Blog
Dijodohkan, Siapa Takut?

25 May 2016


Foto: Fotosearch

Ungkapan yang berbunyi "Kalau jodoh pasti bertemu, dan kalau tidak jodoh, masih bisa bertamu" ternyata ada benarnya juga. Ini terbukti tahun lalu saat media sosial dihebohkan beredarnya foto dan video mengharukan tentang seorang wanita yang menghadiri pesta pernikahan mantan kekasihnya di daerah Sulawesi Selatan.

Kalau sekadar menghadiri sih, sebenarnya tidak masalah. Yang membuatnya jadi trending topic karena wanita ‘sang mantan’ ini malah berpelukan di pelaminan dengan mempelai pria yang notabene sudah sah menjadi suami orang lain. Miris? Sudah pasti. Belakangan diketahui pasangan ‘gagal move on’ ini bernama Rais dan Risna. Pada video yang beredar luas, backsound lagu dangdut Lambaian Terakhir dari biduan elekton di pesta itu seolah memperjelas situasi. “The sick is here!” dalam bahasa Inggrisnya, he…he…he…

Terlepas dari etika yang tidak pantas dipertontonkan, pada kasus Rais dan Risna ini bisa diambil kesimpulan sementara kalau perkara jodoh memang rumit. Konon hubungan Rais dan Risna terhalang oleh sebuah aturan adat yang bernama ‘uang panaik’.

Nah, uang panaik beda dengan mahar. Uang panaik dalam adat Sulawesi adalah uang seserahan dari pihak pria sebagai prasyarat lamaran yang akan digunakan untuk melangsungkan hajatan. Besarnya ditentukan oleh keluarga wanita. Ketidaksanggupan memenuhi besaran uang panaik inilah yang kadang membatalkan perjodohan, meski sudah ada ikatan yang erat sebagai sepasang kekasih.

Awalnya, uang panaik sejatinya dimaksudkan untuk menguji keseriusan dan seberapa besar usaha calon mempelai pria. Namun belakangan makna uang panaik bergeser jadi ajang adu gengsi. Pesta besar-besaran jadi prestise tersendiri. Masa bodoh dengan pikiran orang. Logika tanpa logistik, mana bisa jalan? Begitu alasan yang pernah saya dengar.

Inilah serunya Bhinneka Tunggal Ika. Di daerah lain juga sebenarnya ada ketentuan adat sejenis uang panaik, seperti uang Sinamot pada adat Batak, uang mayam di Aceh, jujuran di Kalimantan, atau uang bajupuik pada adat Minang. Istilahnya saja yang beda, intinya sama, uang prasyarat yang kadang oleh sebagian orang dianggap memberatkan perjodohan.

Dijodohkan, Kenapa Tidak?
Patut saya syukuri, sebagai orang Sulawesi saya tidak terkena dampak uang panaik, karena kebetulan saya beruntung mendapatkan keluarga istri yang cukup kooperatif dan demokratis. Segala sesuatu termasuk uang panaik bisa dimusyawarahkan. Pernikahan saya pun berjalan lancar. Ini semua tidak lepas dari perjodohan yang terencana dari kedua belah pihak. Ya, saya menikah karena dijodohkan tanpa melewati proses pacaran.

What? dijodohkan? ini kan, bukan zaman Siti Nurbaya? Suara-suara sumbang seperti itu tidak bisa dihindari, dan memang wajar dipertanyakan. Dulu saya tidak punya cukup alasan defensif. Terserah persepsi orang-orang. Tapi kalau sekarang ditanya seperti itu, paling-paling akan saya jawab: "Siapa bilang sekarang bukan zamannya Siti Nurbaya? Update berita dong! Siti Nurbaya itu menteri kabinet Jokowi. He…he…he...

Perjodohan bagi mayoritas orang dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Bahkan ada yang menjustifikasi perjodohan hanyalah solusi instan dari orang-orang yang pasrah setelah sekian lama menyandang predikat jomblo. Tidak bisa dipungkiri kalau ini bisa benar, tapi bisa juga salah. Bagi saya pribadi, alasan menerima perjodohan dari orang tua sejujurnya karena sudah mulai jenuh dengan pola pacaran yang terus berulang. Putus-nyambung-jomblo-jadian-putus-nyambung-jomblo-jadian. Begitu-begitu saja, dan saya khawatir akan terus seperti itu, entah sampai kapan. Mungkin hingga Metallica bikin album religi.

