Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Perempuan menanggapi, secara substansif ide ini tidak tepat karena mengansumsikan tugas pengasuhan anak merupakan tanggung jawab wanita. “Artinya, jika peraturan ini diterapkan, itu sama saja dengan membakukan asumsi bahwa wanitalah yang harus bertanggung jawab mendidik anak atau mengurus keluarga,” jelasnya.
Secara awam, hal tersebut bisa dilihat sebagai pemuliaan terhadap wanita. Namun menurut Yuni, nantinya wanitalah yang punya ruang untuk dipersalahkan jika nanti keluarga atau anaknya mengalami masalah.Tak heran jika hingga detik ini, wanita karier di Indonesia masih bergulat dengan double burden syndrome.
Yuni berujar, dirinya sering menangani kasus anak-anak yang terjerat narkoba. Biasanya, ibunya yang disalahkan karena sibuk bekerja hingga pengasuhan atau pengawasan anak terabaikan. “Padahal, banyak juga wanita yang bekerja, tapi anak-anaknya berprestasi. Atau kebalikannya, ia merupakan ibu rumah tangga, tapi anak-anaknya bermasalah,” paparnya. Jadi, penambahan waktu ibu berada di rumah bukanlah jawaban atas permasalahan pendidikan karakter anak.
Dra. Sri Danti Anwar, MA, Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, juga sepakat mengenai hal ini, meski penting bagi orang tua untuk menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan anak, menggunakan waktu yang ada dengan maksimal dan berkualitas justru jauh lebih penting. “Tugas parenting bukan hanya tugas orang tua, tapi juga tugas keluarga yang ada di rumah, sekolah, serta masyarakat. Jadi tidak tepat jika hanya mengandalkan sang ibu untuk pengasuhan dan pendidikan karakter anak,” komentarnya.
Dalam hal ini, peran ayah juga penting. Kampanye ‘fathering’ ini sebelumnya pernah didengungkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan pada periode Menteri Linda Amalia Sari. Sebagai gambaran, untuk periode tahun 2005 – 2025, pemerintah memiliki Rencana Program Jangka Menengah dan Panjang yang fokus pada tiga strategi: gender mainstreaming, pembangunan berkelanjutan, dan tata kelola pemerintahan yang baik.
“Strategi gender mainstreaming itu tidak hanya membicarakan kesetaraan gender untuk akses, partisipasi, maupun pendidikan, tapi juga kesetaraan wanita dan pria dalam pengasuhan dan pendidikan anak,” ungkapnya.
“Sekarang kita tengah mendorong untuk mengurangi negative masculinity. Karena dalam masyarakat kita, pria tidak biasa dikondisikan untuk dekat dengan anak, maka pria pun tumbuh menjadi karakter yang kasar dan tidak sensitif,” jelas Yuni.
EKA JANUWATI