah dan beras ketan hitam dalam jumlah tertentu. Selain berbagai jenis beras, harus ada berbutir-butir kelapa tua, berkilo-kilo gula putih dan gula merah, bawang putih dan bawang merah, aneka macam bumbu dapur bersama berikat-ikat sayur-mayur.
Jika perbie telah diserahkan, maka pihak pengantin wanita akan bejehuman; naik tangga turun setangga untuk men-jehumi atau membisiki siapa-siapa saja yang akan diundang. Orang-orang yang di-jehumi atau dibisiki itu malamnya akan datang ke rumah mempelai wanita untuk membentuk susunan panitia. Keluarga pengantin pria harus bejehuman pula dan membentuk susunan panitia sendiri, terutama untuk upacara adat yang nantinya akan diadakan di rumah mempelai pria.
Selesai bejehuman, maka mulailah orang-orang yang diundang tadi datang berduyun-duyun, baik ke rumah mempelai pria maupun mempelai wanita dengan membawa talam berisi delapan canting beras, sebutir kelapa, sebungkus gula atau garam, bahkan membawa seekor ayam, itik, bebek, atau beberapa butir telur. Tidak ada yang membawa amplop berisi uang seperti di kota-kota.
Setelah itu menyembelih; hewan perbie dan hewan-hewan pemberian tamu undangan disembelih bersamaan. Sebelum disembelih, terlebih dahulu dilakukan upacara adat yang tujuannya mendoakan hewan-hewan itu supaya mereka hidup bahagia, karena hewan-hewan itu telah membantu manusia untuk mencukupi keperluan hidup.
Selesai disembelih, dikuliti, dibubuti, dipotong-potong dan dibersihkan, dimulailah upacara bemasak. Puluhan ibu-ibu muda berbaris menghaluskan bumbu dalam sangkalan batu, memarut kelapa, mengiris bawang sambil bergosip ringan dan membicarakan hasil sawah atau ladang mereka tahun itu. Lalu puluhan bapak di halaman membuat tungku-tungku batu, menyiapkan banyak belanga, minyak goreng dan tetek bengek lainnya, juga sambil bergosip ala bapak-bapak, membicarakan politik, sepak bola, hewan buruan, atau biaya pendidikan yang  makin tahun  makin mahal. Para bapaklah yang memasak macam-macam daging, telur, dan sayur-mayur itu hingga matang. Tugas para ibu hanya membumbui.
Selesai bemasak, malamnya para balicade  --itu sebutan untuk anak-anak muda di Kampung Bumi Betuah yang belum menikah--  didaulat untuk membuat serta menghias pelaminan.
Sementara itu, pengantin wanita dikurung dalam kamar untuk mendengar nasihat ninik punyang. Pengantin wanita dapat nasihat Me-Be-Be dan pengantin pria mendapat nasihat K-M-T-T-M. Pengantin wanita dinasihati oleh dua nenek uyun ratu di kamar khusus di rumah adat selaso jatuh kembar bagian timur dan pengantin pria dinasihati oleh dua kakek dari uyun pembarap di rumah adat selaso jatuh kembar bagian barat. Dua nenek biasanya akan memulai menasihati pengantin wanita seperti ini:
 “Perempuan itu harus bisa Me-Be-Be,” tutur nenek yang pertama. “Me itu berarti memasak. Memasak bukan sekadar merebus ubi campur air, tapi membuat sesuatu yang sederhana menjadi bermanfaat dan nikmat dirasakan. Perut suami dan anak-anak ada dalam genggaman ibunya, jika ibunya tidak pandai memasak, suami dan anak-anak akan lebih suka mencari makanan di luar. Memasak itu hampir sama dengan mendidik anak, ada proses panjang yang memerlukan kesabaran, ketabahan dan ketelitian agar masakan matang sempurna. Salah bumbu dapat merusak cita rasa masakan, begitupun dengan mendidik anak, salah pergaulan dapat merusak masa depan anak.”
Be yang pertama artinya berdandan,” lanjut nenek yang kedua, seolah nasihat ini sudah disusun sedemikian rupa. “Berdandan. Berdandan itu berbeda dengan bersolek. Bedak, gincu dan celak hanya bagian kecil dari kata berdandan. Seorang perempuan itu harus pandai berhemat, barang-barang di rumah yang rusak harus didandani, jangan main buang dan beli baru. Kain yang robek harus dijahit, panci yang bolong harus ditambal, bahkan cermin yang pecah boleh diganti tapi bingkainya masih dapat dipakai. Zaman dulu, bahkan piring-piring porselen yang pecah tanpa sengaja tetap disimpan untuk menghias batu nisan makam leluhur.
“Berdandan itu meliputi luar dalam, bersolek itu penting, tapi mendandani perilaku harus lebih utama. Perkataan yang keluar dari mulut kita  tiap hari harus didandani. Sudahkah ucapan kita terdengar sopan? Apakah ucapan kita tidak akan menyakiti perasaan orang lain? Camkan itu.”
Be yang kedua adalah beranak,” tutup nenek yang pertama. “Seorang perempuan akan menjadi sempurna dan mulia saat ia mengandung dan melahirkan, berjuang dan bertaruh nyawa untuk meneruskan garis keturunan.” (Bersambung)

Baca juga: Susun Tarah [5]
***

Pago Hardian
Pemenang I Sayembara Cerber Femina 2016


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?