Kelamaan pacaran tanpa ikatan yang kuat saya pikir akan rentan masalah, walau bukan berarti setelah menikah tidak ada masalah. Tapi tentu saja beda penyelesaian masalah setelah menikah, nah, di sini poinnya. When you are married, any fight can be solved in your bed. When you are single, any fight ended in hospital bed, begitu kata orang bijak.

Kelamaan pacaran, hati-hati dengan P3K. Perkenalan, Pendekatan, Pacaran, dan Ketikung. Nah, loh, ini yang lebih nyesek. Makanya saat dalam keluarga terbersit wacana perjodohan, tidak butuh waktu lama buat saya untuk berpikir menerimanya, kebetulan saat itu saya berstatus ‘tuna asmara’ alias jomblo.
Toh, wanita yang akhirnya jadi istri saya, setahu saya berasal dari keluarga baik-baik, dan tentunya sebelum itu ada proses perkenalan dulu. Seperti kata pepatah "tak kenal maka ta'aruf", kami pun melewati fase ta'aruf, atau perkenalan secara islami. Ini terdengar kolot? Eit, jangan salah. Pevita Pearce saja nunggu diajakin taaruf. Tak percaya? Silahkan googling beritanya.

Teman karib saya, Yusuf, mendukung penuh perjodohan. Ia juga menikah tanpa pacaran. Kebetulan ia dan istrinya adalah penganut agama yang taat. Proses ta’aruf atau perkenalan Yusuf dan istrinya dimediasi oleh seorang ustaz yang memang sudah menjadikan perantara perjodohan sebagai job description. Sisi positifnya sama seperti yang saya alami, tidak diberatkan urusan materi. Hanya mahar ala kadarnya. Pesta pun digelar sesederhana mungkin, kesannya sebagai formalitas saja.

Berbeda dengan saya dan Yusuf di Sulawesi, Diana L. Ariadi, teman saya di daerah Jawa punya cerita lain. Menurut Diana, di Jawa memang perjodohan juga masih sering terjadi, tapi tidak ada acara “tuku” atau “membeli” calon pengantin yang seringkali jadi masalah di beberapa daerah. Biasanya serah-serahan terserah dari pihak laki-laki atau kesepakatan berdua calon pengantin, begitu pula maharnya. Yang ribet dalam masalah perjodohan di Jawa mungkin hanya karena masih ada yang menghitung “neton” atau hari lahir dalam tradisi Jawa. Jika neton kedua calon pengantin dijumlah ternyata merupakan larangan hukum adat, maka pernikahan bisa saja batal. Selain neton, ada juga istilah weton jeblok  atau hari lahir sama, ini juga penghalang. Kendala lain, kadang ada yang dari desa A tidak boleh menikah dengan orang dari desa B.

Lain Diana, lain pula Nina (bukan nama sebenarnya). Teman saya ini sangat menentang perjodohan. Menurutnya nikah itu bukan main-main, tapi untuk dijalani seumur hidup, jadi tidak boleh sembarangan terima perjodohan tanpa mengenal lebih dalam karakter pasangan dan keluarga. “Masak mau beli kucing dalam karung?” ujarnya tegas. Butuh waktu tahunan untuk pendekatan dengan pasangan dan juga keluarga besarnya menurut Nina jika memang mau serius ke jenjang berikutnya.

Prinsip Nina, didukung oleh Fitri, responden lain (masih nama samaran). Fitri malah lebih ekstrem. Ia lebih memilih berstatus single selamanya daripada dijodohkan. Alasan Fitri sebenarnya hanya karena persoalan faktor traumatik. Orang tuanya memilih berpisah setelah menikah melalui perjodohan. Menurut Fitri, perjodohan hanya akan menyisakan 3 ring, engaged ring, wedding ring, dan suffering. He…he…he.. Pendapat ini tentu saja tidak bisa jadi parameter yang valid untuk mengukur buah dari perjodohan.
 
Jodoh, Dulu dan Sekarang
Dalam adat kami di Sulawesi, selain masalah uang panaik, garis keturunan juga bisa jadi faktor utama penghalang perjodohan. Tidak heran saudara-sauadra ibu saya di kampung banyak yang nasibnya berakhir dengan pangkat Pratu, alias perawan tua.

Lamaran tempo dulu tidak sesederhana zaman sekarang. Banyak aral melintang yang mesti dilewati. Bobot, bibit, dan bebet tidak menjamin urusan beres. Sudah mendapat sinyal lampu hijau dari orang tua calon istri pun bukan berarti masalah selesai. Ada yang disebut “konsorsium tante-tante”. Bisikan-bisikan maut dari balik tirai saat acara pelamaran bisa juga jadi faktor penentu diterima atau tidaknya lamaran. Bisikan “ngompor”dari tante-tante ini dengan isyarat-isyarat dan kode-kode biasanya lebih heboh dari para pialang di bursa saham.

Bahkan bapak saya yang basic-nya tentara, dulu saat datang melamar ibu saya konon berpakaian seragam militer lengkap, dengan maksud sebagai bahan pertimbangan sekaligus gertak sambal, mengingat keluarga ibu saya tergolong penganut hukum adat yang keras. Seorang tentara teman bapak malah lebih ekstrem lagi, menaruh sepucuk revolver di atas meja calon mertua saat melamar. Berani nolak? revolver bisa menyalak. Apa enggak keder tuh calon mertua?
Ibu saya pernah bercerita, di kampung dulu, di daerah bernama Salabangka, Sulawesi Tengah, pernah ada kejadian heboh seperti kisah Rais dan Risna di atas. Adegannya lebih mengharukan, bahkan lebih filmis dari adegan Rahul saat datang di pesta nikahan Anjali dalam film Kuch-Kuch Hotta Hai.

Alkisah seorang pemuda yang masih terhitung  paman saya juga tertolak lamarannya oleh keluarga gadis pujaannya. Keluarga sang gadis memilih menjodohkan anaknya dengan orang lain. Saat menghadiri pesta pernikahan kekasihnya yang dijodohkan secara paksa tersebut, si pemuda rupanya datang tidak dengan tangan kosong, tapi dengan membawa sebuah biola. Ketika resepsi berlangsung dengan khidmatnya, si pemuda memainkan biolanya di hadapan tamu. Musiknya menyayat-nyayat. Ibu saya jadi saksi hidup peristiwa itu. Entah karena galau, terbawa perasaan atau bagaimana, pengantin wanita tiba-tiba kabur dari kursi pelaminan dan melompat keluar jendela, tidak mau lagi melanjutkan prosesi pernikahan. Padahal ending-nya si pemuda itu konon menikah juga dengan orang lain. Ya namanya juga jodoh, only God knows.

Cerita ini akhirnya jadi semacam legenda cinta heroik tentang perjodohan di kampung halaman yang diceritakan turun-temurun. Ada hikmahnya juga paman saya itu hidup di zaman lampau, setidaknya bisa mengukir kisah dibalik perjodohan seperti itu, karena andai beliau hidup di jaman sekarang mungkin beliau dan biolanya hanya bisa berprestasi di ajang Indonesia Mencari Bakat.

Zaman sudah berubah, tapi pro kontra perjodohan tetap jadi sesuatu yang menarik untuk dibahas. Menurut saya pribadi, tidak ada yang perlu ditakutkan dari perjodohan, yang perlu ditakutkan itu justru jika jodoh tidak kunjung datang. Saya berani berpendapat demikian karena sudah membuktikannya sendiri, lima tahun berumah tangga dan dikaruniai dua anak, tanpa ada kendala yang berarti. Intinya hanya menjaga komunikasi.

Saran saya buat yang wanita, kalau masih memilih untuk menjomblo, setidaknya jadilah jomblo berkualitas. Mahalkan cintamu, murahkan maharmu. Dan buat yang pria, segerakanlah jika ada niat baik. Harus ada keberanian dalam mencari jodoh. Jangan cuma bisa ngasih kode, karena anda itu calon suami, bukan tukang voucher pulsa. Kalau niatnya memang baik, Insyaallah pasti ada saja jalannya.

Yang pasti, tetap semangat dan jangan pesimis. Perlu diingat: Jodoh itu sudah diatur. Kalau sampai sekarang belum ketemu, bisa jadi Anda yang susah diatur. Ha…ha…ha...


 
Arham Kendari
@arhamkendari
 
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?